Memperebutkan Agama di Tengah Orang Beragama
Oleh: Matroni Musèrang*
Aksi bela
Islam, aksi bela agama, dan sederet aksi-aksi keagamaan bermunculan di Negara
yang mayoritas sudah jelas-jelas beragama. Apa yang salah dari keberagamaan
masyarakat Indonesia? Sehingga harus diagamakan kembali?
Penting
kemudian saya ingin memiliki sikap, sikap ini saya kira patut untuk semua orang
yang beragama yaitu memperkuat masing-masing mental keagamaannya, saya pribadi
Islam ASWAJA tentu harus kuat dengan ke-Aswaja-an saya, sehingga jika ada teman
diluar Aswaja untuk berdiskusi dan bertukar wacana kita tetap tidak keluar dari
garis ke-Aswajaan.
Artinya jika
ada orang yang dari sesepuh NU sementara anak dan cucunya beralih ke yang lain,
maka dapat dipastikan bahwa mental ke NU annya kering dan keropos. Sama halnya
jika orang Muhammadiyah beralih ke NU, berarti orang Muhammad tersebut keropos
dalam wacana ke-Muhammadiyahannya. Yang penting dalam beragama adalah memperkuat
mental, baik wacana global maupun nasional dan tentu ini harus dibarengi dengan
pengetahuan yang cukup dan luas dan mendalam.
Apa yang salah
kemudian dari keberagamaan kita? Yaitu keropos dan lemahnya pembacaan yang
mendalam terhadap ideologinya masing-masing. Mereka lebih suka “barang baru”,
padahal barang baru tersebut belum kit abaca asbabun nuzul-nya yang
penting baru, ikut! Selesai. Dimana kemudian perintah Allah agar kita membaca
terlebih dahulu?
Akibat keropos
dan lemahnya pembacaan asbabun Nuzul inilah banyak orang yang mudah terpengaruh
oleh aliran-aliran baru, seperti Wahabi, FPI, LDDII, ISIS, yang jelas-jelas
tidak cocok di Indonesia. Mereka yang memaksakan sebenarnya, kalau
dianalogikan, seperti memakai baju anak PAUD yang dipaksa untuk dipakai
mahasiswa. Dan Indonesia masyarakatnya sudah jelas agamanya, ideologinya jelas,
budayanya jelas, tradisinya jelas, masak harus mengambil budaya dari Mekkah,
Mesir dan Timur Tengah? Jangan-jangan tidak cocok, maka inilah yang penting
untuk kita diskusikan bersama, direfleksikan bersama dengan tujuan menemukan titik
temu yang saling menghargai, menghormati sehingga harmoni kemanusiaan tercipta
dengan sendirinya.
Akhirnya yang
paling urgen dalam diri manusia adalah sama-sama memperkuat mental keagamaan,
pemikiran keagamaan dan wacana keagamaan, agar kita tidak dibodohi dan
ditindas.
Madura, 11 Maret 2017
Komentar