Belajar Menjadi Perempuan
Oleh: Matroni
Musèrang*
Perempuan
adalah kitab semesta yang tidak akan pernah habis dibaca. Begitulah uangkapan
yang pas menurut saya ketika menyebut
perempuan. Mengapa? Perempuan itu unik dan penuh rahasia, wajar jika Islam
mengibaratkan posisi perempuan “sama” dengan Tuhan, bahkan Nabi Muhammad SAW
pun menyebut kata perempuan itu tiga kali, dalam puisi Nay Juireng. Lantas
siapakah sebenarnya perempuan itu?
Sampai
detik ini kita belum juga mengetahui siapa. Tapi saya harus menemukan perempuan
itu dalam “perempuan laut” 2017 antologi puisi 10 penyair perempuan
Madura, sebegai salah satu makna dari sekian banyak makna perempuan. Mari kita
mulai pelan-pelan dari puisi-puisinya. Mengapa judul esai ini belajar menjadi
perempuan, padahal yang ditelaah penyair perempuan? Inilah yang unik dari
tulisan ini. Saya tidak akan menelaah baik dan tidak baik puisi ini, akan
tetapi saya akan masuk lebih dalam dikedalaman makna dari puisi, sebab saya
sampai hari ini yakin bahwa puisi memiliki pesan moral yang ingin disampaikan
kepada pembaca, pesan itulah yang akan coba saya kuak kepermukaan sebagai
bentuk proses dialektika keilmuan sastra.
Belajar
menjadi perempuan dalam hal ini adalah belajar sifat dan karakter keperempuanan
yang tercermin dalam perempuan. Seperti pepatah bahwa dibalik kesuksesan laki-laki
pasti ada perempuan hebat dibelakannya. Perempuan seperti apa yang membuat
seorang laki-laki kuat? Jawabanya tentu beragam, namun “perempuan laut” Weni
Suryandari menjawab adalah perempuan tempatmu menjaring kehidupan/ pantai yang
meninggalkan kesedihan.
Benar
apa yang dikatakan Weni Suryandari, pernah suatu waktu ada penyair yang putus
dengan seorang kekasihnya yang ia cintai, sampai-sampai dia tidak nyadar bahwa
pikiran dan hatinya tidak nyambung, dia linglung selamat satu tahun, tapi dia
akhirnya sadar dengan setiap malam ditemani seorang ibu. Artinya seorang
perempuan tidak harus memijat tubuh kita untuk mengobati kita, tapi dengan
cukup menemani, penyakit kita akan hilang pelan-pelan. Itulah kedahsyatan puisi
perempuan.
Maftuhah
Jakfar menjawab dalam Deru Campur Pilu; ia berdesir, mengalir, mengambang,
melesat/ dan memayungi hingga di surga. Tentu kita ingat bahwa surga berada
dibawa telapak kaki ibu. Siapa yang tak suka ketika melihat rambut perempuan
berdesir? Spiritualitas perempuan lebih cepat melesat sampai diperkampungan
Tuhan, sebab jiwa-jiwa perempuanlah merupakan pintu paling cepat dalam
mengarungi samudera spiritual.
Juwairiyah
Mawardy menjawab ia berada dalam keibuan, lantaran dalam hatimu kasih sayang
telah serupa karang/hanya lantaran itu. Siapakah sosok yang memiliki kasih
sayang serupa karang dan karang itu tempatnya dikedalaman laut? Tentu perempuan
yang memiliki sifat itu, maka perempuanlah yang lebih paham makna kasih sayang
daripada laki-laki. Dari kesungguhan kasih sayang itulah Benazir Nafilah
menjawab dalam Kedua Mata Nabil, Sareangku; Nabil Sareangku, kemarilah.. Aku
itu kamu, bahwa antara dirinya dan anaknya tidak ada bedanya, ia satu,
manunggaling. Nurul Ilmi Elbana menjawab; pemberi kasih yang candu. Memberikan
kasih sayang seperti sudah kecanduan, ia selalu ingin, ingin dan ingin sebab
kasih sayang seorang perempuan bagaikan karang yang tak mudah di otak-atik oleh
rayuan apa pun, kemudian Salama Elmi menjawab; ia yang mengerti bawang dan
dapur. Perempuan menyadari bahwa dirinya memang harus di dapur, akan tetapi ia
menyadari bahwa dirinya harus tampil kepermukaan laut, entah menjadi ombak yang
indah ataupun menjadi gelombang yang gagah, tapi juga indah. Makanya perempuan
seringkali pedas. Pedas ala marica, pedas ala cabi, pedas ala bawang merah dan
putih. Ini sudah cukup untuk mewakili siapa sebenarnya perempuan itu.
Begitulah
“perempuan laut” yang selalu memiliki ombak dan gelombang. Ombak adalah zikir
keseharian perempuan, sedangkan gelombang kedahsyatan dari zikir itu sendiri,
gelombang merupakan manifestasi dari banyaknya ombak yang tersimpan dikedalaman
jiwa perempuan. Itulah sebabnya mengapa judul antologi puisi ini bukan “perempuan
ombak atau perempuan gelombang”, sebab ombak dan gelombang menyatu di dalam
laut.
“Perempuan
Laut“ dalam konteks sosial mengandung
dua fenomena sosial pertama fenomena keseharian manusia (horizontal),
seperti konflik tanah, konflik antar remaja, pelecehan seksual, perdagangan
perempuan, KDRT, kedua fenomena keagamaan (vertikal) seperti rela tidak shalat
demi uang, rela tidak puasa demi perempuan, lebih memuja uang daripada Tuhan, dan
mudahnya beralih ideology dan lain sebagainya. Dan ini sangat terlihat dalam
antologi puisi “perempuan laut”. Kegelisahan dari proses puisi itu lahir
sampai-sampai terbawa ke dalam puisinya, kegelisahan jiwa dengan lawan jenis,
dengan keluarga, dengan teman, dengan alam sekitar, semua tampak dalam puisi perempuan.
Namun
ada satu hal yang belum ditulisan dalam “perempuan laut” yaitu kegelisahan
sosial yang akhir-akhir ini marak terjadi seperti wisata, masyarakat yang lata,
tambak udang, penjualan tanah, penyair perempuan ini masih banyak menulis
tentang kenangan, masa lalu, apakah karena kenangan itu abadi atau masa lalu
itu harus dituliskan, terlepas dari itu saya masih kurang puas dengan puisi-puisi
“perempuan laut”. Semoga di lain waktu “perempuan laut” hadir dengan gelombang
yang lebih memuaskan. Amin.
Puisi-puisi
di dalamnya berkutat di ruang eksistensi dirinya, problem “perempuan laut”
problem antara “diri” aku lirik dengan problem dengan apa yang terjadi pada
dirinya sendiri. Akan tetapi itu bagian dari manifestasi dari problem sosial
kita saat ini, dimana banyak remaja perempuan yang kehilang orientasi hidup.
Sehingga ada perempuan yang jadi korban pemerkosaan, korban pelecehan seksual,
korban teknologi, kuliah hanya ingin mencari ijasah dan kekerasan antar pelajar.
Perempuan
Laut hadir untuk memberikan penyadaran kepada perempuan bahwa hidup bukan hanya
“bentuk-bentuk”, akan tetapi juga ada ayat-ayat kauniyah dikedalaman
“bentuk-bentuk” yang harus dibaca, ditelaah, diteliti, dan eksplorasi sebenarnya
status perempuan itu apa maknanya. Apakah perempuan itu hanya status atau perempuan
itu makhluk yang memiliki tanggungjawab moral untuk belajar dan membaca
ayat-ayat Tuhan yang bertebaran itu. Untuk itulah “perempuan laut” hadir di
rumah kita.
Kehadiran
“perempuan laut” kadang datang seperti ombak, kadang juga datang seperti
gelombang. Itulah mengapa perempuan selalu menjadi kitab semesta yang tidak
akan pernah habis dibaca.
Komentar