Krisis Kesusastraan, Benarkah? [1]
Oleh: Matroni Musèrang*
Opini Ahmad
Tohari yang baru-baru ini di undang ke Istana Presiden tentang krisis
kesusastraann membuat pikiran saya bertanya-tanya. Benarkah begitu bangsa kita
ini? Benarkah pemuda kita hari ini? Ternyata ketika saya membaca proses
perjalanan sastra selama 10 tahun terakhir memang benar adanya. Krisis bukan
hanya dilihat dari banyak sastra dibukukan, akan tetapi krisis kesusastraan
dalam hal ini adalah krisis kualitas sastra. Ukuran kualitas tentu seberapa
lama dan jauh berkenalan dengan sastra, artinya berproses dengan sastra,
membaca buku pendukung seperti filsafat, antropologi, sosiologi, dan sastra-budaya,
(novel, esai sastra-budaya, cerpen, kritik sastra, naskah drama, puisi).
Kalau kita
belum berkenalan sampai jauh dan mendalam dengan mereka, jangan buru-buru
mengakui dirinya sastrawan, budayawan, penyair atau apa pun indentitasnya, apalagi
sampai buru-buru membuat buku dengan tujuan agar cepat dikenal dan diflmkan.
Inilah salah satu penyebab mengapa sampai hari ini bangsa yang terlalu banyak
orang pintar tapi bangsa semakin bodoh dan bobrok dengan korupsi, pelecehan
seksual, kekerasan antarpelajar, pembakaran tempat ibadah, dan lainnya.
Filsafat,
humaniora dan sastra tidak banyak yang suka apalagi sampai membaca. Kita lebih
suka membaca buku-buku cara cepat menjadi orang kaya, cara masak, agar lulus
tes PNS dan sederet buku instan lainnya. Pembacaan kita tidak lagi membaca
buku-buku yang merangsang pemikiran, dan perasaan untuk berpikir lebih jauh dan
mendalam terhadap persoalan-persoalan sosial-kemanusiaan yang setiap hari
memoles wajah bangsa kita. Apakah hanya airmata manusia yang keluar dari mata? Tidak!
Bangsa kita pun demikian, ia selalu menangis lantaran isinya adalah luka-luka
lama yang belum kita sembuhkan.
Luka
kemanusiaan yang tertutup oleh keegoisan, kekuasaan dan kekayaan. Sehingga
ketika ada novel yang ingin mengangkat kebobrokan bangsa akan di blok, seperti
karya Pram dulu. Apa benar apa yang dikatakan Suci isteri Munir bahwa di
Indonesia jika ada yang kritis akan disingkirkan bahkan dibunuh?
Opini Ahmad
Tohari mengisyaratkan bahwa sastra masih berkutat di ranah Anggur dan rembulan,
juga angin dan gelombang. Saya ingat ketika di kritik oleh Dzadiri Zubairi
ketika menerbitkan antologi puisi “ketam ladam rumah ingatan, 2016”
kumpulan puisi anak Madura, bahwa di dalamnya tidak ada puisi yang menyentuh
persoalan-persoalan sosial yang cukup krusial di Madura, seperti pembelian
tanah, dan pembangunan tambak illegal misalnya.
Kritik ini
sebagai pertanda bahwa sastra kita masih jauh dari persoalan-persoalan
sosial-kemasyarakatan. Yang digelisahkan sastrawan kita masih dalam
persoalan-persoanal rembulan, angin dan gelombang, juga laut. Dimanakah
harapan akan ditumpahkan/ bila tipu daya menjadi seni kehidupan, kata
Rendra. Justeru yang terjadi kritik penyair ke penyair, bukan kritik sastra
dengan sastra (kritik sastra di balas penjara, katanya).
Saya teringat
Emile Durkheim bahwa untuk menjawab persoalan-persoalan sosial harus dengan
sosial pula, sama halnya dengan sastra juga harus dijawab sastra pula kemudian
mengkomparasikan dengan pengetahuan yang lain. Bukan kemudian sastra dijawab
dengan fiqih, dan tauhid.
Inilah yang
terjadi di belahan bangsa kita, maka wajar jika Ahmad Tohari mengatakan bahwa
Indonesia masih krisis kesusastraan, sebab kita belum mampu menempatkan sebuah
persoalan pada tempatnya yang tepat. Kita harus mampu membedaan
sastrawan/penyair dengan sastra, harus mampu membedakan kritik sastra dengan
kritikus sastra, harus mampu membedakan tulisan dengan penulis, dan harus mampu
membedakan ruang privasi dan ruang publik.
Sastra
merupakan jalan pengetahuan, bukan jalan untuk menjadi artis, atau menjadi apa
pun, karena jalan ia adalah proses untuk sampai diperkampungan
pengetahuan. Artinya semakin mendalam seseorang belajar sastra, seharusnya
semakin paham dan memahami sastra itu sendiri. Bahwa sastra bukanlah alat untuk
melecehkan sesama manusia, apalagi untuk menumbuhkan kekerasan fisik, tidak,
akan tetapi sastra alat pemersatu, alat komparatif dalam memperjuangkan
kemanusiaan.
Komparatif
dalam hal ini seorang pelajar sastra harus mampu membedakan persoalan budaya
yang satu dengan budaya yang lain, bukan kemudian menyamakan, misalnya
komunitas atau instansi yang satu memiliki masalah kemudian kita menjustifikasi
instansi dan komunitas orang-orangnya sama. Sastra alat untuk melihat secara
detil persoalan-persoalan sosial yang sampai detik ini masih memoles wajar
bangsa kita. Maka sastra harus ikut andil dalam percaturan sosial dan
memberikan gagasan atau pemikiran dalam memecahkan persoalan budaya, agama,
politik, ekonomi, dan konflik.
Penulis sastra
tentu harus berpikir, apakah ketika kita membukukan puisi kita, novel kita,
cerpen kita, dan karya yang lain memiliki sumbangsih pemikiran atau justeru
hanya mengisi rak-rak toko buku, sebab penulis yang cerdas ia akan tahu apakah karyanya
akan laku atau tidak, ini bisa penulis baca dari tema apa yang kita akan
angkat. Kalau tema dan tulisan yang kita kadaluarsa bagaimana mungkin mampu memberikan
gagasan baru bagi persoalan yang kita hadapi, maka Rendra bilang pengetahuan
kita harus update agar apa yang kita tulis tidak kadaluarsa, belum dibaca/diapresiasi
publik sudah kadaluarsa, artinya karya kita tidak tahan lama, tahan banting dan
mampu menembus zaman dan waktu, sehingga karya kita tidak mati di telan zaman
dan perubahan.
Siapa yang
tidak kenal karya Soekarno, Hasyim Asy’Arie, Gus Dur, Pram, Chairil Anwar,
Rendra, Kuntowijoyo, Romo Mangun, Umar Kayam, Wiji Tukul, Munir, Maulana Rumi, Mohammad
Iqbal, Descartes, Paul Sartre, Nietzsche, Rielke, dan sederet karya-karya yang
sampai sekarang masih bertahan, mampu memberikan inspirasi dan spirit dalam
menulis, memberikan solusi problem kemanusiaan, bahkan mampu menyapu bersih
egoisme pribadi, dan menyapu dosa-dosa kebudayaan. Bagaimana dengan kita hari
ini?
*Penyair dan
Dosen STKIP Sumenep
Komentar