"Bunuh Diri" Budaya Apaan
Matroni Muserang
Ketika sebuah bangsa tak
memiliki kemandirian, dapat dipastikan bangsa itu akan mengalami kemiskinan dan
penindasan. Baik kemiskinan diri kita, budaya, cagar budaya, dan pusaka. Bunuh
Diri budaya adalah salah satu bukti bahwa kita belum mampu untuk mengelolah
kekayaan kita sendiri. Tidak heran bila Indonesia mengacu pada peradaban Barat.
Itulah yang membuat jati diri bangsa menjadi hancur. Kota yang baik adalah kota
yang mampu menghadirkan sejarahnya dari waktu ke waktu secara fisik dan visual
dalam wujud lingkungan dan bangunan kuno bersejarah (Kompas, 12 Mei 2010).
Kita hanya prihatin, tapi ada
upaya untuk melindungi, banyak sekali bangunan kuno bersejarah di segenap
pelosok Tanah Air dibongkar untuk memberikan tempat bagi pembangunan baru yang
modern, late modern, postmodern, yang sering tidak kontekstual dan tidak
berkarakter. Sebuah bangsa yang benar-benar lupa akan dirinya sendiri. Padahal
bangsa ini dibangun di atas sejarah perjuangan, berjuang untuk membangun budaya.
Lalu mengapa bangsa itu sendiri tak menghormatinya?
Apalagi di era
desentralisasi dan otonomi daerah seperti sekarang ini sudah sangat jelas tampak
kecenderungan bahwa para pejabat kunci, seperti gubernur, bupati, wali kota, Kepala
Desa, Bapak Camat, DPR, MPR, Presiden, tidak memerhatikan keberadaan pusaka
budaya di daerah masing-masing. Perhatian mereka tercurah pada pembangunan
ekonomi dan sarana fisik yang berkaitan dengan peningkatan pendapatan asli
daerah (PAD). Masihkah kita akan mengatakan bangsa yang kaya akan kebudayaan? Jangan
dulu, kita harus menghargai budaya diri sendiri, berikan ruang untuk budaya
kita, dan peliharalah nilai-nilai itu untuk kepentingan bangsa.
Walau pun ada
Undang-Undang Benda Cagar Budaya yang disahkan tahun 1992, tapi belum banyak para
pejabat kita yang paham dan mengerti atau dijadikan acuan dalam proses penataan
ruang dan pembangunan daerah. Undang-Undang Benda Cagar Budaya ini seharusnya diikuti
dengan peraturan daerah (perda). Karya-karya arsitektur di masa mendatang
mestinya menghadirkan bentuk-bentuk yang merupakan kesinambungan dengan masa
lampau, masa kini dan masa depan dalam suatu perpaduan yang utuh. Agar kita tak
cepat melupakan apa budaya kita yang sebenarnya.
Tak Ada Penghargaan bagi Penemu Situs
Penghargaan terharap
penemu situs sampai hari ini belum ada. Jadi tidak heran kalau masih marak
pencurian benda berharga, cagar budaya dan situs-situs budaya serta
pembongkaran peninggalan budaya. Pencurian benda-benda berharga yang adi
Nusantara terus terjadi, itu terjadi karena kurangnya kepedulian pemerintah terhadap
kekayaan yang ada. Dinas perikanan dan kelautan sudah tahu, tapi mengapa mereka
hanya diam saja, ngomong saja, tak ada respek untuk bertanya dan bertindak
secara hukum?.
Hingga kini belum ada
mekanisme perlindungan dan kompensasi terhadap penemu BMKT misalnya. Padahal,
sebagian informasi awal mengenai lokasi BMKT justru bersumber dari nelayan. Nelayan
pasti takut untuk melapor ke pemerintah daerah, karena mereka akan di tuduh
sebagai pencuri benda miliki Negara.
Tak heran jika nelayan
justru melaporkan kepada perusahaan yang gencar memburu BMKT dan memberikan
iming-iming uang, karena mereka butuh uang. Sementara pemerintah hanya berjanji
untuk memberikan uang, tapi kenyataanya pemerintah berbohong. Jadi mereka lebih
baik memilih untuk di jual daripada di serahkan pada pemerintah, karena itu
lebih baik, daripada tak mendapatkan hasil apa-apa.
Minimnya akses nelayan
kepada pemerintah karena tak ada apresiasi lebih. Itu mengapa nelayan lebih
memilih jalan pragmatis. Saya dan nelayan pernah melaporkan hasil temuan kami
yang diindikasi sebagai BMKT ke pemda, tetapi kami malah dituduh mencuri barang
milik Negara (kompas, 12
Mei 2010).
Melihat pemerintah yang
hanya diam di kantor dan minimnya apresiasi, dapat dipastikan “bunuh diri”
budaya benar-benar terjadi. Kita tak memandang ke depan, yang kita lihat hari
ini, makan apa hari ini, ada uang tidak hari ini, itulah yang menjadi pencaturan
pemerintah. Kita membuka tempat yang selebar-lebarnya untuk pembangunan modern,
post-modern, dan menutup rapat dan menggusur adanya pembangunan cagar budaya,
agar tak terlihat lagi, jadi sekarang pembangunan harus modern, sistem modern, pemerintah
modern, rumah model modern, uang modern, dasi modern, semua serba modern. Lalu
dimana kau simpan budayamu sendiri?
Modernitas menjadi keseharian
kita, membiarkan budaya bangsa mati bunuh diri, tak kuat karena selalu di
injak-injak oleh orang-orang modern. Kok bisa bangsa yang kaya akan budaya,
moral dan etika, mampu menghilangkan dasar pembangunan. Dasar budaya bangsa,
dasar kepribadian bangsa, dan dasar jati diri bangsa. Maka kita tidak usah
heran menyaksikan "Bunuh Diri" Budaya Sedang Terjadi di Negara kita.
Saatnya kita menikmati “kematian-kematian”
budaya, menikmati sisa-sisa bangsa Barat yang dibuang di negeri kita. Tak mampu
menampung banyaknya sampah, akhirnya pemerintah pun pusing dan gila memikirkan
itu semua. Makanya semua menjadi berantakan, tak terurus, sehingga menjadi
bangsa yang tak menghargai karya dan kreativitas para seniman, budayawan,
penyair dan sastrawan. Bangsa kita hanya menghargai sesuatu yang bernilai untuk
Negara asing.
Mulailah dari diri sendiri,
hargailah hasil karya dan kreativitas rakyat kita, agar kekayaan bangsa terus
berkembang, bertambah dari diri kita sendiri, bermanfaat untuk bangsa kita, akhirnya
rakyat sendiri yang menikmati. Bukankah dengan demikian bangsa kita akan damai
dan sejahtera? Semoga!
Komentar