Cinta dan Cita-Cita Bagi Perempuan
Judul Buku Gaik Bintang; Asmara di Lautan Garam
Penulis : Faidi Rizal Alief
Penerbit :
Zora Book,
Yogyakarta
Cetakan :
Pertama, Januari 2015
Tebal : xx+302 halaman;
ISBN : 978-602-70522-5-3
Peresensi : Matroni Muserang*
Ada sebuah kata dalam novel ini yang menarik
untuk kita telaah, sebelum menelusup ke seluruh tubuh novel ini bahwa “Menikahi
makna dengan maskawin imajinasi” (hlm; 147). Gagasan lokal dalam penciptaan
novel merupakan angin segar bagi kehidupan sastra Indonesia. Akhir-akhir ini
banyak bermunculan tema-tema lokal baik cerpen, puisi apalagi novel. Cerpen
pada tahun 1960-an hingga 1970-an begitu kuatnya tema-tema lokal di munculkan.
Ini menandakan bahwa sastra Indonesia tidak akan kering dan tidak akan usang
diterjang zaman. Pertanyaan kemudian adalah tema lokal yang mana dan cara
menarasikan yang seperti apa yang mampu dalam setiap zaman selalu memiliki roh?
Novelnya Pram, Hamka misalnya.
Kearifan lokal selalu menjadi tema yang menarik
untuk ditulis dan didiskusikan. Kearifan lokal sebenarnya sebuah ide awal atau
dasar epistemologi dalam memunculkan pengetehuan baru, hanya saja bentuknya
beda-beda, ada dengan menggunakan media tulis seperti karya ilmiah, sastra,
sosiologi, antropologi dan filsafat, ada dengan menggunakan media mitos-mitos atau
cerita rakyat yang kemudian lahir beragam pengetahuan bahkan sampai hari ini.
Novel ini juga di ambil dari tradisi lokal,
setting lokal, tokoh dan karakter lokal. Novel ini dimulai dari anak kampung
bernama Nur Imamah dengan nama pena Nur Aura Madura yang memperjuangkan
cita-citanya untuk bisa kuliah ke Yogyakarta, tapi tidak kehilangan cinta dari
seorang laki-laki tunangannya. Di sebuah kampung bernama Bandungan, ada tradisi
bahwa anak perempuan kalau sudah ada laki-laki meminang sebuah kebahagiaan yang
luar biasa, apalagi meminta untuk menikah sekolah MI/SD tidak lulus pun akan
dinikahkan. Kalau tidak mau untuk dinikahkan maka perempuan akan menjadi buah
bibir masyarakat. Akan menjadi perempuan sangkal yang sampai tua tidak
laku-laku. Menjadi perempuan yang durhaka, bejat, gila. Tradisi inilah yang
dilawan oleh Nur Imamah.
Kita bisa membayangkan dalam sebuah kampung
yang mayoritas perempuan taat terhadap tradisi nenek moyang yaitu nikah dini,
sementara ada satu perempuan yang tidak sejalan dengan tradisi nenek moyang. Nur
mati-matian melawan tradisi ini bahkan seorang Kiai Bahar yang kharismatik
semua masyarakat kampung menghormati dan ta’dim, namun itu juga di lawan oleh
Nur Imamah bahkan Nur harus rela tidak menikah dengan tunangannya Iqbal yang
dia sangat cintai demi melanjutkan pendidikan.
Dengan sebuah Tanya, apakah perempuan tidak
boleh memiliki cita-cita tinggi seperti laki-laki? Mengapa laki-laki bisa
memilih sementara perempuan tidak? Mengapa laki-laki bisa kuliah keluar kota
sementara perempuan tidak? Kalau aku menikah umur lima belas tahun, saya memiliki
pendidikan yang tinggi? Kalau aku nikah, aku pasti sibuk ngurus suami, anak. Padahal
Nabi saja menyuruh ummat menuntut ilmu sampai negeri Cina, tapi mengapa kiai
kampung tidak membolehkan? Apakah agama melarang aku kuliah atau menuntut ilmu?
Begitulah yang menggelisahkan Nur Imamah selama berada di Rumah Senja, tempat
dimana Nur bersama teman-temannya belajar menulis dan berdiskusi bahkan ketika
dirinya risau dengan keadaan teman-temannya yang mau dinikahkan.
Novel ini memang menarik dari tokoh perempuan
kampung yang memiliki tekat yang kuat untuk melanjutkan pendidikan, namun akan
terlihat usang ketika hari ini banyak perempuan-perempuan kampung mulai
berdatangan ke kota-kota besar untuk kuliah, walaupun sampai hari ini masih ada
perempuan yang dipaksa nikah dini. Namun apakah kita pernah bertanya, latar belakang
perempuan-perempuan Bandungan kuliah? Novel ini menjawab mereka berangkat
karena lari dari rumah lalu ke Jogja. Diputus tunangannya karena masih ingin
kuliah. Lari ke kota karena dipaksa nikah.
Berkat kegigihan dan komitmen yang kuat dari
Nur untuk menggapai pendidik yang tinggi, ternyata cinta dan cita-cita mampu di
capai. Artinya novel ini mengajarkan kepada kita bahwa orang untuk kuliah tidak
harus memiliki uang yang banyak, namun niat yang tulus, kuat dan dapat ridha
dari orang tua, maka apa yang kita cita-citakan akan tercapai (inilah yang
dimaksud dengan Gaik Bintang). Buktinya banyak orang kaya tapi anaknya tidak mau
kuliah. Uang bukan segala-galanya dalam menggapai cita-cita keilmuan. Namun
uang bisa untuk membeli title Sarjana, Dr dan Prof.
Dengan demikian, uang bisa digunakan dengan dua
pilihan untuk dikatakan berpendidikan tinggi secara formal, pertama dengan belajar
sungguh-sungguh di bangku kuliah, dua dengan membeli, entah bagaimana caranya. Novel
ini lebih memilih yang pertama yaitu belajar yang sungguh-sungguh. Sehingga
konsep keilmuanya pun jelas. Jadi tidak ada alasan hari ini perempuan yang
tidak bisa kuliah untuk belajar serius. Sebab novel ini mengajarkan kepada kita
keilmuan lebih penting dari sekadar hanya mengejar ijasah, inilah yang dimaksud
dengan menikahi makna dengan maskawin imajinasi. Selamat membaca.
Komentar