Rajabiyah dan Spirit Religiusitas



(Catatan Rajabiyah MWC NU Gapura)
Oleh: Matroni Musèrang*

Masyarakat NU se-Nusantara tentu paham bahwa bulan Rajab merupakan lahirnya Nahdlatul Ulama yang dimotori oleh para ulama besar Nusantara. Ulama yang memiliki spirit untuk memperkenalkan keberagaman dan keberagamaan. Keberagaman dipahami sebagai ruang budaya dan ruang pemikiran. Keberagamaan dipahami sebagai pluralitas agama yang ada di Nusantara. Dalam esai ini saya akan mencoba merefleksikan rajabiyah tahun ini khususnya di MWC NU Gapura.
Rajabiyah sebagai pertanda dan penanda bagi lahirnya NU dan berkobarnya “gerakan” para ulama besar untuk mengajak ke ruang pemikiran ahlus sunnah wal jama’ah. NU adalah ahlus sunnah wal jama’ah. ahlus sunnah wal jama’ah adalah NU. Namun ahlus sunnah wal jama’ah bukan semata-mata ikon kosong, akan tetapi di dalamnya mengandung spirit sejarah (al-tarikh), spirit kemanusiaan (al-insaniyah), spirit keislaman (dirasah Islamiyah), spirit religiusitas (dirasah addin), spirit keilmuan (dirasah ilmi).
Spirit di atas akan menjadi menara gading yang kusam dan retak, jika masyarakat ahlus sunnah wal jama’ah memahami NU hanya sebatas kitab yang dikarang oleh para pejuang ahlus sunnah wal jama’ah. Kalau ahlus sunnah wal jama’ah dipahami secara tekstual, maka kita tidak akan mendapatkan apa-apa, benar apa yang dikatakan oleh penceramah malam puncak Rajabiyah MWC NU Gapura yaitu Habib Abdul Qadir bin Zaib Ba’abud bahwa ilmu tidak ada di dalam teks itu sendiri, akan tetapi ilmu berada di kedalaman hati manusia.
Ini artinya, ahlus sunnah wal jama’ah bukan hanya tataran tekstual, tetapi juga kontekstual. Ulama ahlus sunnah wal jama’ah memahmi teks tidak serta merta teks an sich akan tetapi di dalam teks itu sendiri harus di kita selami makna dan nilai yang terkandung dikedalaman teks itu sendiri. Dengan pemahami teks itu, maka lahirlah para ulama dan mufassir untuk memahmi teks, sebab ulama sebagai pewaris Nabi memiliki amanah dan tanggungjawab untuk memberikan pemahaman sesuai dengan konteks budayanya. Pemahaman ini penting untuk kita, sebab dari pemahaman inilah lahirlah pemahaman-pemahaman baru yang kemudian menjadi konstruk paradigma masyarakat.
Dewasa ini, kita seringkali terkaget-kaget karena tiba-tiba tanah-tanah kita terjual dengan harga yang mahal dan masyarakat kita pun mau. Tiba-tiba masyarakat berbondong-bondong membeli TV parabola. Tiba-tiba anak-anak kita makin manja. Tiba-tiba materi menjadi ukuran segalanya. Ini sebuah kenyataan masyarakat kita hari ini. Kenyataan itu akibat dari pola pikir, dan paradigma masyarakat dalam memahami teks agama, teks budaya, dan keilmuan.
Paradigma seperti ini akan mengakibatkan pada pemahaman yang jumud (kaku), egoistik, individualistik, materialistik, hedonistik dan pragmatis. Karakter ini sudah mendarah daging dipikiran dan hati kita, sehingga kita seringkali merasa gagah dan sombong (tade’ oreng) karena merasa dirinya kaya. Apa yang ia punya, rumah yang megah, uang yang melimpah, mobil-motor lengkap, fasilitas serba ada itu semua dianggap milik sendiri, karena hasil dari jerih parahnya sendiri.          
Padahal dalam perspektif religiusitas “rasa memiliki” itu salah. Di mana letak kesalahannya yaitu berada di rasa memiliki pada yang kita punya. Padahal kita tahu bahwa apa-apa yang kita punya itu semua dari Tuhan. Tuhanlah pemilik segala. Tuhan hanya menitipkan saja, sebab suatu saat ia akan diambil pemiliknya dan tentu dengan cara Tuhan. Kita seringkali lupa hal ini. Seharusnya dalam budaya Madura kita harus berterima kasih terhadap orang yang memberi. Apalagi Tuhan yang memberi, mengapa kita lupa untuk berterima kasih?
Keringnya pemahaman seperti itulah yang mengakibatkan banyak para santri dan sarjana yang ilmunya tidak manfaat kata Habib Abdul Qadir bin Zaid Ba’abud di samping ada tiga faktor mengapa hal itu terjadi pertama kita tidak lagi mengikuti dan melaksanakan sunnah-sunnah Nabi, kedua hilangnya rasa ta’dim dan rasa hormat pada ulama ahlus sunnah wal jama’ah. Ke tiga hilangnya rasa meghormati pada sekeliling dan keluarga guru.
Secara materiil kita tentu mampu melihat perilaku santri yang merunduk jika ada guru, pelan, sopan, andep asor jika ada guru, akan tetapi apakah dikedalaman pikir dan hati santri sama. Belum tentu. Benar apa yang dikatakan Ranobaya dalam film Angling Dharma bahwa di istana penuh orang-orang pengecut, ia sopan bertutur, tapi dibelakang ia mbalelo. Sama dengan santri, mahasiswa ketika bertemu guru ia selalu sopan, tetapi hati dan pikiranya becek.
Rajabiyah dilakukan setiap tahun dalam rangka untuk memberikan pemahaman ke arah itu. Ke arah dimana pikir dan spiritual terjaga dari sifat pengecut dan dalim. Sebab spirit religiusitas mengarah kepada pemahaman nilai-nilai universal dari agama dan keberagaman. Pemahaman yang mendalam inilah yang akan mengangkat derajat manusia. Tanpa pemahaman yang mendalam, maka kita akan terjebak kesesatan berpikir, sehingga kita seringkali merasa mengagungkan diri, (sengan tak engko’, sengan tak ebanto senko’, gara-gara sengko’ oreng roa). Padahal ini salah, sebab yang harus diagungkan bukan makhluk, tapi kholiq, tapi mengapa kita berpikir seperti itu? Dimana kemudian Tauhid kita? Dimana pemahaman kita terhadap agama? Dimana pemahaman kita terhadap teks-teks ahlus sunnah wal jama’ah.
Kalau zaman wali Songo, Sembilan mampu menjadi motor bagi pemahaman agama dan budaya, sekarang ribuan bahkan jutaan ilmuwan dan santri yang lulus, tapi mengapa Indonesia dan budayanya masih terpinggirkan dan gersang? Salah satu penyebabnya adalah paradigma sudah berubah. Berubah ke arah material, ke arah egoistik, ke arah pragmatis, ke arah individualistik, sehingga dunia yang luas ini hanya dipahami dari bentuknya saja, tanpa memahami dari immaterinya.
Rajabiyah dalam rangka mengajak kita untuk berpikir ulang, memahami ulang, ajaran-ajaran ahlus sunnah wal jama’ah, agar terkuak saripati yang tersembuyi di balik kedalaman teks ahlus sunnah wal jama’ah. Semoga kita terus diberi kesadaran untuk selalu membaca, mengaji dan belajar, sehingga kita paham betul makna agama, budaya, guru dan ulama sebagai pembentuk kebudayaan akhlaki yang rahmatal lil alamin. Amin


*esais dan pengurus Lesbumi MWC NU Gapura


   


Komentar

Unknown mengatakan…
Bagus sekali mas roni
Ladang Sunyi mengatakan…
engki ganeko ajar bule

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani