Pesantren




Oleh: Matroni Musèrang*


Pesantren itu menghadirkan sebuah kamar. Luasnya sekitar 3 x 3, terlalu sempit untuk belajar, membaca dan ritual. Penghuninya delapan. Ruang terasa bauh, dan berantakan. Ketika jendela di buka yang membeberkan dunia luar yang begitu luas dan perkasa.
Dalam pesantren itu pula para ulama, Kiai, guru dan ustadz melukiskan indahnya belajar dan dialog keilmuan dengan sederet imaji yang makin lama makin delamatis. Sang Kiai “tertidur dalam keberagaman”. Sang bapak “terbaring lelah”. Mata Kiai itu menatap ke sesuatu yang mungkin hanya sebuah citra ketidakberdayaan sebuah gambaran “orang yang terlena di tengah zaman”. Mata yang terbatas. Malam dan Siang itu waktu terus mengirimkan perubahan dan perkembangan untuk memberikan angin segar, dan tampak “sudah banyak santri belajar di sini”.
Suasana damai, seperti daun-daun hijau yang padat rimbun. “Keramaian pohon-pohon sejuk selalu”.
Kiai menuliskan baris-baris kitab sekitar berabad-abad yang lalu, di Mesir, Mekkah, Turki, Madura. Kini pesantren ini harus berhadapan dengan dunia baru, membaca keberagaman baru yang tak menentu, apa makna sebuah pesantren (mungkin sebuah ruang) di Indonesia? Bagaimana pula kelak, di tahun 2030, ketika diperhitungkan hampir 70 persen penduduk Indonesia hidup di pesantren? Apa yang tengah kita saksikan: sebuah kedamaian, atau sebuah persaingan antar pesantren?
Kecemasan atas banyaknya pesantren yang padat tak hanya terbatas di Dunia Ketiga. Di pertengahan abad ke-20, ada sebuah keluhan tentang penjajahan: “Di ranah penajajahan tak ada pesantren.” Akhirnya penduduk desa-desa tinggal di dalam kotak-kotak yang dipasang-susun.” Akhirnya rumah hanya terbangun sebuah ruang untuk mengambil untung; ia kehilangan “karomah”-nya. Tak ada lagi pertautannya dengan yang kosmis-transenden, sebagaimana ia kehilangan makna, terlepas dari misteri keagungan.
Keluhan saya seperti ini memang menyiratkan sebuah nostalgia, kerinduan kembali kepada suasana tempat yang dengan damai dihuni bertahun-tahun di desa-desa dan kampong kecil di pedalaman—sesuatu yang tentu saja tak bisa berlaku dalam latar sejarah sosial-ekonomi-budaya Indonesia.
Di Indonesia, terutama di Jawa dan Madura, kepadatan pesantren sudah lama terkenal di pedusunan dari suasana sejuk-tenteram seperti yang dulu diidealkan Islam Rahmatan lil alamin. Petani, guru, Kiai, dan ustadz punya rumah yang layak dirindukan. Namun akhir-akhir ini tanah kita yang kian sempit diolah dan dimanfaatkan oleh penghuni yang kian lama kian banyak. Sebuah “involusi pertanian dan tambak udang juga wisata” (dalam istilah Clifford Geertz) terjadi: bukan kekayaan dan keluasan yang dibagi-bagi, melainkan kemelaratan dan kesempitan. Pesantren yang dilukiskan sebagai tempat yang nyaman untuk belajar, membaca, menulis dan ritual semakin hari semakin sempit dan santri belum memiliki bekal pengetahuan yang cukup.
Keadaan memang sedikit berubah sekarang, setelah program pendidikan ada dana untuk guru dan kaum pendidik. Dana ini sudah cukup apalagi mendamba-damakan sertifikasi. Tapi jika lihat kenyataannya, banyak santri dan siswa tetap sebuah kenyataan yang menyebabkan hubungan antara anak dan guru juga orang tua demikian tak membekas. Kita mengalami, dan menyaksikan, sejenis neo-moralisme-negatif: orang berlomba berpendidikan dari satu pesantren ke pesantren lain; “kamar” bukanlah faktor penting dalam memberikan pelajar dan pendidikan.
Orang hidup dari ruang pesantren satu ke ruang pesantren lain. Orang tak lagi mengenal tempat sebagai pembelajaran, sebuah istilah yang sangat familiar di telinga kita yang bukan saja menunjukkan sebuah nilai fisik, tetapi juga afeksi, sentuhan perasaan yang positif, ruang yang pas untuk belajar. Tempat telah jadi komoditi. Ia bukan lagi bagian dari pengalaman pengetahuan yang tak bisa diperjualbelikan. Ia bukan lagi mendapatkan wujudnya sesuai dengan wujud pengetahuan; ia tidak lahir dari proses kepesantrenan, proses seperti ketika harus memiliki dan mengerti makna-makna pesan (etika atau moral) yang membuat ruang hidupnya dengan membuat liang yang cocok. Santri membangun liangnya dengan moralnya; ia masuk ke sebuah geografi yang sudah disiapkan untuk siapa saja. Di sana, ia hanya seorang tamu yang harus mengerti makna bertamu di kosmis dan pesantren.
Neo-moralisme-negatif itu juga lahir dari jarak: di pesantren, kamar dan tempat belajar sering kali begitu jauh, lalu lintas begitu cepat berubah dan berkembang, hingga lebih lama orang hidup di jalanan ketimbang di kamarnya sendiri. Ia akan berangkat pukul enam pagi, sampai di rumah kembali pukul satu siang, untuk kemudian duduk mengaji al-qur’an, sebelum tidur, mungkin mimpi. Dan subuh dibangunin.
Tapi tetap ada benarnya, bahwa santri tak pernah sempurna sebagai seorang santri. Pada tiap kesempatan, pesantren mencoba membentuk pendidikan yang bisa dibutuhkan masyarakat dan dunia saat ini. Juga di pesantren. Ada tempat-tempat yang kita bangun dan tempati dengan betah dan tidak betah, juga di luar apa yang biasa disebut “kamar”. Ada ruang, sebagiannya tersembunyi dalam pikiran dan hati, yang tak hendak dan tak bisa diperjual-belikan: sebuah kamar sejati, sebuah kampong yang menyimpan kedamaian, sebuah pasar pengetahuan yang menambat hati seharusnya semakin kaya, sebuah ruang belajar, sebuah masjid tempat ibadah, sebuah tempat pertemuan dengan sang Kiai.
Di ruang-ruang yang jadi kamar belajar, ada tenaga yang menarik kita ke dalam, membentuk setitik pusat spiritual, membangun dunia imaji yang seakan-akan tanah yang kita jaga. Tapi di zaman ini, ada tenaga yang juga menarik kita ke luar, karena tempat apa pun pada akhirnya hanya sebuah ruang tamu. Barangkali yang akan tetap akhirnya hanya kenangan atau sebuah kamar imaji. Dan kita tak menyebut diri “manusia-edukatif”.
Hari ini dan mungkin nanti, pesantren adalah arus di mana “edukatif” tak lagi relevan. Yang ada hanyalah tempat menampung manusia dalam memperpanjang waktu sambil menunggu sesuatu. Ada yang hilang dalam kepesantrenan itu. Tapi santri mencoba berjalan terus, terengah-engah makin lama makin tua, mencoba bisa hidup walaupun dengan ruang-ruang sempit yang kehilangan pandangan, dalam “keramaian keberagaman pesantren sepi selalu”


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani