LGBT Untuk Siapa
Oleh: Matroni Musérang*
LGBT atau GLBT
dan singkatan lainnya dari "lesbian,
gay, biseksual,
dan transgender”
yang kemaren-kemaren menjadi boming di medsos, yang menyeret artis Syaiful
Jamil (sekedar contoh). Namun istilah ini (LGBT) sebenarnya sudah lama menjadi
perdebatan di antara banyak pemikir sosial dan kemasyarakat dunia, hanya saja
kita sering kaget-kaget kalau fenomena baru dan menjadi perbincagangan banyak
orang. Padahal kalau kita selalu membaca dan belajar berbagai hal.
LGBT yang
seringkali memunculkan pikiran negatif. Apakah benar negatif? Apakah sudah
paham mengapa muncul LGBT? Mengapa mereka mati-matian memperjuangkan? Ada apa
dibalik itu semua? Siapa mereka? Dan untuk apa dan siapa? Pertanyaan ini
penting untuk kita ketahui, agar tidak mudah menjustifikasi manusia ke jurang
kesalahan. Kesalahan yang di identikkan dengan dosa, kafir dan musuh. Apakah
setiap kesalahan dijamin dosa, dijamin kafir, dijamin musuh? Belum tentu kawan.
LGBT sebuah
komunitas yang ingin adanya diakui, apakah salah kalau memiliki keinginan untuk
diakui? Eksistensi mereka seolah-olah dimarginalkan. Wajar jika mereka bergolak
dan naik ke permukaan. Siapa yang tidak marah jika di ganggu? Tentu semua
makhluk pasti marah. Hanya saja entensitas kemarahan itulah yang beda-beda.
Sesama manusia akankah kita saling membenci? Sesama manusia akankah kita saling
memusuhi? Sesama manusia akankah kita saling tengkar hanya persoalan identitas?
Sejauh mana identitas sosial dan komunitas itu bermakna bagi kita? Tentu
jawaban kita beda-beda pula. Akankah kita akan saling menyalahkan hanya karena
persoalan ‘beda’? padahal dalam postur tubuh kita juga beda. Hidup, mata,
mulut, dada, perut, paha dan lainnya, haruskah kita membenci hal itu?
Di sinilah
penting bagi kita untuk merekontruksi kata al-Insan (manusia) yang
disebutkan banyak kali di dalam kitab saya (al-Qur’an). al-Insan tidak
serta merta diqaulkan oleh khaliq, akan tetapi ada makna dan maksud tertentu
yang harus kita dalami maknanya. Konsep al-insaniyah memerlukan beberapa
pendekatan dan cara pandang yang cukup luas, jika kita hanya memahami satu
corong saja dalam keilmuan maka, kita akan terjebak pada pemahaman yang
parsial. Untuk itulah di sinilah pentingnya konsep musyawarah (wasyawirhum),
atau dengan bahasa lain perlu adanya dialektika atau dialog keilmuan untuk
menemukan titik terang agar kita tidak mudah menjustifikasi fenomina LGBT ke
dalam komunitas manusia nigatif.
LGBT juga
kelompok manusia yang bisa makan, minum, tidur, ngeseks, dan kebutuhan lainnya.
Kalau pun harus berdialog dan berdialektika tentu membutuhkan pengetahuan dan
kedalaman pemahaman, di sinilah peran intelektual dan ilmuwan (kalau harus
menyebut gitu), bukan ranah haram dan halal, jika menyangkut persoalan LGBT,
akan tetapi sejuah mana kita mampu berdialog dan berdialektika saling mengadu
argumentasi. Inilah yang disebut diskusi keilmuan. Bukan kemudian LGBT harus
dibubarkan!, lesbian dan gay harus dikucilkan!! Dan cacian lainnya. Atas dasar
apa kita memcaci mereka? Atas dasar apa kita memusuhi mereka? Atas dasar apa
kita harus membenci mereka?
Kita tanpa
berpikir panjang dan sejenuk merenung, buru-buru membenci dan menolak mereka.
Dalam perspektif keilmuan tentu kita membutuhkan cara untuk melihat dan membaca
persoalan. Cara pun beragam. Tentu hasilnya pun beragam. Dengan keberagaman
itu, maka dibutuhkan saling menghargai, menghormati, dan toleransi sesame
manusia dan sesama orang yang diberi fasilitas akal oleh Tuhan.
Ilmu diturunkan
bukan untuk membenci, memusuhi, dan mencaci, akan tetapi ilmu diadakan untuk keselamatan
seluruh makhluk dan produk makhluk. Begitulah seharusnya ilmu hidup di tengah
–tengah manusia. Ilmu ada untuk mendampingi kita agar mampu melihat dan
membedakan ke mana arah kita harus berjalan? Ilmu di adakan untuk member
petunjuk kedamaian. Ilmu di adakan untuk memberi semangat hidup yang saling
berdampingan sesama makhluk.
Apa yang
agungkan dari sebuah makhluk? Jika pada akhirnya akan berkalang tanah. Bila LGBT
hadir itu cara-cara Tuhan memberi pengetahuan agar kita mampu membaca dan
belajar. LGBT hadir maka secara otomatis kita diperintah untuk membaca LGBT,
memahami LGBT dan mencari maknanya. Kalau hadirnya LGBT kemudian dituduh abnormal
dan produk “orang kafir”, memangnya yang berhak men-cap, kita kafir siapa?
Bagi saya LGBT
merupakan bagian dari keberagaman produk budaya yang penting untuk menjadi perhatian
para pembaca yang arif bahwa angin tak selamanya selalu segar, kadang angin
datang dengan membawa bau comberan, sama halnya dengan kita yang datang
bertandang ke rumah pacar atau guru tidak selamanya selalu membawa beras dan
jajan, kadang juga membawa rasa gelisah dan ingin marah. LGBT juga akan membawa
kita pada sesuatu yang membuat kita marah, benci, dan abnormal, sebab ia tidak
sama dengan kebudayaan kita pribadi, akan tetapi tetap menjadi tanggungjawab
manusia untuk selalu dan terus membaca sebagai bagian dari produk budaya.
Pada akhirnya,
pengetahuan kitalah yang menentukan siapa kita sebenarnya. Bukan komunitas dan
partai yang menentukan siapa kita. Untuk itulah tidak etis bila ada makhluk
memusuhi sesama makhluk. Sesama bus mini dilarang mendahului. Memang banyak
aliran dan komunitas sosial, ada Partai, NU, Muhammadiyah, FPI, LDII, HMI,
PMII, dan lainnya, namun itu semua hanya jembatan bagi proses berjalannya
pengetahuan kita agar kita tidak berhenti di satu titik yang bernama instansi
(ruang sempit). Sebab masih ada ruang-ruang baru yang lebih menyegarkan
pengetahuan kita untuk terus mencari dan membaca realitas ruang-ruang yang
terselubung dibalik rona pipi semesta. Semoga kita diberi.
Battangan,
11 Mei 2016
Komentar