Sarjana dan Pengangguran
Oleh: Matroni Musèrang*
Kemaren pada
tanggal 2 April 2016 saya dan isteri saya main ke salah satu teman akrab saya. Dia
merupakan sarjana pendidikan yang baru lulus dari perguruan tinggi. Setelah wisuda
dia bingung mau hendak kemana? Ada rencana mau ke Jakarta, kerja menjaga tokoh.
Selalu bingung dengan kerja. Dia pingin kerja. Sebab kesarjanaannya belum bisa
ia menjadi sosok yang diharapkan. Mungkin karena dia orang desa yang tidak bisa
bersaing melawan kompetisi untuk menjadi guru.
Saya dan dia
akrab setiap kali bertemu di rumahnya, dan telvon pasti selalu tersenyum
terbahak-bahak, kadang diskusi, kadang goyonan dan lainnya. Title sarjana kita
tahu merupakan dambaan setiap orang, karena diyakini sebagai perantara ia akan
mendapat kerja kantoran, menjadi anggota DPR, sehingga wajar jika hari ini
banyak mahasiswa “hanya” mengejar ijasah, nilai dan IPK, ketika IPK tinggi
diyakini akan mudah masuk dimana pun membutuhkan kerja. Jangan salahkan
mahasiswa jika tidak mau membaca. Tugas selalu copi paste di google. Tanpa ada
gagasan dan analisis. Itulah zaman dimana ijasah menjadi tujuan semua mahasiswa
dan guru.
Namun ada hal
yang mengganggu pikiran saya. Sarjana itu sebenarnya apa? Dan pengangguran itu
apa? Adakah batas dimana ia di sebut pengangguran? Artinya pengangguran disini
harus jelas maknanya. Ada data Sebanyak 400 ribu pemuda Indonesia yang bertitel
sarjana menjadi pengangguran, demikian data yang dikeluarkan BPS pada bulan
Februari 2015. Badan Pusat Statistik merilis, per Februari 2010, angka
pengangguran terbuka mencapai 8,59 juta orang. Sebanyak 1,22 juta orang atau
14,24 persen di antaranya adalah sarjana. Kepala BPS Rusman Heriawan
mengatakan, jumlah pengangguran sarjana meningkat dibandingkan dengan posisi
tahun-tahun sebelumnya. Data BPS memperlihatkan, pada Februari dan Agustus
2009, pengangguran sarjana masing-masing hanya 12,94 persen dan 13,08 persen.
Namun pengangguran
di sini tidak dijelaskan. Namun saya ingin mencoba memahami lebih dalam makna
pengangguran. Padahal kedua orang tua saya tidak pernah sekolah, tapi beliau
tidak menjadi pengangguran. Beliau tiap hari kerja untuk menghidupkan
anak-anaknya dan beliau mampu. Mengapa kemudian title sarjana lebih bodoh dari
orang tidak pernah sekolah? Apakah sarjana ini tidak paham makna sarjana?
Padahal untuk
menjadi sarjana kita dididik, pikiran kita didik, hati kita dididik. Tapi mengapa
didikan itu membuat sarjana semakin bodoh? Inilah pertanyaan saya. Menganggur itu
ketika bagaimana? Apakah ketika orang kerja sawah, kerja menanam, merawat
tegal, menjadi petani itu dikatakan pengangguran?
Pengangguran adalah
orang yang bingung pikiran dan hatinya. Sehingga ia hanya diam, pikiran dan
hatinya di diamkan. Sehingga mau kerja ke sawah, tegal, seolah-olah malu. Malu karena
merada dirinya sarjana yang suci dari tegal dan sawah?. Ini kebodohan yang
dibuat oleh sarjana kita. Apakah seorang sarjana adalah dia yang kemana-mana
pakai celana, sepatu, tas, membawa laptop, android, pensil dan buku? Tidak peduli.
Wajar jika petani merasa sendiri menghadapi investor asing, tanah-tanah dijual
tanpa berpikir anak cucu.
Lalu teman saya.
Saya semangati untuk tidak jadi pengangguran yang dimaksud oleh BPS. Akhirnya dia
(teman saya) bangkit dan semangat. Dia anak seorang petani, dari keluarga
kurang mampu. Niat dia ingin memberikan penghasilan yang banyak dan memakmurkan
keluarganya. Niat itu baik, namun belum cocok untuk keadaan dan pemahamannya
akan makna sarjana dan pengangguran.
Di tengah
kebingungannya, saya Tanya “kamu punya apa di rumah”
“saya hanya
punya tegal” jawabnya
“Tegal itu
ditanami apa?”tanyaku lagi
“ketela,
jagung,”jawabnya
“Pekaraganmu,
kau Tanami apa” tanyaku
“Tidak ada”
Mengapa tidak
kau Tanami cabi jamu? Kau cari batang pohon Palembang, atau batang pohon kelor
sebagai penyanggahya agar menjalar dan berbuah dan buahnya kan mahal.
Suatu waktu aku
datangi dan melihat tegalnya, aku lihat tidak ada pupuk kadang, lalu saya beri
cara untuk memberi pupuk kadang. Kamu setiap hari ke tegal kan, mengapa tidak
kau membawa pupuk kadang, dua atau tiga cangkul setiap hari, kalau dalam satu
minggu kan sudah banyak bahkan tegalmu akan full pupuk. Artinya jangan ambisi
untuk memberikan pupuk sehari full satu kotak tegal. Tidak usah. Cukup tiap
hari satu sok kecil.
Pelan-pelan dia
belajar, awalnya memang malu, karena “sarjana kok ke tegal bawa pupuk kadang
lagi”. Dia lawan terus rasa malu, sehingga kemaren saya main, ternyata sudah
banyak penghasilan yang dia dapatkan, cabi jamunya rimbung di sekitar rumahnya,
tegal-tegalnya hijau, ada pisang, jati, akasia, ketela, bahkan dia mampu
membeli tegal sendiri di rawat sendiri dan membawa pupuk kandang sendiri.
Tegalnya ia Tanami
ketela, sehingga mendapat hasil yang membahagiakan, cabi jamunya ternyata mampu
menghidupi keluarganya. Bulan depan ia akan menikah.
“tanamlah
semuanya, biarkan alam bekerja untukmu, tugasmu menanam dan merawat, selebihnya
alamlah yang bekerja” kataku
Kalau kamu
mengikuti isu-isu pengangguran yang tidak jelas maknanya, maka ke-sarjana-anmu
sia-sia. Sarjana adalah sosok yang mampu berpikir menghidupkan alam yang gersang
menjadi hijau. Pikiran dan hati yang kosong menjadi hidup. Untuk itulah alam
sekitar kekayaan yang kamu punya juga akan hidup lantaran pikiran dan hatimu
juga hidup. Kata orang tua dahulu “tanamlah semua, sehingga ketika kamu menoleh
ke kiri ke kanan, ke atas ke bawa selalu ada untuk kau ambil”. Orang bertani
kata Bapakku kemaren “seperti tokoh, yang di dalamnya semua kebutuhan di jual, tak
paju settongnga, settongnga”, begitulah petani.
Sebenarnya pengangguran
yang di isu-isukan itu tidak ada. tanah itu ditanami ketelah sama teman saya, pupuk
kandang pun berderetan di tanggul-tanggul tempat pohon ketelah berdiri,
sehingga daunya hidup sejuk, pisang pun hijau sejuk dan buahnya besar. Maka kalau
kamu merawat alam, alam pun akan merawatmu juga.
Gapura
Timur, 4 April 2016
Komentar