Bertamu Ke Rumah Seniman





Bermula dari SMS Mahwi Air Tawar meminta buku Taneyan dan Karapan Laut segera di anterin ke rumah di Graha Wiraraja Sumenep. pagi-pagi saya berangkat sendiri dari rumah naik motor menuju kediaman Mahwi Air Tawar sang penulis Taneya dan Karapan Laut. Kira-kira 30 menit saya sampai. Di sana ada Cak Memet (Set Wahedi atau selamat Wahedi), Hasan Albanna, K, Ebat putra pengasuh Pondok Pesantren Mathaliul Anwar, kebetulan cak Memet dan Mahwi Air Tawar Alumni pesantren sana.
Setelah berbincang-bincang dan ngopi sambil membaca data-data Edi Setiawan yang sudah lebih dulu melanglang buana ke pernjuru Negara, Edi Setiawan terkenal di dunia sementara kita tak ingin menganalnya, kata Mahwi ngeledek saya, hehe, kita berlima berangkat menuju Rubaru, melewati makam bersejarah, makam para raja Sumenep di Asta Tinggi terus melewati WaterParck terus menuju rumah Seniman beliau K. Darus. Seniman senior Sumenep yang sudah melanglang buana ke berbagai Negara dengan membawa seni Sumenep.
Kita pun sampai di sana, di sambut dengan wanita kecil latihan tari. Selang limat menit, K. Darus pun muncul dengan memakai sarung-berkaos tanpa peci. Kita ngobrol macam-macam, saling sambung satu sama lain. Ada yang bertanya tentang wayang, dhalang, ukiran asli Madura. Di sela-sela beliau berkata sekarang kesenian Madura sudah di tulis semua kecuali kebudayaannya yang di tulis.
Beliau bercerita tentang mengapa tari harus empat langkah pancer satu? Termasuk mengapa orang-orang terdahulu “member nasi, jajan pasar di pinggir sawah dan tegal”? ini seringkali yang di anggap syirik. Memberi jajanan di pertigaan jalan, di pepohonan yang besar. Mengapa ini dianggap syirik oleh orang sekarang?
Alas an mengapa orang dulu memberi nasi dan jajanan pasar di tepian sawah ketika padi sudah mulai merunduk dan hampir tua, salah satu alasannya agar tikus-tikus tidak memakan padi di sawah, sebab sudah kenyang memakan makanan yang diberi di tepian sawah. Apakah ini syirik?
Seringkali kita terburu-buru menjustifikasi sebuah wacana yang ada, tanpa berpikir dan membaca lebih lanjut. Inilah yang membuat kita kemudian merasa benar sendiri, merasa pintar sendiri. Mengapa harus me-rasa kalau dirinya pintar? Mengapa harus me-rasa kalau dirinya guru? Padahal hal itu hanya identitas sosial yang seringkali membuat kita terjebak pada kecongkakan diri, sombong dan lain sebagainya.
Lantas kalau orang-orang seperti ini masih ada, bagaimana mungkin kebudayaan akan berkembang subur? Kesenian akan berkembang subur? Selama saya bertamu ke ahli budaya dan ahli seni, mereka luar biasa bijaksana dalam menghormati segala makhluk Tuhan. Mulai dari pohon-pohon kecil apalagi yang besar.  
Artinya membaca ayat-ayat kebudayaan dan ayat-ayat kesenian yang terimplikasi pada akhlak keseharian itu jauh lebih penting daripada sekedar alim membaca ayat-ayat qualiyah an sich.
Battangan, 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Pentingnya Etika Memilih Guru dalam Keilmuan