Qur’an Bada Huruppe, Tèngka Tade’ Huruppe
Oleh: Matroni Musèrang*
Tesis di atas
saya dengan dari sesepuh Madura yang kebetulan saya silaturrahmai ke Dasok. Qur’an Bada Huruppe, Tèngka Tade’ Huruppe,
bahasa tergiang-giang sampai saya pulang ke rumah. Saya berpikir bahwa segala
yang ada di dunia pasti memiliki makna, termasuk peribahasa di atas. Peribahasa
di atas membuat saya harus membuka cakrawala keilamuan filsafat yang selama di
Yogyakarta saya belajar.
Saya berpikir
dan merenungkan peribahasa tersebut. Pertama
Seolah-olah Tèngka lebih agung
daripada al-qur’an. Kedua atas dasar apa pribahasa ini muncul dan tujuannya? Saya
berpikir terus dan terus, sampai akhirnya saya harus mengeluarkan hermeneutika
untuk membaca pribahasa Madura ini. Walau pun hermeneutika diperkenalkan oleh
orang Barat, namun ini cocok untuk digunakan sebagai instrument untuk membuka
pribahasa local ini yang selama ini menjadi bahasa tanpa makna bagi generasi
muda.
Di sinilah saya
mencoba memaknai dan merenung pribahasa. Ternyata sesepuh kita atau nenek
moyang kita memberikan pengetahuan kepada kita dengan pribahasa sederhana dan
ringkas, namun penuh makna dan sangat filosofis, artinya nenek moyang kita
memberikan rangsangan agar kita mampu berpikir kritis tentang suatu ajaran yang
ada dalam keseharian. Di sinilah mengapa kearifan local menjadi pengetahuan
yang berharga bagi anak muda yang didalamnya mengandung makna filosofis yang
luar biasa bagi hidup dan berkembanganya Tèngka.
Untuk
menguak makna filosofis dari pribahasa ini saya menggunakan hermeneutika
kebudayaan tentunya dan mendekatinya dengan sosial-historis Nasr Hamid Abu Sayd.
Sebab sampai detik ini saya masih percaya bahwa teks dalam hal ini pribahasa
bukanlah objek mati, bukan sekedar teks yang merentang dalam keseharian
masyarakat Sumenep, akan tetapi merupakan semangat keilmuan yang dilahirkan
oleh nenek moyang kita sebagai gawang kebudayaan yang menghayati
persoalan-persoalan hidupnya. Sebab hidup menurut Wilhelm Dilthey adalah pengalaman
manusia yang dikenal dari dalam diri sendiri. Lebih lanjut mengatakan hidup
adalah suatu keseluruhan yang tidak terpisah-pisahkah, tidak berkeping-keping,
ia adalah suatu yang arus yang senantiasa mencipta, mencipta nilai baru,
senantiasa bergiat secara bebas. Dilthey menerangkan hidup tidak dapat
didedukasikan dari prinsip-prinsip. Hidup tidak dapat diterangkan, tetapi dapat
dipahami. Untuk memahami kita membutuhkan alat, bisa akal, bisa intuisi.
Kalau hidup
dibiarkan mengalir tanpa pembacaan yang dalam, maka kita akan buram pada
sejarah, kita akan kehilangan tanda, artefak dan kita akan putus hubungan
dengan nenek moyang kita. Kalau ini terjadi bagi generasi muda, maka jangan
harap keilmuan kebudayaan akan hidup dan berkembang sesuai dengan kearifan
lokal yang ada, justeru kita akan dipropaganda dan direkayasa kebudayaan kita
agar kita buram memahami sejarah nenek moyang kita sendiri. Hal ini disadari
oleh banya peneliti professional bahwa kearifan lokal sebenarnya di jajah,
wajar jika ada perang simbol. Jika kita tidak mampu membaca simbol-simbol yang
melekat di dingding kearifan lokal kita sendiri, buat apa kita ada dan hidup? Bukankah
kita sama dengan hewan yang hidup, makan tanpa harus berpikir dan membaca
keadaan. Sementara kita diberi fasilitas kata Ibnu Arabi tidak kita gunakan.
Berangkat dari
pendapat ulama Dilthey dan Abu Zayd inilah saya ingin mencoba memahami kearifan
lokal yang berbentuk pribahasa sastra. Dikatakan sastra karena bahasa di atas
mengandung makna-makna, dan sastra berbicara tentang makna-makna. Makna apa
yang dimaksud dari Qur’an Bada Huruppe,
Tèngka Tade’ Huruppe, mari kita diskusikan bersama, berdialektika untuk
menemukan satu ajaran atau pengetahuan yang ada di ruang ini, sebab tidak ada
kebenaran tunggal di dunia. Sebab menurut Syaf Anton Wr setiap kearifan lokal
pasti mengandung nilai moral dan nilai pendidikan.
Mengapa orang
Madura mengatakan Tèngka tidak ada
hurufnya? Ini bermakna moral memang tinggi nilainya sehingga orang Madura
mengatakan “Qur’an Bada Huruppe, Tèngka
Tade’ Huruppe”. Tèngka bagi
masyarakat Madura lebih tinggi maknanya daripada moral atau akhlak. Sebab moral
dan akhlak ada kitab dan bukunya sementara Tèngka
tidak ada.
Teradisi ter-ater, atolong, lalabet, nyapot
kennet, gabai, adalah tradisi yang memiliki takaran tersendiri sesuatu yang
akan di bawa. Misalnya, membawa beras atolong, orang Madura akan malu, ketika
hanya membawa satu corong, atau
member uang 50ribu, artinya ketika ter-ater,
atolong, lalabet, nyapot kennet, gabai, harus sesuai dengan tradisi yang
memang mayoritas orang memberi.
Secara simbolik
tradisi ter-ater, atolong, lalabet, nyapot kennet, gabai inilah yang disebut Tèngka. Artinya dalam Tèngka ada nilai materi (membawa beras,
uang, baju, dan lain-lain) dan nilai non-materi (misal rasa malu, takut menjadi
buah bibir) dan di benci banyak orang.
Belum lagi
ketika mau berangkat ter-ater, atolong, lalabet, nyapot kennet, gabai, orang berdandan dengan rapi,
wadaknya ceppoh di sungging yang
terbuat dari bambu. Belum lagi kita harus belajar bagaimana cara duduk bersila
jika laki-laki dan atempo jika perempuan. Hidangan yang diberikan tuan rumah tidak
boleh di otak-atik, sebelum dipersilahkan. Artinya tradisi eatore
(dipersilahkan) benar-benar diperhatikan oleh orang Madura agar Tèngka lakunya di cap jelek.
Tèngka
dalam hal ini ada kaitannya dengan hadist “innama
buistu liutammimah maka rimal akhlak” bahwa sesungguhnya saya di utus ke
muka bumi ini untuk menyempurnakan akhlak. Hadist ini ada bahasa
“menyempurnakan” kata menyempurnakan mengindikasikan bahwa akhlak sebenarnya
sudah ada di dalam masyarakat, namun kurang sempurna, untuk itulah Rasul hadir
untuk menyempurnakan, namun akhlak yang mana yang harus disempurnakan? Tentu kita membutuhkan sharing pembacaan.
Sebab tengka ada
dua, pertama tengka material dan tengka non-material.
Komentar