Pengantar Mengembarai Sublimasi Cinta dan “Kematian”
Oleh: Matroni Muserang
Cinta adalah jalan terdekat menuju kematian (Andi
Magadhon)
Kata-kata di atas sengaja saya kutip dari pertemuan saya dengan Andi
Magadhon. Malam itu di Komunitas Rudal saya ngobrol banyak persoalan sastra dan
proses kreativitas seorang penyair. Cinta bagi pribadi penyair (Andi Magadhon) merupakan
sebuah ruang yang tak bisa diselesaikan dengan rasionalitas, akan tetapi
membutuhkan alat lain yaitu tidak usah “dipikirkan” karena semakin dipikirkan
cinta akan berbentuk tak tentu, kadang sejuk, kadang juga panas sehingga
membuat kita linglung dan tak berdaya. Maka hati-hatilah dengan cinta, walau
pun pada hakikatnya cinta jalan terdekat menuju kemantian, lalu pertanyaan yang
kemudian lahir adalah apakah kematian di sini? Dan tentu saya tidak akan
membahas apa kematian tersebut, lebih baik baca antologi puisi “Langit
kesetiaan” dengan baik, agar kita menemukan makna kematian yang ada kaitannya
dengan cinta.
Tugas saya di sini memberi pengantar, jalan, atau petunjuk untuk sampai ke
pintu dan masuk di dalamnya dengan berbagai cara agar kita tidak “tersesat”
ketika membaca beragam diksi yang kadang membuat kita tertegun dan terhentak
dengan diksi-diksi yang di pilih oleh Andi Magadhon.
Setiap penyair memiliki dunia tersendiri dalam mengembarakan imajinasinya.
Imajinasi merupakan sebuah makhluk yang diciptakan dan hidup di dunia para
penyair. Imajinasi inilah yang kemudian membawa beragam bentuk kata-kata dan
gelorah kepenyairan. Maka dari itulah penyair membutuhkan alat atau dunia untuk
menyambut kelahiran dan kedatangan bentuk-bentuk yang di bawa imajinasi ke
hadapan para penyair. Dan Andi Magadhon menyambut dengan gelorah sebagai alat
untuk mengendong.
Gelorah ini berbentuk daun baru yang di dalamnya berisi kehijauan, air,
laut, angin, batu, besi, bunga, kemiskinan, manusia, wanita, matahari, langit. Maka
ketika membaca puisi-puisi Andi Magadhon dalam antologi “Langit Kesetiaan” kita
pasti menemukan diksi-diksi tersebut. Artinya puisi yang ada dalam antologi ini
sangat kompleks dengan bahasa lain “imajinasi kompleks”.
Imajinasi kompleks ini lahir dari pergolakan pikiran dan imajinasi Andi
Magadhon sehingga menemukan berbagai kompleksitas kemanusiaan, dari modernitas,
kapitalisme, teologi, sejarah, hedonisme, dan globalisme, inilah yang membuat
Andi Magadhon terhentak dan acak-acakan, mana yang lebih dulu yang harus di
lihat, semua merayu dengan wajah-wajah moleknya. Maka lahirnya antologi puisi
ini saya lihat untuk merespon hal itu, walau pun dengan satu cara yang cukup
untuk memberi ransangan pikiran.
Modernitas, kapitalisme hedonisme, dan
globalisme yang membuat manusia milankoli dan “cenging” sehingga melahirkan
cinta yang cenging pula, maka Andi Magadhon ingin memberi jalan lain untuk mengeksplorasi
cinta itu ke dalam bentuk yang lebih kompleks, agar kita tidak hanya tenang-tenang
saja dan damai dengan keadaan, padahal keadaan sudah mengancam dan ingin
membunuh, mengapa kita masih tenang dan santai? Maka penting untuk
direfleksikan keadaan kita hari ini. Maka mari kita lihat sebagian puisi Andi
Magadhon ini.
Apa yang terjadi?
Apa yang terjadi laki-laki terjaga
Di batas pelupuk mata dan waktu
Dengan dada di penuhi cinta? Waktu
Bergema dari suaranya yang berdentum
Di kesunyian yang meledak
Puisi ini jelas kompleks sebagai “diri” yang bergema dengan banalitas
keseharian imajinasi. Pertanyaan “apa yang terjadi” merupakan sebuah
kecendrungan untuk terus mengembara di puncak paling menggetarkan, sehingga
pecah berkeping-keping dan kepingan-kepingan itu kita melihatnya ada yang
melihat sebagai cahaya, sebagai batu, sebagai angin, sebagai cinta dan beragam
cara untuk melihat kepingan-kepingan. Bertanya merupakan lahan yang paling
cerdas untuk menemukan cela dan beragam warna bunga, termasuk bertanya tentang
cinta dan kematian. Kita lihat puisi berikutnya Ode Burung
Langit
Rumah burung-burung, aku
Sering pulang pergi ke sana
Sering tersesat dan jumpalikan
Melayang-layang dan meledak bersama
Di angkasa yang dipenuhi kilatan petir
Dan badai-badai membakar
Puisi ini berlanjut untuk terus mengembara lewat angkasa dan bumi, maka
kalau kita ingin berjalan dalam dunia puisi yang sudah dikelilingi maka
kehati-hatian untuk melirik ke kanan ke kiri penting dilakukan karena di sana
ada fenomenologi makna[1]
yang terus bergeluyut mencekam dan menggoda sang pengembara. Dari sinilah kita
membutuhkan cara dan mental yang kuat untuk menghadapi “musuh” makna yang lahir
dari jejak sejarah.
Walau pun kilatan petir dan badai-badai ada di depan kita, tak seharusnya
kita diam dan mundur, karena itu hanya gurauan semesta yang harus kita maknai
dan kita baca, agar gurauan semesta itu beku, maka dibutuhkan gelorah untuk
mencairkan semesta dalam bentuk karya disinilah Andi Magadhon memiliki spirit
yang luar biasa untuk terus menerjam dan menerkam karena di balik itu semua ada
piranti harapan.[2]
Kita lihat puisi berikutnya bahwa puisi ini benar-benar kompleks; Aku Berjalan
dalam Hujan
Aku riang, aku gembira
Melupakan kesedihanku
Tapi itu tak mampu mengalahkan
Ledakan kebahagiaan
Aku berjalan dalam cintamu
Potongan puisi ini memperlihatkan bahwa kegembiraan dan keringan selalu
memiliki ruang kesedihan yang harus disadari oleh kita, sebab kalau kita tidak
sadar bahwa setiap tatapan memiliki dua dunia, maka satu dunia akan membawa
kita pada kesedihan yang tak usai-usai, maka puisi ini memberikan cara kepada
kita bahwa hidup harus selalu berpikir dan membaca, karena puisi ini bukanlah
isi, bukan hasil, bukan ajaran yang berdasarkan pada dogma, dan kesia-siaan
melainkan fungsi yang hidup.[3]
Maka kita sebagai fungsi yang hidup sudah selayaknya memberikan kehidupan pada
diri kita sendiri dan orang lain.
Dalam hal ini Andi Magadhon memberikan kehidupan pada dirinya dan orang
lain dengan cinta, walau pun kadang cinta membuat Andi Magadhon tak berdaya dan
linglung, tapi itulah cinta, kata Andi Magadhon. Cinta sebagai proses untuk
menemukan jalan yang sejati. Kalau cinta menurut Rumi merupakan manifestasi
dari Tuhan yang kemudian manusia mampu naik mendekat pada Tuhan, maka Andi
Magadhon melihatnya cinta sebagai jalan menuju kematian, entah dengan mati kita
bertemu Tuhan atau justeru bertemu Malaikat yang hendak menyiksa?hehe. kalau
begitu lihat potongan puisi ini “Jangan Cintai Aku karena Puisi”
Kesedihan penyair karena puisi membukakan
Jalan terdekat bagi cintanya, keriangan
Dan kebahagiaannya bila ia tak keketahui
Oleh siapa pun
Bagaimana cara memperoleh sebuah jawaban dari cinta atas
persoalan-persoalan yang ditimbulkan oleh wacana Tuhan dalam cinta? Dengan
kepenyairan dan cinta Andi Magadhon menjawabnya dengan kebahagiaan, artinya
kebagiaan yang berada dalam tubuh cinta bukan objek yang dapat dimengerti dalam
bentuk-bentuk kepekaan ruang dan waktu, maka kebagiaan itu dapat dihubungkan
dengan suatu kausalitas, sehingga kebagiaan itu atau cinta itu merupakan suatu
ide[4]
atau Tuhan, maka ini menandakan bahwa eksistensi Tuhan merupakan tujuan yang
utama, namun untuk sampai di sana kita membutuhkan kesedihan (airmata yang
sebenarnya).
Diksi airmata yang selama ini kita anggap tak bermakna maka di tangan
penyair betapa airmata memiliki kekuatan yang luar biasa. Maka benar apa yang
saya tulis dalam puisi bahwa jika tak sanggup menampung kemelut luka kehidupan,
airmata dalam teman setia, ini artinya apa bahwa di sana dunia airmata kita
menemukan sosok imajinatif misalnya diri yang lemah, diri yang penuh kotoran di
hadapan Tuhan. Maka puisi selanjutnya Andi berkata: Sajak Cinta Laki-Laki
Miskin
Duh perempuanku
Ketampanan dan kecantikan cuma sedalam kulit
Kesenangan dan keriangan cuma selebar bibir
Kenikmatan dan kelezatan cuma sececap lidah
Status sosial dan kekayaan cuma sebatas ucapan
Kebahagiaan dan kedamaian cuma sehembus nafas
Mata memejam
Apa yang kau cari dari pertimbangkan
Apa yang kau kusutkan dari pikiranmu
Apa yang kau ragukan dalam hatimu
Ceritakan padaku, aku ingin tahu suaramu
Aku ingin mengerti kata-katamu
Aku juga ingin menyaksikan kebulatanmu
Setelah kita berlama-lama bersama kebahagiaan, kita masih belum lengkap
menjalani kehidupan, karena masih ada tanggungjawab sosial yang harus kita baca
dan kita selesaikan. Puisi ini mengajak kita bahwa kelahiran ide-ide baru misalnya
Post-Modernitas yang tiba-tiba menghentak, harus kita waspadai dan kita kritisi
agar tak menjadi manusia pe-ngikor, maka benar apa yang dikatakan
Fredric Jameson bahwa masyarakat postmodern ditandai oleh superfisialitas dan
kedangkalan, kepura-puraan atau kelesuan emosi, hilangnya historisitas,
teknologi reproduktif dan dasar semua ini adalah sistem kapitalis
multinasional.
Zaman komtemporer atau apa yang disebut postmodern sering kali mendewakan
dengan cara ritual simbolitas seperti merayakan produk-produk baru, sehingga
ketika tidak menggunakan produk baru dikata jadul, apa benar begitu? Kalau
puisi ini menjawab tidak, karena dibalik ritualitas itu masih memiliki makna
yang harus dimasuki agar menemukan kebulatan makna atau keutuhan pemikiran.
Pembaca yang lain tidak hanya membaca saja, lalu selesai, akan tetapi membaca
merupakan sarana untuk berdialog dan terus berdialog. Jadi selanjutnya kita
nikmati puisi terakhir dari antologi ini
Aku telah Berjuang
Aku telah berjuang
Di jalan angin yang memabukkan, beribu badai
Juwitaku yang jelita melebihi wajahmu, kini
Aku dengan rendah hati mengatakan cinta
Jalan terdekat menuju kematian
Aku mencintaimu seperti mengecup maut
Aku dipenuhi ledakan-ledakan dan gelegar-gelegar
Aku di cambuk kilatan-kilatan dan sambaran-sambaran
Tapi aku terus merangsek maju
Dengan kepingan-kepingan tubuhku
Yang berhamburan di udara
Selamat membaca.
Komunitas Rudal 6 Januari 2014
Matroni Muserang
[1] Paul Ricoeur, Filsafat Wacana, Membelah Makna
dan Anatomi Bahasa (terj. Masnur Hery), (Yogyakarta: Ircisod, 2005), hlm.
24.
[2] Abdul Rani (dkk), Analisi Wacana, Sebuah Kajian
Bahasa dalam Pemaknaan, (Malang: Bayumedia; 2006), hlm. 123.
[4] Etienne Gilson, Tuhan di Mata
Para Filosof (terj:Silvester Goridus Sukur), (Bandung: Mizan, 2004), hlm. 171.
Komentar