Belajar Ber-Pelan, Lombok Post
Oleh: Matroni Muserang*
Multikultural
adalah sebuah harta kekayaan, kata Sindhunata. Puisi sebagai bagian dari
kekayaan tersebut, tentu memiliki cara tersendiri untuk memberikan wacana dan
“fatwa” kebudayaan yang terkandung di
rahim puisi. Salah satu dari sekian banyak tujuan puisi adalah menciptakan
masyarakat beradab (civil society). Sebab di zaman yang penuh
“penjajahan”, semua masyarakat sudah tidak lagi mengenal “diri” “ruang” dan
“imajinasi”. Masyarakat tungganglanggang. “Masyarakat angin”.
Masyarakat di
buru dan memburu materialitas yang dianggap “sesuatu” yang membahagiakan dan
memberikan anugrah hidup yang mengembirakan, bagi sejuknya hidup dan damainya
kehidupan. Iya itu benar adanya. Tapi ada hal lain yang belum kita sadari bahwa
materi itu adalah bagian terkecil untuk menciptakan tatanan kehidupan ini damai
yaitu refleksivitas.
Di tengah
sibuknya masyarakat ini, dikejarnya dedline kerjaan, hidup selalu dikejar
waktu, suramnya daya pikir dan “matinya” daya rasa, maka dibutuhkan
pembelajaran dan pelajaran agar kita belajar lebih pelan, dan santun. Kumpulan
puisi ‘Pelajaran Berlari’ Didik Siswantono hadir untuk memberikan
“pelajaran berpelan” itu agar kita tidak lagi berlari dalam mengejar materi,
sebab dijalanan berlari ada batu, duri dan gelombang jalan yang seringkali
membuat hidup kita “berantakan” dalam menyikapi.
Ketika kita
berada di tengah hiruk-pikuk ketakberdayaan pikiran dan jiwa, maka yang muncul
adalah keputusasaan hidup yang seringkali berujung pada “bunuh diri”, membunuh
sesama, korupsi, dan melahirkan perbuatan-perbuatan yang jauh dari kemanusiaan.
Untuk itulah kita diajak untuk memperhatikan etika dalam bertamu ‘Buku Tamu’; lain
kali kalau kau ingin bertamu/ lewatlah pintu samping mejaku/ akan kusediakan
sebuah buku/ yang semuanya tertulis namamu.
Puisi ini
memberikan pelajaran etika, buku tamu sebenarnya bagian dari cara manusia untuk
memanggil salam dan pamit lewat buku tamu, namun terlepas dari hal itu, etika/ahlak/moral
ini disini tidak hanya tingkah laku kita dalam bekerja, dan belajar, namun
bagaimana menciptakan moral di dalam pemikiran dan hati kita agar kita menjadi
sosok manusia yang jujur. Puisi memberikan pelajaran pada kita bahwa puisi
berbicara tentang segala “sesuatu” dengan cara yang sederhana dan jujur kata ST
Sunardi.
Semakin orang
berlari, semakin cepat langkah kaki, sehingga tidak banyak menemukan fenomena
jalan, tidak akan melihat orang mengamin di jalanan, pikiran sudah fokus pada
tujuan, sehingga diluar tujuan tidak penting untuk diperhatikan. Dikecepatan
berlari orang tidak punya ruang untuk berpikir panjang, merenung dan berpikir
fenomena sosial yang berjajar di jalanan.
Tiadanya ruang
refleksi bagi para pelari di sepanjang hari digambarkan dalam puisi ‘Pelajaran
Berlari’ Dikecepatan 25000 setiap hari, semangat untuk berlari dan
berlari lebih cepat lagi, sebenarnya apa yang menjadi tujuan berlari? Tujuan
puisi ‘pelajaran berlari’ memberikan kesunyian atau memberikan ruang
refleksivitas. Puisi ‘pelajaran berlari’ mengajak kita untuk memikirkan
perpustakaan, lift, isi rumah, perjalanan, kontruksi bangsa ini.
Dapat
dipastikan sekolah, pesantren, kampus, ada perpus yang menyediakan buku-buku
bacaan, namun bagi Didik Siswantono dalam puisi mempertanyakan keadaan
perpustaan tersebut, sebab kekerasan, tawuran, narkoba, masih menyelimuti
negeri ini. Andai saja buku-buku diperpustakaan di baca, maka mahasiswa, siswa
dan santri akan cerdas-kritis dalam menyikapi fenomena-fenomena
sosial-kemasyaratan yang sering terjadi di depan kita.
Maka, di jawab
oleh puisi ‘Balada Seorang Pegawai’; ia datang mencari uang-uang/sudah
kuduga/ ia kelelahan/ tinngal menjadi tua dan sia-sia/ ia diam/ hendak pulang
menjelang petang/ sayang hujan menghadang dan lebat sekali/ sebentar lagi
malam/ia masih bertahan di mejanya/ mencari jalan pulang/ tinggal sendiri dan
sia-sia/ hujan semakin merasuk ke tubuh malam/ ia memutuskan pulang/daripada
tua dan sia-sia/ ia memutuskan naik kereta hujan di tengah malam/ membawa tas
berisi uang uang sia-sia.
Ketika
seseorang sudah berlari semakin cepat dan usia semakin tua, maka refleksivitas
mengalami “kematian”. Tua dan sia-sia adalah akhir dari berlari yang tanpa
refleksi, tanpa pembacaan dan kesunyian. Haruskah kita “mati” tanpa membawa
bekal untuk menghadap Tuhan Yang Maha Esa? Maka /kau harus tahu/airmata
adalah sekumpulan doa/ yang tak pernah mengenal lelah.
Sebenarnya
airmata bukanlah simbol sintimentil/cenging, tidak! akan tetapi airmata adalah
kekuatan spiritual seseorang dalam memperkuat jiwa yang gersang akibat
“kematian” refleksi yang diakibatkan oleh berlari. Walau pun berlari sangat
dianjurkan menuju sebuah perkampungan Tuhan Yang Maha Esa. Namun berlari yang
dipertanyakan adalah berlari mengejar kekayaan materi yang seringkali membuat
kita lupa siapa diri kita sendiri, lupa terhadap Sang Pencipta bahkan lupa
terhadap keluarga.
Ketika kita
sudah berlari jauh di sana, maka berliriklah ke belakang, artinya kita dituntut
untuk membaca sejarah sebagai cermin besar yang tidak boleh dibiarkan begitu
saja, sebab cermin besar itu adalah kekuatan jiwa kita dalam keberlanjutan
hidup yang semakin hari semakin berlari, maka kita memang harus berlari mengejar
kesejukan jiwa, mengejar airmata agar tanah-tanah jiwa lembab dengan ayat-ayat
semesta yang kini mulai kering.
Dewasa ini kita
didera dan dituntut untuk berlari oleh zaman dan keadaan. Bahkan sekelompok
masyarakat cenderung menggunakan jalan instan untuk mendapatkan kekayaan uang,
terlebih dalam memperkaya diri sendiri dan kelompok. Berlari adalah jalan yang
membahagiakan dalam meraih nilai-nilai sosial-kemasyarakatan dan identitas
sosial di masyarakatnya. Sesungguhnya, nilai-nilai tersebut yang sejati tidak
mungkin kita dapatkan tanpa berjalan pelan dan “belajar berpelan”. Kita lupa,
justeru “belajar berpelan” adalah ibu yang melahirkan pelajaran yang membuat
kita mampu mengejar nilai dan tujuan kemanusiaan kita.
Adakah yang
lebih menggetarkan/ dari getir cinta patah di musim gugur/ setelah itu terserah
padamu.
*esais dan peneliti tinggal di
Sumenep. Pengelolah perpustakaan Uliefa.
Sumber: Lombok post, 6 Desember 2015
Komentar