Ibu Kota Sebenarnya



“Menurut kalian ibu kota Indonesia dimana?” Tanya Hendro
“Anak KKN menjawab Jakarta, sementara Niji diam, karena pertanyaan itu bagi Niji sudah lama, tapi mengapa Hendro bertanya hal itu kembali”
Malam dingin, ruangan penuh suara tawa, karena pertanyaan itu, ditanyakan dengan santai sambil tertawa. Sementara di luar sinar redup menyelimuti kegelapan dan pohon-pohon mengisyarakan adanya malam dan dingin semakin mengigit. Perempuan-perempuan di ruang itu, masih asyik membuat kopi hangat, karena malam itu malam yang sebenarnya, penuh dingin.
“Ayo-ayo apa” sambil tertawa
“Desa” jawab Hendro
“Kok bisa?” kaget perempuan-perempuan itu
“Andai saja tidak ada desa, kota tidak akan ada, andai orang desa tidak menanam padi, ketela, dan lain-lainnya, orang kota tidak akan bisa makan, adanya kota karena desa. Banyak orang desa pergi ke kota, menjadi orang kota. Padahal sebenarnya mereka orang desa, karena pindah ke kota akhirnya kota ada, jadi kota ada karena desa. Jadi orang kota jangan mentang-mentang, karena desa yang memberi beras, sayur dan lainnya. Andai saja orang desa tidak bertani, mau makan apa orang kota” Terangnya.
Konsultan wisata disebelahnya tersenyum, memperlihatkan pengalamannya begitu banyak dalam bergaul dengan siapa pun.
Kami pun langsung menuju rumah warga, karena konsultan ingin persentasi tentang desa wisata ke dusun Plagrak. Sesampainya di sana warga pun berkumpul, konsultan itu pun langsung persentasi desa wisata, masyarakat bingun karena belum ada sebelumnya apa desa wisata sebenarnya. Baginya desa wisata adalah desa yang indah bersih, tidak merubah aktivias warga, masyarakat gotong royong, saling sama kerja dan tak sedikitpun merubah kebiasaan warga. Tidak sama dengan desa wisata yang hanya di bangun satu orang yang memiliki kapital besar. Sehingga warga hanya menjadi penonton bahkan menjadi buruh. Nah, kami di sini akan melibatkan semua warga untuk membangun desa wisata. Posisi saya hanya konsultan yang mendampingi. Fasilitator.
Sementara Hendor sebagai konsultan pertanian juga persentasi tentang pertanian organik. Warga pun mendengar dengan seksama apa, mengapa dan bagaimana pertanian organik itu sebenarnya. Baginya pertanian organik adalah kita kembali pada pertanian nenek moyang, yang semuanya kembali pada alam. Baginya alam sudah menyediakan semuanya. Dan nenek moyang kita lebih pintar. Buktinya pembangunan Brobudur dan Prambanan sudah ada sebelum perguruang tinggi diadakan fakultas dan jurusan teknik dan bangunan. Tapi mengapa bangunan itu sangat indah bahkan menjadi keajaiban dunia? Nah di sini saya akan memberikan pendampingan tentang pertanian organik, dan ini butuh perjuangan dari kita, karena musuk kita adalah kapital besar. Perusahaan dunia. Jadi kami mohon kepada warga untuk saling membantu, karena ketika ini terjadi akan banyak tantangan yang harus dihadapi, termasuk dari pemerintah sendiri. Kenapa? Petani memang sejak orde baru memang di jual salahsatunya adalah benih lokal. Belanda menjajah Indonesia karena mereka ingin beras Mataram, terbukti sekarang beras dan benih lokal tidak ada. Di jual oleh pemerintah.
Warga diam mengikuti sepinya dingin malam, sementara di luar masih terang bulan dan lampu-lampu mengikuti perjuangan kami untuk mendampingi warga. Niat kami memang tulus, tapi ketika warga saling sikat kayak di istana Jakarta, kami akan pulang dan meninggalkan warga. Karena kami mendampingin dengan tulus ikhlas. Jadi bagaimana warga satusama lain rukun dan gotong royong dalam membangun desa wisata ini.
Persentasi selesai, kami paamit karena malam mengajaknya berwaktu dan malam menunjukkan 12 malam sehingga badan ini mengajak istiriahat. Kami pulang walau dingin menyelimuti perjalanan.
Pagi Niji bangun duluan, aktivitasnya selalu saja menyirami bunga di depan rumah. Melihat para TNI-AU berlalu lalang, mulai masuk kantor, entah apa yang dikerjakan? Yang jelas hukum dan demokrasi mungkin berjalan menurut mereka. Tapi Niji belum paham, apakah demokrtasi dan hukum berjalan sesuai apa yang diinginkan masyarakat? Niji tak paham karena demokrasi selalu didengung-dengungkan, walau  rakyat dibiarkan kelaparan dan miskin dan terus meminta.
Perjalanan demokrasi dan hukum terlihat jelas apa yang di tayangkan di telivisi. Ahli hukum saling berkutat untuk menegakkan hukum, walau hukum juga bisa di beli. Seperti anjing, kangkung, sayur di pasar. Semuanya dipasarkan, diproyekan.
“Kenapa banyak di koruptor di negera kita” Tanya konsultan pertanian itu
“Karena mereka tak paham matematika”
“hahahahahahahaha” Niji tertawa
“Iya, ya, kemaren ada juga wakil kita di istana Jakarta yang tidak paham hukum”
“Nek itu lain, itu lebih kacau lagi, masak mau jadi wakil rakyat tidak tahu hukum sementara Negara kita adalah Negara hukum, jadi sangat jelas terlihat yang diinginkan hanya kekuasaan saja”
“Ketika hanya optimis kekuasaan, tidak heran kalau rakyat masih dibiarkan. Kelaparan, kemiskinan, ketidakadilan masih menyelimuti bangsa ini”
Walau diriku kotor, aku tidak pernah mencuri uang rakyat. Walau diriku kotor, aku tak pernah menjual kekayaanku pada orang lain. Walau aku kotor, aku tidak pernah korupsi. Walau aku kotor, aku tidak pernah berbuat jahat terhadap siapa pun. Walau aku kotor, banyak dosa pada Tuhan, aku tidak pernah berdosa pada sesame. Walau aku kotor, aku tidak pernah berpolitik kekuasaan. Walau aku kotor, aku tidak pernah berpolitik uang. Walau aku kotor, aku tidak pernah meninggalkan perintah Tuhan.
“Apa untungmu menjadi penguasa ketika pengabdianmu hanya untuk dirimu sendiri?”
“Demokrasi dan hukum harus ditegakkan” dengung penguasa, seperti suara anjing di pagi hari.
“Demokrasi! Hukum!”
“Begitulah dengung para penguasa”
“Partainya pun berdengung demikian”
“Rakyat! Rakyat!”
Kebutuhan dirinya lebih besar daripada kepentingan umum. Banyak pegawai dan penguasa selalu ingin di naikkan gajinya. Sementara rakyat masih sengsara di biarkan menangis dan meminta bahkan di beli jadikan buruh. Tuhan. Apakah dunia ini yang kau ciptakan. Apakah dunia ini yang kau muliyakan. Apakah dunia ini yang kau agung-agungkan. Apakah dunia ini kau yang damaikan.
“Demokrasi, hukum dan rakyat tak ubahnya sebuah lelucun bagi penguasa”
Apakah seperti ini setelah para pejuang kemerdekaan berjuang untuk bangsa? Harus seperti inikah bangsaku, ketika para pejuang menegakkan keadilan? Mengapa harus seperti ini bangsaku ketika pejuang-pejuang kita sudah menyelesaikan masalah rakyat? Haruskah bangsa dibiarkan begini. Haruskah masalah Negara di biarkan ditutup rapat. Haruskah didiamkan para pembunuh aktivias rakyat.
“Rakyat harus mandiri” teriak Niji dalam hatinya
Bagaimana pun rakyat harus mandiri, harus mempertahankan kearifan lokal, baik dari tradisinya, potensi desanya, benih, dan lain sebagainya, rakyat tidak boleh membeli, melainkan menjual produknya sendiri. Mulai dari pupuk, benih, dan kebutuhan sehari-hari, rakyat harus mengolah sendiri, salah satu caranya adalah rakyat tidak boleh menjual lahanya sendiri walau bagaimana pun. Karena semakin rakyat menjual lahannya sendiri, semakin sempit kita untuk bercocok tanam, padahal itu merupakan kekayaan rakyat sendiri.
“Mengapa harus di beli negara dan mengapa Negara juga membiarkan rakyat menjual lahannya sendiri?
“Banyak sawah yang di jual dan di beli untuk dibangun tokoh dan mall dan itu akan membuat para petani kehilangan lahan perekonomean”
“Anehnya, mengapa mereka menjualnya?”
Kebingungan mulai meraja lelah dalam diri Niji, keadaan Negara kacau, sementara rakyat kekurangan lahan untuk bertani, bahkan anak-anak petani tidak mau menjadi petani dan turun ke sawah, sebenarnya apa yang menjadi alasan mereka tidak mau bertani dan menjadi petani, apakah ada hubungannya dengan globalisasi, modernitas atau karena mereka gengsi, sehingga posisi petani tidak muliya di mata mereka.
“Ketakpahaman selalu Niji pelajari dari perjalanan mendampingi rakyat dan refleksi-kritis”
“Jalan inilah yang membuat Niji bisa belajar dan membaca realitas”
Kadangkala kita harus memenangkan dirinya sendiri, untuk tujuan yang lebih muliya. Ada orang berkata kita terlalu cengeng, padahal itu merupakan sebuah penegasan dari keintelektualan kita sebagai manusia yang memiliki akal normal. Penguasa pun saya kira juga memiliki akal normal, hanya penguasa kurang menyadari saja sehingga kekuasaan selalu menjadi baju pikiran dan kehidupannya, sehingga tidak heran kalau kita masuk di ruang kekuasaan, tidak ada keinginan untuk turun, inginnnya selalu memiliki posisi penting. Ingin selalu menjadi orang penting. Padahal banyak di Negara ini orang penting. Penting menurut ukurannya sendiri, padahal belum penting menurut rakyat. Posisi inilah yang sebenarnya yang selalu mengajak kita untuk saling sikat, bunuh membunuh, bahkan rela mengorbangkan rakyatnya sendiri. Posisi kadang juga membuat diri kita minder, merasa di lecehkan. Posisi kadang juga membuat petani tak ingin menjadi petani. Posisi inilah yang kadang membuat kita merasa tidak muliya. Tidak bermartabat. Posisi inilah yang membuat kita tidak memiliki derajat sebagai manusia.
“Tapi mengapa semua orang mencari dan berbondong-bondong bahkan rela mati demi posisi”
“Sebenarnya posisi itu sendiri apa, untuk apa, buat apa, apa untungnya memiliki posisi dan apa ruginya?”
“Pertanyaan inilah yang saat ini sudah mati di dalam diri kita sendiri. Pertanyaan yang sebenarnya sangat sederhana dan itulah sebenarnya posisi kita, lantas mengapa kita harus mencari posisi lain, padahal posisi sudah ada dalam diri kita”
Posisi kita adalah bagaimana diri kita mandiri, diri kita pemenangnya. Bukan Negara dan penguasa pemenangnya. Bukan modernitas. Bukan globalisasi. Bukan hiper modernitas.
Akan tetapi pemenangnya adalah diri kita sendiri. Produk kita sendiri. Pertanian itu sendiri. Petani itu sendiri. Alam kita sendiri. Kearifan kita sendiri. Kebijaksanaan kita sendiri. Inilah posisi yang sebenarnya yang harus kita perjuangkan.
Memang sulit meyakinkan rakyat yang sudah teracuni globalisasi, hedonisme, dan modernitas. Karena itu semua sudah menjadi baju keseharian mereka. Lalu siapa yang bertanggungjawab atas itu semua? Kalau dari awal sudah ingin menikmati budaya orang lain. Sebenarnya dimana letak kenikmatan ketika kita menikmati budayanya orang lain? Padahal budaya kita sendiri lebih nikmat bahkan kalau di jual pun lebih mahal. Anglong misalnya yang sudah banyak meraup uang miliyaran rupiah, itu baru satu kekayaan kita sendiri. Coba bayangkan kalau semua budaya kita sendiri. Betapa kayanya sebenarnya kita. Tapi penguasa kita belum PD jika menampilkan budaya sendiri, mereka lebih PD jika menampilan budaya orang lain.
“Aneh”
“Sungguh aneh bangsaku”
“Rakyatnya sudah tidak mau dengan budayanya sendiri, kebijaksanaanya sendiri, kearifannya sendiri”
“Lalu ada apa dengan jiwa kita?”
“Apakah ini yang dinamakan sakit?”
“Apakah ini yang dinamakan tungganglanggang”
“Apakah ini yang dinamakan bangsa yang kaya”
“Apakah ini yang dinamakan manusia yang tidak memiliki eksistensi”
“Apakah ini yang dinamakan manusia yang tak memiliki prinsip”
“Apakah ini yang dinamakan manusia yang tak memiliki karakter”
“Sehingga semuanya serba tak menentu”
Banyak sekolah dan perguruan tinggi yang mengajarkan moral dan etika, tapi dampak itu semua kurang terlihat. Banyak perguruan tinggi yang mewisuda, lantas dimana mereka? Apakah sarjana-sarjana ini hanya berkutat berjuang mencari posisi juga? Rela menjual ke-sarjana-annya untuk kapitalisme-pragmatis.
“Apakah akan mati kemandirian kita, ketika semuanya tergantung pada posisi, semuanya menghamba pada pragmatisme, menghamba pada uang”
“Matilah diri kita. Matilah jiwa kita. Matilah jiwa pejuang-pejuang kita. Matilah semangat untuk memperjuangkan kearifan lokal. Matilah rasa kita. Matilah rasional kita. Matilah akal kita. Matilah moral kita”
“Mau kemana kita, jika semuanya yang mengendalikan orang lain, kita tidak mampu berkutik. Perjuangan apakah yang kita andalkan. Kita sudah mati di tangan orang lain?” Mau begini dan begitu sudah dikendalikan orang lain. Cintamu hanya untuk pekerjaanmu.
“Dimanakah cintamu untuk orang lain?”
Niji stress, hidup di tengah kesemrautan waktu, sementara waktu terus menuntut untuk bekerja. Niji pergi ke Kaligalang, untuk menenangkan waktu, belajar dari masyarakat, tentang kesederhanaan, makan apa adanya, ke sawah ikut nanam jagung. Kaligalang yang berhiaskan sawah-sawah, hijau, masyarakatnya yang terbukan terhadap siapa pun. Di sana Niji sendiri menikmati keperawanan alam Kaligalang. Menemani adik-adik TPA Darunnajah, melatih menari dengan iringan music islami, untuk mengisi malam sunyi pengajian.
Siang berganti senja, lampu-lampu mulai di pasang, untuk menerangi malam pengajian, sementara Niji masih membetulkan dekorasi, yang berhiaskan jarik batik. Masyarakat yang melewati pada melihat dengan penuh Tanya, dan adik-adik semakin semangat karena malam itu adalah malam penampilan nati di atas panggung yang di lihat warga kaligalang. Ibu-ibunya sangat senang karena anaknya nari di atas panggung.
Kaligalang penuh damai. Serba alami. Warga kebanyakan petani. Anehnya anak-anak mereka pada enggan untuk ke sawah.
Ipan salah satu anak warga, berkata pada Niji. Mas Niji ikut nanam jagung? Ya. Aku ingin menikmati bagaimana menjadi seorang petani, yang jujur, penuh perjuangan, dan lebih mulia dari siapa pun di dunia ini. Petani lebih mulia dari presiden, lebih dari ulama’, lebih mulia dari Habib Syehk. Lebih mulia dari segalanya. Itulah petani. Sehingga tidak heran kalau petani kita selalu ingin di jajah oleh asing.
Bangun pagi, embum masih terasa menyentuh mata dan tubuh, Niji ikut bersama warga di sawah. Keringat bercucuran membasahi embun. Itulah yang Niji cari, keringat kejujuran, lelah kejujuran, dan perjuangan kejujuran. Sehingga tubuh Niji jam tujuh sudah mengeluarkan keringat, keringat yang sebenarnya. Karena setahu Niji banyak orang mengeluarkan keringat, tapi keringat kosong, katanya perjuangan untuk rakyat, akan tetapi ketika di beri uang, perjuangan itu ikut diam bersama uang yang masuk di sakunya sendiri. Luar biasa. Bangsa yang kaya budaya, dibiarkan di makan dan di ambil asing. Dimanak intelektualmu? Dimanakah kecerdasanmu? Dimanakah ke-kritisanmu? Dimanakah title Prof. Dr. Sarjamu? Dimanakah idealismemu?
Apakah kita akan mati, dengan menghirup udara segar?
Niji tidak paham, sehingga manusia Indonesia mencari kerja dan yang diinginkan menjadi pemimpin negara, walau hanya bermodal ambisi.
“Lalu? Harus bermodal apa, kalau kita ingin menjadi pemimpin?” aku bertanya?
“Cinta” jawabnya
Kau salah memilih cinta sebagai dasar menjadi pemimpin, karena selama ini cinta sudah banyak memakan korban, rakyat dibiarkan kelaparan, ketidakadilan dan kemiskinan bukankah para pemimpin sudah memiliki cinta.
“Jadi, cinta yang seharusnya bagaimana?”
Pemimpin kita hidup di rahem bangsa, sehingga mereka tidak mengenal waktu dan pemikiran. Hidupnya seperti anak kecil yang masih dalam  rahim ibunya. Nerkata seenaknya saja.
“Kita panggil para koruptor dan kita saling memaafkan” katanya
Perkataan ini sungguh mengecewakan masyarakat, aneh pimpinan negara berkata seperti itu. Bodoh!
Ketika pertakataanya saja sudah tidak masuk akal, tapi masih saja menjadi ketua. Jangan-jangan anggotanya lebih bodoh. Kurang benar mereka berkata seenaknya saja sementara rakyat masih capek kerja di sawah hanya untuk mencari uang duapuluhriburupiah, sementara pemimpin mencuri uang miliran rupiah. Bodoh!
Menjelang puasa di abad dua puluh, tanggal 31 Juli 2011, Niji datang dari Kaligalang lalu berangkat lagi mendampingin rakyat Wukirsari untuk mengajak masyarakat lebih mandiri melalui pembentukan desa wisata, kami berangkat ke sana memberikan persentasi tentang desa wasiata.
Malam desa, alam pedesaan sungguh dingin sekali, kami yang baru datang mengalami dingin yang luar biasa, sementara masyarakat masih asyik-asyik saja dengan dingin.
Lalu kami pulang ke kantor sampai jam 12 malam, ngobrol santai mengenai sosial, yang semakin haris semakin di gerus kemerdekaannya. Lahan pertanian yang semakin sempit, karena diberangus oleh kapital besar dan generasi-generasinya pun enggan untuk bertani apalagi sampai turun ke sawah, membantu orang tua. Kalau hal ini terus berlanjut, tidak heran kalau pasca 2020 kita akan mengalami krisis pangan. Sekarang semua di tuntut untuk makan beras. Makanan lokal di hanguskan. Bahkan tradisi lokal hilang oleh generasinya sendiri.
Aku tidak membayangkan bagaimana kita merebutkan air, ketika krisis pangan terjadi. Pertanyaanya adalah mungkinkah hal itu akan terjadi di negara kaya? Kalau itu terjadi bagaimana kita menyikapi hal itu? Apa yang sekarang kita lakukan untuk mencegahnya?
Kalau kita melihat keadaan generasi sekarang, krisis pangan itu bisa mungkin terjadi, karena negerasinya tidak banyak menggunakan pikiran yang penting hidup enak, air di buang-buang, makanan di buang-buang, padahal semuan agama melarang membuat-buang makanan.
“Generasi kita tak memiliki agama. Dasar bodoh!”
Mereka punya, tapi agama mereka belum menyentuh kepekaan, bagaimana melayani air, makanan, alam dan di sekeliling kita sendiri. Yang penting bagi generasi adalah ‘seenaknya sendiri’.
“Bodoh!”
Mengapa berkata seperti itu?
Mengapa tidak bodoh, bangsa di bangun di atas pertanian para rakyatnya, sementara pertanian mau di hanguskan dengan cara memahalkan pupuk, petani di tuntut untuk membeli pajak.
“Bodoh”
Siapa yang bodoh?
Generasinya kita yang tidak mau memperjuangkan pertanian, Belanda menjajah  kita karena pertanian dan benih kita. Kalau sampai pertanian kita habis, kita akan mengalami kelaparan.
“Kok bisa”
Pasti bisa, ketika kita hanya bergantung pada orang lain. Ketika orang tidak memberi, di saat itulah kita akan mengalami kelaparan dan kematian karena lapar akan meraja lela.
“Apakah kamu tidak paham”
“Paham, paham”
“Iya”
Niji sendiri dalam keheningan, entah apa yang dipikirkan.
“Niji” panggilnya,
“Siapa kamu, tiba-tiba memanggil”
“Aku”
“Lalu? Apa maumu mengganggu”
‘Aku’ hanya tertawa melihat Niji sedikit terpancing emosi.
Aku yang sudah pengalaman melihat realitas, hanya tenang-tenang saja, karena cinta sudah mengajari banyak kata, cerita dan pengalaman.
Aku banyak berkumpul diskusi tentang Tuhan, agama, budaya, social dan sastra.
Di bulan puasa aku ditanyakan “Mengapa kau berdua sama perempuan, padahal ini bulan puasa? Padahala yang bertanya tak memiliki Tuhan. Tak memiliki Tuhan karena merasa filsafatnya sudah menjadi tubuhnya, sehingga Tuhan tidak dibutuhkan”
“Aku ateis” katanya
Aku berdua karena kita memiliki perempuan yang seharusnya aku bersama, walau dipisahkan jarak dan pandangan, karena puasa memberi tahu. Puasa datang seakan memiliki roh yang datang mengajak untuk membersihkan kotoran dan sampah yang bergelimang dari jauh. Hari-hari puasa aku isi dengan banyak berdiam dalam kamar, karena di luar sana banyak yang bisa aku lihat dengan hati, melainkan dengan nafsu. Jadi lebih baik membaca dan menulis di kamar mungkin menguntungkan daripada melihat di luar mata.
Keheningan yang selalu datang di kamarku, tak hentinya melukai Tuhan, agar semesta menjadi damai dan aman dari gangguan malam panjang yang tak bisa tidur. Perasaan porno selalu datang karena jiwaku muda dan perasaan masih sentitif dengan paha dan buah dada yang masih ranum. Apalagi bagiku itu semua symbol keberadaan Tuhan yang memang harus di nikmati, walau harus dengan cara yang berbeda. Tuhan bersabd dalam kitabnya bahwa Tuhan memang sebagai selimut (libas) untuk kaum laki-laki, jadi sangat boleh aku melihat dan menikmat tatapanku sendiri.
Yang penting, jangan sampai menyentuh dengan sentuhan nyata, menyentuh dengan pandangan, karena pandangan lenih nikmat dari kenyataan.
Buktikan saja, kalau kamu sudah menikah, pasti kamu lebih nikmat perempuan lain daripada melihat isterimua sendiri, karena inilah yang harus dijaga oleh pasangan suami isteri. Suami-isteri adalah rumah Allah yang harus kita jaga, agar terhindar dari luka dan cacat. Kalau pun ada luka, kita harus cerdas-cerdas menyimpan di rumah Allah, jangan sampai orang lain mengetahui luka-luka kita.
Keheningan selalu hadir di pagi hari, sementara aku masih asyik menikmati keheningan yang menyelimuti, aku naik ke lantai dua melihat ke utara gunung merapi terlihat indah, tapi aku tak paham apa indah itu sendiri, walau dulu di bangku kuliah di ajari estetika. Indah masih saja menjadi semu dan semampuku hanya bisa melihat dan menikmati keindahan alam, perempuan, seni, dan budaya.
“Apakah agama tidak indah?” Tanya Niji
“Tidak, agama saat ini sama sekali tak indah, karena banyak sejarah pembunuhan yang mengatasnamakan agama”
“Apakah engkau masih ingin mengatakan indah, ketika mayat-mayat terbunuh karena atas nama agama”
“Allahuakbar, semua mati”
“Justeru mereka Bodoh. Bodoh sekali, mana ada agama yang mengajarkan membunuh orang, bahkan agama melarang kita membunuh makhluk hidup  yang ada di duni ini”
“Lalu?”
Kamu bodoh, jika menganggap agama itu indah, indah menurut kamu, jangan menganggap dirimu merasa benar, karena tak ada kebenaran di dunia ini, selain nabi Muhammad. Agama terlihat indah ketika nabi Muhammad masih hidup dulu, tapi agama sekarang justeru hanya mengacaukan.
“Jadi”
“Dimana aku harus menemukan kedamaian, jika bangsa ini tidak lagi aman?”
Jiwamu lebih damai, keheningan lebih nikmat, dan kesunyian lebih sopan.
Tapi bagaimana kalau dalam keheningan kita membayangkan porno atau sedang bersenggama dengan perempuan?
Pertanyaanmu aneh.
Entahlah, apakah seperti akan berdampak tidak baik, aku tidak paham.
Niji kadang membayangkan sedang’
Yank, kita maen yuk, perempuan berdiri membuka baju, Niji mendekat, mencium paham perut, terus ke atas, mendekat buah dada, tambah ke atas, mendekat ke leher, terus ke atas mendekat ke bibir, lalu semuannya di cium, pundak, paha, bahkan vagina, lalu Niji juga membuka baju, mereka berdua telanjang, di kamar berdua. Apa yang terjadi?
“Ah, kamu terlalu banyak berimajinasi” kataku
“Imajinasi ternyata lebih nikmat dari kenyataan” tandasnya
Aku tertawa, sejenak membalas dengan kata
“Bodoh! Mengapa imajinasi seperti itu ada dalam diri?”
Entahlah, apakah karena aku belum merasakan hal itu, atau gara-gara kebanyak melihat paha-paha yang berkeliaran di luar sana. Aku juga tidak mengerti.
“Tanyakan pada Tuhan”
“Mengapa harus sama Tuhan?”
“Karena semua itu Dia yang meng-ada-kan”
“Benar-benar”
Kebenaran milik Tuhan, kebenaran dalam diri aku hanya perjalanan, kebenaran adalah perjalanan. Aku akan sampai di puncak kebenaran ketika aku menemukan Tuhan, kataku. Kadatangan Tuhan-lah yang selalu aku tunggu. Entah berujud perempuan atau kekayaan. Atau Tuhan sendiri yang menemuiku. Kalau Tuhan masih belum aku temui, kebenaran masih belum ada untukku. Ada yang berkata dengan perempuan kita akan menemukan kebenaran. Bagiku kebenaran tetaplah kebenaran, yang bisa aku baca, di lihat dan bermanfaat untuk orang lain. Jika milik kita untuk diri sendiri, kebenaran hanyalah kosong. Kekosongan inilah yang membuat diri kita menjadi sombong.
Keheningan kembali menyerbu, kali ini keheningan membawa nasib petani yang selalu diperbudak. Aku menuliskan dalam puisi;
Petani Nasibmu Kini

Kau semakin terpuruk, di diperbudak kapital
Nasibmu kini bagaimana kamu

Apakah engkau ikut atau berdiam di kearifan
Menjunjung semestamu sendiri
Menguak kekayaan diri
Lalu menikmati

Bukankah itu yang kita cari?

Engkau begitu kaya, tapi mengapa tak jua kau tampakkan?
Apakah keringatmu hanya untuk orang?
Sehingga kearifanmu di biarkan menghilang

Apakah karena darah tak mengalir?
Engkau tak sakit atau engkau tak merasa?
Padahal luka-luka sungguh mendalam

Yogyakarta, 6, Agustus, 2011

Keheningan memang luar biasa dahsyat mengurat surat semesta. Apalagi keheningan mampu membaca realitas yang sebenarnya. Apakah keheningan Tuhan? Pikirku. Aku tak yakin itu Tuhan, tapi nyaris menemukan Tuhan, karena Tuhan tak berbentuk dan tak berwujud, pikirnya, tapi keheningan juga tak berwujud dan berbentuk.
“Lalu, keheningan itu apa?” yang jelas keheningan adalah ruang untuk mencari, membaca dan menelaah realitas, pikirku.
Lahan pertanian. Tanah sudah di racuni oleh pupuk buatan yang berkadar kimia. Juga masuk dikeheninganku.
“Sebenarnya keheningan itu apa? Apakah berbentuk? Memiliki ruang? Jika memiliki ruang, berarti dia memiliki bentuk” pikirku, tapi aku tak paham dan tak mengerti.
Sementara Niji masih saja memikirkan negaranya yang kacau dan di nenabobokkan kapitalisme-hedonisme-pragmatisme. Tak henti-hentinya Niji berdiskusi dan belajar memahami dan membaca kekacauan itu. Kalau Soekarno mencegah agar kapitalisme tidak masuk di negara kita, tapi mengapa sekarang hal itu terjadi? Pertanyaan-pertanyaan berkejaran di cakrawala menemui Niji. Karena pertanyaan itu tidak mau dirinya di lukai oleh ketidakhadiran jawab.
Aku berdiam menikmati diriku sendiri, walau sebenarnya keraguan terhadap berbagai kejadian di bangsa ini juga ikut menyelimuti keterdiamanku. Tsunami Aceh, Lumpur Lapindo. Yang masih meragukanku, mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah itu sesuai apa yang disabdakan Allah bahwa kerusakan di laut dan di darat merupakan ulah tangan manusia, sehingga semuanya bisa dikendalikan manusia. Karena manusia wataknya ingin saja mengusai dan ingin menjadi kuasa. Itulah manusia. Tapi aku tidak, kataku.
Aku ingin menjadi orang yang selalu mengabdi pada orang lain, bermanfaat untuk orang lain, kataku.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Tari India Yang Sarat Spiritualitas