Tiga Kesunyian Semesta

Oleh: Matroni Muserang*


Dalam kehidupan masyarakat Madura ada yang namanya pengetahuan tentang ilmo “tengka”. Ilmo tengka adalah ilmu yang membahas persoalan-persoalan yang berkaitan dengan tingkah laku, baik tingkah laku gerak-gerik manusia, tingkah laku pikiran dan hati. Bagi penekun ilmu-ilmu gaib, biasanya akan mengetahui bahwa pikiran dan hati seseorang itu jelek atau baik. Bisa juga dilihat dari gerak-gerik kesehariannya.  
Dan yang menekuni ilmo gaib itu akan meyakini bahwa alam semesta ini tegak berdiri karena ada tiga kekuatan besar yang masih hidup sampai hari ini, makanya ahli gaib akan menghargai dan menghormati ketiganya.
Pertama orang tua. Orang tua di sini dimaknai sebagai orang sepuh, orang yang sudah berumur 50 tahun ke atas. Baik baik laki-laki maupun perempuan yang sudah sepuh. Wajar kemudian, jika kedua orang tua (ibu dan bapak) diperintah untuk ditaati, dihormati dan di sanjung, sebab dari orang tua sendiriah kita belajar membaca.
Orang yang sudah sepuh biasanya sering ngomong, kadang membuat diri kita sensitive, bahkan memarahi orang tua, mengapa? Seringkali kita tidak menyadari bahwa ketika orang sudah sepuh merupakan pilar bagi keseimbangan alam semesta. Orang tua disini harus kita maknai secara universal, sebab bagi ahli gaib, orang tua siapa pun, baik orang non-Islam apalagi Islam, baik yang ibadah maupun tidak ibadah. Semua itu harus dihormati.
Hormat di sini bukan hanya mengangkat tangan seperti upacara, turun ketika naik motor dan sepeda, akan tetapi rasa hormat kita di samping tingkah laku seperti turun dari motor dan sepeda, merunduk dan pelan/halus, juga hati dan pikiran kita juga harus hormat. Kita turun dari sepeda dan motor, merunduk dan halus tapi hati kita tidak ikhlas/rela, maka kosong (tanpa nilai) adanya.
Kadang kita menjumpai santri/kiai/mahasiswa di depan gurunya betapa hormatnya mereka, tapi dibelakang ngomel dalam hatinya “mentang-mentang jadi guru/kiai/dosen”, maka menjaga akhlak hati dan akhlak pikiran juga lebih penting daripada sekedar ritual akhlak (tingkah laku) an sich. Kalau kita sudah mampu menjaga akhlak hati dan pikiran, maka tidak mudah kita kemudian menyalahkan orang lain. Baik katika ada orang tua kurang benar makhrijul hurufnya dalam membaca al-fatihan maupun ada orang lain yang berbeda dengan kita.     
Kedua anak kecil. Mengapa anak kecil, karena mereka masih suci, pikiran hatinya, kalau berkata jujur, mereka seperti wali. Anak kecillah yang akan mengisi dunia ini, anak kecil merupakan generasi untuk mengisi alam ini, maka ketika anak kecil tidak ada, maka dapat kita bayangkan. Makanya ada pepatah Madura “nangissa nak-kanak kenek rea kembangnga bengko” tangisnya anak kecil adalah bunga rumah/keluarga. Sebagai bunga, siapa yang tidak suka bunga?
Maka tugas kita adalah merawat bunga-bunga itu, agar tidak tercemari oleh kumbang-kumbang nakal yang hendak menghisap madunya. Di sinilah tempat berlomba-lombanya manusia dalam berbuat baik (fastabiqul khairoot), berlomba bagaimana bunga ini tumbuh dengan indah, mendamaikan jiwa-jiwa semesta, menyejukkan semua yang melihat.
Ketiga burun alas. Seringkali kita tidak menyadari bahwa menjaga alam semesta merupakan sesuatu yang harus dilakukan, inilah yang dimaksud hablum minal alam. Berhubungan dengan alam. Berhubungan dengan alam sebenarnya juga memiliki akhlak. Bagaimana akhlak terhadap alam, tentu anda bisa berpikir sendiri to?.
Ketiga kekuatan inilah yang harus kita perhatikan sebagai manusia yang diharuskan melakukan perbuatan-perbuatan (akhlak) agar alam semesta ini tetap utuh dan terjaga dari kepunahan. Ketiganya harus berjalan bersama beriringan dengan mesra agar anak cucu kita tidak kelaparan. Cara untuk menyeimbangan ketiganya harus dengan melewati akhlak sebagai jembatan paling kuat dan jitu. Kalau di dunia ini sudah tidak ada, maka dapat dipastikan semua makhluk ini akan hancur berantangan berkeping-keping. Alam dikeruk habis-habisan dengan kerakusan manusia. Orang tua sudah tidak dihormati, hewan di bunuh. Lalu siapa yang akan menjaga pilar kesemestaan ini?
Mari kita bersama-sama berpikir, merasa dan berdiskusi. Memikirkan pikiran kita sendiri. Merasakan rasa kita sendiri dan berdiskusi dengan diskusi kita sendiri.


Battangan, 15 September 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani