Permaisuri Waktuku



Oleh: Matroni Muserang

Detik yang kita bawa bersama renggang jejak yang terasa sebentar akan kembali menjadi semu bila tak bisa kita rangkai menjadi sebuah jejak waktu yang bermakna. Kebermaknaan perjalanan permaisuri akan terlihat ketika amarah menjadi sejengkal pernafasan diri yang semakin hari semakin meluah menjadi arti, arti dari perjalanan permaisuri yang kadang marah kadang damai sesuai dengan roda waktu dan perjalanan matahari.
Lewat senja demi senja, kita berjalan di atas daun yang hijau, menyusuri pori-pori waktu yang tidak semua orang mengerti, walau pun ada kesamaan di dalam ruang yang sama, tapi kita tidak bisa mengetahui berapa ragam waktu dan ragam bahasa di rumah permaisuri waktuku.
Permaisuri waktuku merupakan rumah yang harus kita hias dengan berbagai bunga-bunga dan segar angin yang menyeruak dari arah yang berbeda. Kita adalah perawat dan penjaga sejati yang dicipta oleh tradisi. Di dalam rumah itu ada tradisi warna yang tidak boleh layu yaitu warna keberagaman yang harus diharmoniskan. Harmoni permaisuri waktuku yang berkelindang menyusuri waktu, melewati senyum dan seni, bertemu dengan duri dan batu, juga bara, kita terus berjalan menyusuri keberkahan waktu dan keberkahan rumah warna yang terusik oleh kidung kata-kata, lama-semakin lama kita menekuni makna memanjat menaiki lembaran-lembaran diri yang terus diberi.            
Hari yang dihadirkan Tuhan lewat bibir pagi membawa berkah kebermaknaan yang tak terkira, walau badai kata menjadi hari yang biasa kita lewati dengan sabda. Permaisuri waktu akan menjadi jejak yang tak akan selesai di bina dengan bunga-bunga waktu, pohon yang ditanam itu akan terus menelusuri akar tanah untuk mencari air waktu yang diturunkan musim hujan dibalik batu keabadian.
Permaisuri waktu berjalan melewati ruang dan waktu, di rel waktu kita menemukan satu kata keabadian yang harus di pupuk dengan siraman air keabadian dengan huruf-huruf cakrawala yang tumbuh dari airmata dan airjiwa yang menelusuri jalan Tuhan yang selalu diberi tanda baca.
Membaca adalah jalan yang baik untuk menerka waktu dan permaisuri, langkah nyata untuk membuat senyum adalah cinta dan tata. Tata membuat rumah harum bunga tata membuat kehidupan warna menjadi nyata. Tak lupa kemericik airmata kadang mengalir dari samudera dan bulu mata yang setia. Dimanakah luka bila airmata menjahitnya dengan cinta?
Kita berada di tengah belantara dan perkampungan TUhan, dimana manusianya berjuang menyelamatkan jiwa-jiwa.


Battangan, 8 September 2015



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani