Menuju Kegersangan


Niji diam mendengar pembicaraan tiga orang yang dipinggirkan karena kritis melawan negara. Di balik keterdiaman seseorang akan berfikir, termasuk Niji. Niji duduk di kursi kayu, menghadap ke arah Timur, sambil melihat kimcil-kimcil berlalu lalang, sekaligus mendengar diskusi cerdas dengan tema “Negaramu Piye”.
 Musik gendingan kraton mengiringi senja, menghias waktu dan perjalanan, sementara di alun-alun Utara ramai dengan wisatawan yang berkunjung melihat kekayaan kraton Yogyakarta.
“Apakah Kraton selamanya akan menjadi simbol nilai, menjadi kekayaan, dan wisatawan akan datang ke Yogyakarta?”
Menjadi sempurna memang tidak bisa di dunia ini. Banyak saudara kita di hukum pancung di arab (TKI) sementara bangsa kita hanya berdiam diri. Saudara kita rela berangkat ke luar negeri untuk mencari uang, sementara di negaranya sendiri uang di curi. Kejadian ini memang mengundang emosi para saudara kita. Tapi apa mau di kata pemimpin sudah tak banyak berkutit untuk membantu rakyatnya. Semua perusahaan di relakan masuk, akan tetapi rakyat kita sendiri menjadi buruh. Diperlakukan seperti mesin.
Dimanakah pemimpin kita selama ini?
Apakah kita akan meniru Andrian Kiki Ariawan, Edi Tanzil, Samadikun Hartono, dan Sudjiono Timan. Kalau iya, silahkan tidak apa-apa. Itu pilihan.
“Aku tidak” kata Niji
“Aku ingin menjadi masyarakat kaya yang bisa mengabdi pada orang lain, bagiku kekayaan adalah sejauh mana diri dan kekayaan itu berarti untuk orang lain”
Karena inilah yang ditakuti orang Barat. Sosialisnya kita terhadap sesama. Tapi sosialis itu kini sudah pudar oleh adanya kapitalisme dan kita sendiri tidak menyadari hal itu, justru kita menikmati dan merayakan. Diri terus dirayu oleh wajah cantik kapitalisme ala Barat yang sebenarnya itu sebuah penjajahan.
“Niji resah dan gelisah melihat mahasiswa yang rela di beli bahkan diberangkatkan ke luar negeri untuk belajar, padahal sebenarnya itu sebuah pencarian orang barat terhadap mahasiswa Indonesia yang berbakat untuk di ambil dan dimanfaatkan Barat”
“Aku di sana belajar” kata orang itu
“Ya, aku tahu kau disana memang belajar, tapi apakah kamu tahu bahwa itu sebuah perangkat untuk lebih paham sejauh mana generasi Indonesia ke depan dan ternyata kau merelakan diri untuk pergi ke luar negeri”
Bahasa asing digalakkan, sementara bahasa diri sendiri tidak tahu. Ini pintarnya Barat, mereka pelan-pelan merayu dengan tangan-tangan uang, dan kita mau di peralat. Tapi mengapa diri kita malah tersenyum di bayari?
Niji semakin tak kuruan hidup di negara ini, sementara generasinya asyik dan enak-enakan menikmati kapitalisme Barat.
Malam, jam sepuluh Niji di ajak untuk melihat solo batik carnival, walau pun satu hari sebelum berangkat Niji bilang tak ada uang, akan tetapi Niji tetap harus ikut. Niji benar-benar berada di dalam ruang batin yang bergelombang. Akhirnya Niji pun ikut, pulang pergi Niji di ongkosin, bahkan makan tiga kali, hari itu menjadi gejolak batin yang tak karuan, pikiran terganggu dan batin merasa gelisah yang luar biasa.
Memang sangat sulit ketika tak punya uang, sementara diri masih semangat belajar dari pengalaman.
Menjadi sulit mana yang harus di pilih, apakah memilih batin agar tidak terganggu gelisah atau ikut, tapi keikutsertaan Niji mengisi kegelisahan yang luar biasa merongrong pikiran dan jiwa.
“Sebenarnya apa yang kau gelisahkan” tanya jiwa yang lain
Adaku dan jejakku yang sampai saat ini belum Tuhan berikan.
“Apa itu”
“Sesuatu”
“Apa sesuatu itu”
“Bencana”
“Bencana apa yang kau maksud”
“Bencana proyek”
“Dimana ada proyek”
“Dimana-mana, aku melihat masyarakat hanya dijadikan proyek dan kepentingan dirinya sendiri”
“Siapa”
“Orang kaya”
“Siapa yang dimaksud orang kaya”
“Orang yang punya banyak kapital besar”
“Ya, siapa”
“Siapa pun, boleh anaknya pengusaha, boleh anaknya presiden, boleh anaknya anjing, bank dan perusahaan dunia yang sejak dulu sudah meramba negeri ini”
“Lalu”
“Aku hanya khawatir semua masyarakat negeri ini di masuki penyakit itu, sawah-sawah dan pupuk semuanya disediakan pengusaha, petani di setir pengusaha asing dan pengusaha besar, ini kan sebuah penjahan, makanya ini tidak boleh dibiarkan, masyarakat harus diajak untuk mandiri di beri pengetahuan tentang orang-orang yang punya kapital besar yang tujuannya untuk merusak negara dan rakyat”
Orang boleh kaya, orang boleh sombong dengan kekayaannya, orang boleh gila dengan prestasinya, akan tetapi jika rakyat dibiarkan, buat apa semua itu. Orang boleh cerdas pergi ke luar negeri, belajar di luar negeri, belajar budaya orang lain, akan tetapi budaya kita sendiri dibiarkan hangus. Buat apa kita memiliki posisi besar dan sertifikat yang memuaskan akan tetapi rakyat tidak merasakan apa yang kau miliki.
Kita boleh bangga dengan kecerdasanmu, boleh bangga karena sering tukar mahasiswa ke luar negeri, tapi jika gerakanmu hanya buat dirimu sekolahmu, buat apa.
Perjalanan kita sia-sia, kecerdasan kita sia-sia, kekayaan kita sia-sia, dan kehidupan kita pun sia-sia, semua kosong.
Pengetahuan realitas, pengetahuan lapangan lebih mahal daripada kita belajar formal yang semuanya di stir oleh penguasa dan sistem yang tak moto.
“Lalu untuk pengalaman, kecerdasan, kekayaan dan hidup kita”
Kalau untuk kursi kekuasaan sangat cocok, karena untuk  menjadi penguasa memang harus sekolah sampai memiliki gelar tinggi, walau pun gelar setinggi apa pun jika hanya di dunia formal tidak ada apa-apanya daripada ilmu lapangan, karena lapangan itulah ilmu yang sebenarnya.
Kita tidak bisa menyelesaikan konflik sosial jika hanya mengandalkan tulisan, tanpa di barengi perjalanan langsung. Yang terjadi orang-orang besar selalu mengandalkan tulisan, padahal dunia sekolah dengan dunia masyarakat sangat jauh berbeda. Kita rumit memetakkan dan membaca masyarakat ketika kita benar-benar terjung di masyarakat. Buku dan sekolah setinggi apa pun tidak akan mampu menyelesaikan bacaan terhadap masyarakat.
Niji satu tahun bersama masyarakat, tapi sampai detik ini belum paham bagaimana sebenarnya melayani masyarakat. Apakah Niji bukan Prof. Dr. atau Sarjana, sehingga membaca masyarakat sangata sulit, sulit karena masyarakat bukan ilmu pasti yang semua sudah ditentukan, kalau satu tambah satu pasti dua.
“Memang membutuhkan renungan, refleksi kritis dan perjalanan panjang agar kita benar-benar paham bagaimana melayani, membaca dan berdampingan dengan masyarakat”.
Lalu malam-malam perempuanku datang membawa kata-kata (28 Juni 2011, 20:03:40)

“Sayang…biarkan aku tetap ada dalam hatimu, dirimu dan hidupmu…jangan engkau biarkan aku sendiri…aku tak mau…dan aku tak ingin bila harus sendiri tanpamu”.

Malam pun senyap sepi, bulan tanggal lima belas, langit cerah dan awan putih mengintai cahayanya, Niji menikmati dingin, mengalirkan imajinasi ke cakrawala, menuliskan doa untuk Tuhan. Sementara disekeliling malam orang-orang sedang sibuk dengan urusan uang, urusan perut, urusan negara yang tak kunjung usai. Malam ini malam yang sebenarnya, Niji benar-benar merasakan malam itu lebih malam dari sebelumnya, karena belum makan seharian. Sementara ketika menonton televisi acaranya itu-itu saja. Lalu malam berhenti di mata yang terpejam dan pagi pun telanjang menghujani semesta.
Aktivitas matahari dan manusianya kembali gersang, sementara Niji terus hidup apa adanya berharap hidupnya lebih baik dari sebelumnya, hidup serba cukup selalu bersama rakyat dan saudara-saudara.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani