Diri yang Luka
Hari-hari berselimut kemurkaan pada Tuhan. Waktu-waktunya
berbisik tentang keadaan masyarakat yang digadaikan. Bahkan dasar negara pun
digadaikan sendiri. Kalau dulu ada tokoh yang berkata Indonesia adalah rumah
kita semua. Kini rumah itu di rusak dan dikotori dengan korupsi, kekerasan, dan
saling sikut. Semuanya ingin menjadi
nomor satu. Tidak heran para tokoh bangsa membeli dengan uang. Membangi-bagikan
uang, membeli suara. Anehnya hal itu sudah menjadi hal biasa.
Bangsa selalu memperingati hari-hari besar
nasional seperti pidato Bung Karno yang dikenal hari kelahiran Pancasila
sebagai ideologi. Semua mantan pemimpin dan pemimpin bangsa ini berpidato.
Saling kritik satu sama lain. dalam memperingati hari besar nasional semua
sepakat Pancasila dijadikan dasar bangsa, tata nilai, filosofi atau falsafah
negara. Walau pun kenyataannya juga jauh menyimpang dari pancasila itu sendiri.
“Merdeka! Inilah salam nasional bangsa kita”
Niji hanya mencatat dalam perjalanan dirinya.
Dalam jiwa. Dalam kertas. Dalam waktu. Mungkin catatan itu akan menjadi bukti
sejarah yang hanya di baca. Tak direalisasikan.
Mereka para pemimpin saling memaparkan para
pendiri bangsa ini. Dari Soekarno, Bung Karno, sebagai ritual saja. Entah
karena konteksnya berbeda atau jiwa-jiwa mereka membiarkan hal itu terjadi.
“Konsisten, keberpihakannya terhadap kebenaran
tidak pernah mengooyahkan pendiriannya terhadap musuh-musuh revolusi baik dalam
maupun luar negeri. Sejarah hidupnya membuktikan fakta tersebut. Ingat! Go To
Hell With Your Aid” ketika ia akan di belenggu dengan cara-cara peluru mas”. Begitula
yang terlulis di gambar Sorkarno.
Seperti apa dulu berjuang membangun negara dan
memperjuangkan masyarakatnya. Niji berkata di jiwanya. Aku sekarang berkata
dalam jiwa. Tapi awas besok akan berkata dengan karya-karyaku yang meledakkan
dunia, termasuk Indonesia. Karena Niji yakin, kata-kata lebih tajam dari
pedang. Buktinya banyak kata-kata para pemimpin yang berjanji untuk mengabdi
pada rakyat. Walau kenyataannya kosong. Tapi masyarakat di pikat dengan
kata-kata. Janji-janji.
Entahlah? Niji semakin hari tak menentu
memikirkan bangsa, banyak aktivis yang di bunuh karena melawan pada negara.
Anehnya pembunuhnya dibiarkan tanpa hukum. Tanpa pencarian.
“Apa dasar gagasan bangsa ini?”
Semuanya kacau. Pendidikan kacau. Bangsa kacau
dengan koruptor. Jiwa jiwa kacau. Mental para pemimpin pun kacau. Pemimpin tak
ingin di bawah, semua ingin di atas menjadi nomor satu. Ingin memiliki
kekuasaan.
“Dimanakah intelektualmu?” kata orang gila di
tepi jalan Malioboro
“Niji tertawa saja”
Orang
miskin melihat kesulitan mencari makan. Orang kaya melihat kegelisahan melihat
kekayaan.
Di dalam kamar mandi, Niji berpikir, ternyata
Tuhan terlibat dalam perjalanan bangsa ini dan perjalanan-perjalanan siapa pun.
Yang berkuasa pada waktunya akan disingkirkan. Di kacaukan. Kadang keadilan
Tuhan rumit untuk dipahami. Kadang sesuatu yang diinginkan tak menjadi nyata. Kadang
Tuhan perlu di murkai. Kadang penting untuk tidak di sembah. Kadang kita
sebagai manusia harus memahari Tuhan, agar Tuhan juga pengertian dan mendengar
apa yang diharapkan kita.
“Aku
murka pada Tuhan” kata sebagai jiwa Niji pada perempuanku.
Berlama-lama aku lapar
Kadang aku harus murka pada Allah
Membiarkan Dia perhatian
Ke-maha-annya kadang perlu di uji
“Aku menyintai-Mu”
Niji bekerja kemanusiaan, dan Mas Hasta banyak
mengajari bagaimana kinerja seorang aktivis sosial, seorang pejuang sejati akan
selalu tersenyum ketika bahaya dan ajal akan menjemputnya,,, BERANI KARENA
BENAR, TAKUT KARENA SALAH.
“Terima kasih Indonesia”
“Terima kasih kemanusiaan”
“Selamat sore kemanusiaan”
Inilah yang menjadi salam Niji, Mas Hasta, Mas
Hendro, Vera, dan saudara Selava. Yang berjuang demi kemanusiaan. Kami
berjuang, karena masyarakat di buat anjing percobaan, anjing bisbis yang selama
ini dilakukan para petinggi bangsa. Masyarakat di jual. Apakah memang seperti
itu tugas petinggi-petinggi? Banyak kasus pencurian (korupsi) yang dibiarkan
dibebaskan oleh hakim. Entahlah mengapa hukum bangsa kita masih masih di beli
dan dibisniskan.
Senja itu, Niji shalat magrib, sebelum selesai,
Niji menoleh ke layar telivisi karena ada berita yang membahas kematian Monir. Kematian
Monir sudah lama, tapi sampai 2011 belum ada hukum yang mau berjuang mencari
siapa sebenarnya yang membunuh Monir. Padahal Monir dan pembunuhnya sama-sama
orang Indonesia, anehnya pembunuhnya belum di ketahui. Pembunuhnya tidak
jantan, pembunuhnya munafik, pembunuhnya bersembunyi di balik hukum. Andai saja
pembunuhnya laki-laki, ya seharusnya mengaku di depan publik.
Di negeri ini tak ada yang jantan yang
benar-benar ingin melawan kesewenang-wenangan pemerintah dan para
petinggi-petinggi. Monir di bunuh karena dia aktivis yang memperjuangkan
masyarakat, berjuang untuk rakyat. Jadi kalau sekarang (2010-2011) ingin
menjadi pejuang kemanusiaan sangat sulit bahkan tidak bisa, karena jarang
menemukan orang yang idealis, yang benar-benar tidak bisa di beli oleh uang. Banyak
aktivis berhenti berjuang demi rakyat, karena bisa di beli. Aktivis hanya kalah
dengan uang. Isu-isu di jual.
Membuat para aktivis idealis rawan akan
pembunuhan, seperti Monir. Jadi harus benar-benar hati-hati para kaum aktivis
idealis saat ini. Karena akan selalu di awasi. Apalagi ketika panas-panasnya
percaturan politik.
Manusia akan merusak semua yang diciptakan. Manusia
cendrung merusak alam, maka lingdungi alam ini dengan cinta, bukan dengan
amarah dan persainga.
Petinggi-petinggi akan merusak tatanan mental
rakyatnya.
Niji yakin Indonesia akan selamanya seperti
ini, walau pun Niji pernah berkata bahwa Indonesia akan menjadi pemimpin dunia.
Perjalanan demi perjalanan, Niji berpikir bahwa
kita semua adalah Budak.
“Siapakah orang-orang budak itu” tanyaku
“Dosen, Guru, mahasiswa, karyawan, PNS, siswa
dan siswi”
“Mengapa?”
“Dosen akan selalu tunduk terhadap peraturan
yang diluarkan rektor. Apalagi karyawan, akan selalu patuh jika di suruh apa
pun. Guru akan selalu patuh pada aturan kepala sekolah. Mahasiswa selalu patuh
terhadap peraturan akademik. PNS dan Siswa sama saja, mereka patuh terhadap
peraturan. Sementara rektor, kepala, dan pimpinan selalu patuh terhadap keputusan
pusat. Dan pusat akan patuh pada peraturan luar negeri bahkan hanya mereduksi,
seperti kurikulum dan lain sebagainya”
Mereka tak diberi kebebasan untuk
berkreativitas dalam mencari ilmu pengetahuan. Saat ini ribuan manusia yang
cerdas, tapi tak mampu menciptakan masyarakatnya damai dan sejahtera. Akan
tetapi uang rakyat di curi untuk lahan bisnis sendiri, hasilnya pun dimiliki
sendiri. Andai saja petinggi bangsa ini memberikan peti mati terhadap para
koruptor, aku yakin rakyat dan bangsa ini akan sejahtera. Tapi entahlah,
mengapa para petinggi bangsa ini lebih mementingkan diri sendiri, daripada
rakyatnya? Anehnya lagi sudah mencuri malah melarikan diri ke negeri tetangga.
“Dasar,,,,, tidak tanggungjawab”
“Tanggung jawab bagi pemimpin seperti barang
yang membahayakan, seperti harimau yang akan menyantap tubuhnya. Tanggung jawab
memang tidak terlihat sama sekali di ruang petinggi-petinggi bangsa ini, mereka
berjanji akan selalu mengabdi dan memperjuangkan rakyat, tapi setelah tercapai
apa yang diinginkan malah mereka lari dari tanggungjawab”
“Kayak manusia membuang air besar, selesai ya,
sudah, padahal anjing saja kalau tahi, masih di kubur”
“Berarti lebih mulia anjing daripada petinggi-petinggi
bangsa ini”
Hari ini takdir menjadi teman bangsa kita
Semua seperti yang sudah direncanakan. Berjalan
tanpa gangguan apa pun, negara hukum pun tak kuasa menyelesaikan orang-orang
yang melanggar hukum. Negara hukum hanya menjadi sebuah nama yang tak memiliki pemimpin.
Negara hukum hanya ilusi. Negara hukum hanya tempat-tempatnya orang maling. Negara
hukum adalah negara pencuri. Negara hukum adalah negara para pengecut. Negara
hukum adalah negara pengkhianat. Negara hukum adalah negara para budak.
“Bagaimana dengan negara demokrasi?”
Demokrasi hanya baju. Demokrasi hanya lipstik. Demokrasi
hanya alat untuk meracuni rakyat. Demokrasi hanya omong kosong. Demokrasi hanya
budak. Demokrasi hanya rumahnya para pencuri. Demokrasi rumah orang-orang
bodoh. Negara demokrasi adalah sebuah permainan anak kecil. Negara demokrasi
hanya tempat pencari kekayaan diri sendiri. Negara demokrasi adalah tempat
orang-orang bisa di beli dengan uang. Negara demokrasi adalah negaranya
orang-orang pintar, tapi bodoh.
“Memang kamu pintar?”
“Aku kan orang petani, aku rakyat kecil, aku
manusia biasa, yang selalu menjadi korban petinggi-petinggi bangsa ini”
“Memang bangsa ini diapakan oleh pemimpin kita?”
Orang-orang pintar berkumpul untuk mencari kekuasaan,
kedudukan dan status, mencari kekayaan sendiri, membuat bisnis dari uang
rakyat. Pajak yang dibayar rakyat di korupsi. Hukum di beli. Bahkan orang-orang
pintar itu bisa di beli.
“Dahsyatnya negara ini, penuh maling-maling tak
bertanggungjawab, penuh orang pintar tak berguna”
“Kasihan rakyatmu”
Terus mau diapakan kembali, ketika korupsi
menjadi seni, menjadi budaya, menjadi agama, menjadi keyakinan, menjadi Allah.
“Apakah ada cara lain untuk membunuh para
koruptor bangsamu?”
“Aku tidak tahu, aku hanya orang bodoh yang
selalu dipermainkan pemimpin”
“Walau pun kamu orang bodoh, kamu harus
memanfaatkan kebodohanmu, melawan orang-orang cerdik kamu harus melawan dengan
kebodohan”
“Bagaimana caranya?”
“Caranya harus mencontoh Cina dalam menangani
para koruptor, yaitu menyediakan peti mati”
“Wah, aku sepakat kalau begitu”
“Masalahnya aku bukan pemimpin, aku hanya
rakyat kecil, andai saja presiden berkata dan sepakat terhadap cara tersebut
betapa enaknya dan rakyat akan bahagia dan makmur”
Tapi itu hanya cara yang tidak akan didengar,
mengapa tidak, rakyat kelaparan, menjadi korban bencana, di biarkan begitu
saja, bahkan bantuan uang dari negara asing habis di tengah jalan.
“Entah siapa yang makan?”
Anehnya sampai detik ini kita masih di jajah.
Mulai dari makanan, pendidikan, Mental. Sendi-sendi kehidupan sudah mulai
melemah. Mulai dari mental rakyat, keyakinan terhadap Tuhannya. Tiadanya kemandirian
suatu bangsa dan rakyat. Belum lagi nama-nama Gayus Tambunan, Cirus Sinaga,
Bachtiar Chamsyah, Syarifuddin, Nunun Nurbaeti dan Nazaruddin ini yang
baru-baru, belum lagi yang dibiarkan lolos. Alias pembiaran.
Pikiran dan jiwa gelisah melihat bangsa terus
di jajah. Kini kita harus mencari cara untuk melawan pejajahan itu. Haruskah
bangsa ini selalu di bawah, padahal ilmuwan bangsa ini sangat banyak, tapi
mengapa ilmuwan kita hanya berwacana dan isi kepalanya hanya buku, tidak ada langkah
nyata?
“Sebenarnya ada cara yang baik untuk melawan
penjajahan itu” kata Hasta
“Apa dan bagaimana, kita orang-orang yang
dipinggirkan karena kritis”
“Kita mulai dari desa, dengan memberikan
informasi bahwa di luar keadaannya seperti ini dan itu, masyarakat desa diajak
untuk mandiri, masyarakat di ajak untuk bercocok tanam dengan benih lokal
(organik), karena kalau kita melihat dari sisi sejarah bangsa ini masyarakatnya
petani, sebenarnya kekuatan kita berada di petani, jadi tidak heran kalau
sampai saat ini masyarakat petani masih di jajah, dengan di beri benih dari
luar negeri, sementara benih lokalnya sengaja di hilangkan, ini suatu bentuk
penjajahan pelan-pelan yang akhirnya kalau kita tidak sadar akan hancur, jadi mulai
saat ini apa yang harus kita perbuat untuk melawan penjajahan itu”
“Karena kita saat ini berada di masa yang
sangat sulit”
Bayangkan buku karya asli orang jawa berada di
Belanda di Swiss, bahkan ketika kita ingin melihat ke sana, kita harus memiliki
formalistas negara untuk bisa masuk dan membaca, padahal itu buku kita.
“Mengapa tidak lemah kita ketika buku, benih,
makanan, semuanya mengambil dari luar negeri”
“Sangat sulit mencari ilmuwan kritis dan
idealis untuk melawan, karena ilmuwan kritis kini mulai bisa di beli dan di
mabuk kapital besar. Ilmuwan besar kita hanya kalah dengan uang”
“Negaramu iki piye”
Komentar