Mencari Titik Cahaya




Malam Minggu, tanggal 28 Mei 2011, kamar sebelah ramai dan ribut dengan game. Niji menyendiri di kamarnya membaca novel Gunung ke Lima Paulo. Dua hari berikutnya Niji berfikir tentang keadilan Allah. Apakah Allah benar-benar adil dalam menangani alam semesta? Niji berfikir bahwa dirinya selalu gelisah tentang dirinya yang hidup tak menentu. Sebagai penyair dunia, Niji masih hidup biasa, berteman dan berguru pada siapa pun termasuk pada alam semesta. Niji yakin alam semesta lebih pintar dari Prof. Dr. guru besar, guru, dan dosen. Waktu hari Senin yang seharusnya Niji puasa, dia tidak puasa.
Alasanya “Aku masih murka pada Allah”
“Mengapa” tanya perempuanku
“Entahlah kadang Allah harus aku murkai, agar Allah paham bahwa aku benar-benar berharap pertolongan-Nya”
“Pertolongan apa”
“Semua apa yang kujalani dan apa yang kuharapkan dari kehidupan ini”
“Apa itu” tanya perempuanku serius
“Aku ingin hidup cukup, aku ingin ada, pingin itu ada, aku ingin hidupku layak”
“Apakah selama ini kamu tidak layak?”
“Aku merasa begitu”
“Mengapa demikian”
Aku sekarang selesai kuliah, kerja kemanusiaan, dan membantu masyarakat, tapi mengala Allah belum juga memberikan uang padaku, sehingga aku bisa membetulkan sepedaku yang rusak, dan makan tidak berhutang. Kamu sendiri, aku setiap hari seringkali lapar dan tidak punya uang, memberi sayur seringkali kamu yang membeli. Walau dua ribu. Karena aku benar-benar tak ada uang.
Tak terasa percakapan sampai jam empat sore dan Niji belum juga makan.
“Kamu sudah makan” tanya Niji
“Belum”
Kamu mau makan? Kakau iya, aku akan masak, tapi aku belum ada uang untuk beli sayur.
“Aku juga belum ada uang” jawab perempuanku
“Mas aku pulang dulu ya, tiba-tiba perempuanku pamit pulang”
“Iya tidak apa-apa”
“Mas tidak mau masak”
“Entahlah, aku lagi males, makanya Allah harus aku murkai agar Dia tahu bahwa hambanya belum makan”
“Aku ingin tahu bagaimana Allah memperlihatkan kemahakuasaannya padaku” tandasnya.
Perempuanku pulang, sendirilah Niji dengan gelisah dirinya yang tak kunjung selesai. Matahari sudah memberanikan diri tidur dari waktu siangku. Memberikan warna hitam kegelelapan memberikan lampu-lampu malam dan adzan terdengar di masjid, mengajak untuk ritual shalat magrib. Walau siksaan jiwa membebani. Niji tetap shalat lima watku, Niji yakin kalau aku mampu melewati jembatan kegelisahan ini, Allah pasti akan menolong kita dengan penuh kasih sayang. Makanya Niji dengan santai dan masih mengerjakan ritual shalat yang diperintahkan Allah. Niji yakin orang sukses tidak dihasilkan dari perjalanan yang mudah, kesenangan, ketenangan, mereka dibentuk melalui kesukaran, tantangan, dan airmata, ketika Niji mengalami sesuatu yang sangat berat dan merasa ditinggalkan sendiri dalam hidup ini, Niji mengangkat tangan dan kepala ke cakrawala berdoa selalu pada Allah sambil menatap masa depan, Niji yakin bahwa Allah sedang mempersiapkan untuk menjadikan Niji orang yang hebat luar biasa, dan mengabdi pada masyarakat. Niji yakin besok pasti lebih baik dari hari ini.
“Tersenyumlah dan semangatlah selalu dalam menjalani kegelisahanmu” menyemangi dirinya
Dalam jiwanya berkata; aku sudah gelisah memikirkan diriku sendiri, belum lagi masyarakat di Wukirsari.
Waktu mas Hasta dan mas Hendro pergi ke atas untuk menemui seseorang, mereka akhirnya juga bertemu, karena hari-hari sebelumnya mas Hasta selalu di uyak-uyak seseorang itu ingin bertemu. Akhirnya mas Hasta dan mas Hendro siang itu berangkat berdua. Lalu jam lima mereka berdua sampai di rumah. Sesampainya di rumah mereka berdua sedikit tegang, jadi Niji diam saja dalam hatinya berkata ada apa dengan pertemuan tadi.
Hari berikutnya pada tanggal 29 Mei 2011 mas Hasta dan Vera datang ke tempat Niji bercerita kejadian pertemuan kemaren.
“Pertemuanku kemaren cukup mengecewakan”
“Mengapa” tanya Niji heran
Aku heran mengapa dia tahu semua yang aku tulis dalam hp dan pesan yang aku kirim pada teman-teman, walau pun aku sebenarnya paham cara-cara yang begitu, dia menggunakan teknologi, dia brimob, saya sangat paham trak-trekot cara-cara itu, jadi aku santai aja, menghadapi hal itu. Tapi yang kecewakan mengapa dia menggunakan cara keras seperti itu, walau pun dia menggunakan cara keras, aku tetap santai. Bahkan aku sering ke Wukirsari, karena aku di sangka suka pada anak pak RT, lucu to, walau pun kadang aku sering bergurau sama-sama teman-teman, kan biasa kalau kita bergurau tentang perempuan cantik. Justru mereka menganggap itu serius. Nah sekarang aku ingin merubah cara, kalau dulu saya sering ke rumah pak rt, kalau kita naek, aku akan langsung ke rumah pak Yuli. Biar masyarakat di sana berpikir mengapa aku tidak ke rumah pak rt. Nanti aku akan cerita apa adanya pada tokoh masyarakat. Aku yakin mereka ingin merebut hak aku, ya aku sendiri harus hati-hati, aku takut motorku di sadap.
Suasananya sepi, Niji berpikir, mengapa seorang brimob ingin berserteruh dengan kami yang benar-benar membantu masyarakat, malah dia ingin mengcaukan kami, pikirnya.
Cerita mas Hasta juga mengisi pertemuan Niji dengan perjalanan hidup yang harus di tata. Walau pun hal itu biasa dalam kehidupan, tapi apakah harus demikian seorang brimob. Setahu Niji brimob harus mengabdi pada masyarakat bukan malah mengacaukan masyarakat. Kita di sana kan ingin membantu masyarakat. Karena sejak awal kita katakan “aku tidak menjanjikan apa, aku hanya ingin mendampingin dan membantu. Aku bukan pengusaha yang banyak uang, jadi masyarakat sendirilah yang membangun, dan kami di sini hanya sebagai fasilitator, jadi kalau ada apa-apa saya serangkan semuanya pada masyarakat”.
“Apakah dia tidak bertanya apa arti hidup ini?”
“Kita juga punya cinta”
“Ya, kita harus melawan dengan menggunakan cinta”
“Aku sepakat, karena itulah yang membuat impian kita tercapai” jawabnya
“Tapi Niji sebagai orang Madura, aku tidak terima, kita harus melawan brimob itu, kita lawan dia dengan celurit cinta”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Tari India Yang Sarat Spiritualitas