Berjalan dalam waktu



Keinginan kadang tidak sesuai apa yang diharapkan. Di jalanan menuju keberlanjutan banyak lekuk yang harus di tepis dengan bijak. Di kebijaksanaan inilah manusia terjebak untuk selalu mengikuti dirinya sendiri, padahal setiap manusia memiliki batas dan kemampuan yang sangat berbeda dalam menyikapi hidup dan formalitas.
Sementara Niji harus menyikapi itu, bagaimana dia tidak salah terhadap nasehat dan juga tidak keliru terhadap dirinya sendiri. Dua harapan yang mungkin rumit untuk masuk dalam kehidupan Niji. Tapi sampai detik ini nasehat itu masih menyelimuti Niji, di samping dia seorang kakak yang harus perhatian terhadap adiknya. Tapi apakah salah kalau dalam satu keluarga memiliki perbedaan? Tentu tidak.
Perbedaan inilah yang selalu menemani matahari tiap hari, menemati waktu dan malam. Tapi mengapa Niji gelisah dengan perbedaan nasehat itu. Entahlah? Niji masih memproses kegelisahan itu agar keputusan nanti tidak mengecewakan dirinya dan nasehat itu.  
Tapi itu masih ada dalam perjalanan dan perjuangan. Perjalanan dan perjuangan menghidupi hidup yang kadang membuat pesimis, sekarang Niji lebih tenang karena beban untuk menuju kehidupan baru tidak sebesar apa yang diinginkan perempuan manja yang tak mampu menjaga eksistensi keberlanjutan hidup. Maka Niji harus membuang perempuan itu, walau sedikit ada rasa kecewa, tapi itulah sikap yang harus Niji pilih untuk lebih bahagia menjalin kehidupan dengan perempuan lain yang sebenarnya lebih meyakinkan daripada dia.
Meyakinkan karena perempuan ini lebih mementingkan kehidupan daripada materi. Walau pun materi juga cukup dibutuhkan.
Da begitulah Niji memanggilnya. Perempuan berambut lurus hitam, putih, cantik, tubuh semampai, bibir sensual, sexi, sedikit manja, tubuhnya lebih kekar daripada Niji. Senyumnya membuat semesta berhenti beraktivitas. Baru kali ini seumur hidup Niji berani berkata suka terhadap perempuan. Walau pun sebelumnya Niji punya cewek, tapi dia datang dan berkata sendiri, tapi kali ini Niji lain lebih berani berkata “Aku suka kamu”.
Begitulah Niji berkata
Entah mengapa keberanian itu baru lahir dalam diri Niji. Apakah itu semua sudah di setting Tuhan untuk lebih serius melihat dan memelihara perempuan selamanya?
Dari sinilah Niji mulai berpikir bagaimana menghidupi kehidupan selanjutnya. Tiap detik aku luangkan memetik refleksi untuk melihat masa depan yang lebih cerah. Walau pun aku yakin rejeki itu di tanggung Tuhan, tapi aku masih belajar menata rapi keyakinan itu.
Sungguh luar biasa sulitnya melawan diri sendiri. Ketika kehidupan memberinya sedikit kemelut. Sedikit ruang untuk dipikirkan. Tapi itulah yang harus Niji jalani untuk sampai di sana. Dengan lekuk kemelut itulah Niji memberinya ia rasa dan masa untuk bersama dalam mencapai kedamaian, kebahagiaan yang terus Niji cari letak kebenarannya.
Malam sepi, Niji sendirian dalam kamar, tiba-tiba hpnya berbunyi, ada pesan dari perempuan:
Pesan pertama
“Aku cemburu bukan karena aku tak mampu bercumbu denganmu, bukan karena tak bisa merayumu, kecemburuanku hanya sederhana, sesederhana angin yang menghembuskanmu, sesederhana malam pekat yang menenggelamkanmu, aku cemburu bukan karena aku tak mampu bercumbu, bukan…, aku cemburu karena malam tak ijinkan aku bersanding denganmu, aku cemburu karena akut ak dapat meluapkan rinduku padamu”.
Pesan kedua
Malamku…..tanpamu….Sendu….merindumu….membunuhku…menikaku…mati, sunyi, sendiri.
Pesan ketiga
Waktu mempetemukan kau dan aku, waktu memberik jarak antara kita, hingga aku tak sanggup bersua dengamu, waktu memberiku rindu, menikamku dengan risau, hanya risau, karenamu, karena kau, hanya ada risau yang menderu.
Pesan ke empat
Ya,,sunyi begiku,, sunyi yang hanya bisa aku rasa sendiri,, tak bisa terlihat telanjang mata apalagi diterka,, tak bisa pula dikira-kira, hanya sunyi,
Pesan ke lima
Apa kau rindu aku, apakah kerinduan melandamu,? Kata saja tak perlu malu, malu-malukah kau padaku?, ah rindukah kau padaku?
Pesan ke enam
Rasa tak pernah mata seperti apa? Apa yang membuat rasa tak pernah mati? Aku pun tak mau mati rasa, tak sanggup bila rasaku mati, rasaku ingin hidup denganmu, bersanding dengan dirimu, sudikah engkau?
Pesan ke tujuh
Apakah waktumu hanya tercipta untuk merindui aku?
Pesan ke delapan
Malam menyapaku, membisikiku, tentangmu, hanya kau, dirimu, yang tersebut dalam malamku, hanya kau dan kau.
Pesan ke Sembilan
Adaku adamu, hanya kau dan aku, kau yang tercipta untukku, untukmu hanya ada aku, untuk satu, hanya kau dan aku, ada dan menyatu.
Pesan-pesan itu berjalan dengan kehendak Tuhan, sehingga ketika pesan ini berhaluan, airmata perempuan itu mengalir, terseduh. Tiap hari di luar pesan itu selalu mengalir hidup yang penuh cinta dan kasih sayang. Berulang kali berkata pada waktu, tapi baru kali dia bersatu dalam tubuh yang satu pula. Walau pun perjalanan masih panjang, ramuan-ramuan yang di olah oleh perempuan menjadi teman jejak mengarungi jembatan waktu yang kita jalani berdua.
Lain waktu dia mengurainya dalam pesan; hatiku merindukanmu sayang, bukan hanya rindu, tapi resahku mengintaimu, menginginkan kau rasakan gelisagku,  mengharapmu rasakan rinduku yang mendayu, sayang, aku ingin kau merinduiku, merinduku dengan hatimu, tak perlu kau ragu, rinduilah aku (19 Februari, 2011).
23 Februari 2011; sayang….biarkanlah aku selalu ada didekapanmu, biarkanlah aku selalu ada disisimu, dan biarkanlah aku bersemayam dalam hatimu.
Pesan manja penuh eksistensi itu, mengisi perjalanan menuju keromantisan masa depan penuh damai. Bahagia, dan kemakmuran. Walau Niji tetap bercermin pada waktu, dan perjalanan. Setiap hari sendiri di lantai dua, jam lima senja, duduk melihat sekitar dan cakrawala, kadang berawan, gerimis, kadang juga terang cahaya senja. Itu hiasan yang menemani Niji di lantai dua.
Membaca, kesendirian, dan menulis menjadi keseharian. Kadang lapar tak mampu Niji tebus. Tapi kebersamaan menjadi tempat bersemayaman untuk menyambung hidup. Najamuddin Muhammad, F.Rizal Alief, Rusdi, Masykur, Kacong, Yasir, Marsus Banjar Barat, Hasan Albannah teman-teman Niji mengurai hidup dan saling mengisi dalam waktu yang cukup lama dalam satu wadak kebersamaan.

Seringkali aku tak makan
Senyerih jerit malam yang tanpa gelap

Sesepi sunyi yang terkurung dalam rindu
Waktu yang terus terkuras oleh jejak
Sementara ruang masih tersisa untuk aku bagi pada keseringan itu

Dimana malam yang aku kasih pada senja
Tak terasa kian menepi di teras mimpi
Yang kini menjadi diri kita sendiri

Aku bingung. Bagaimana melupakan malam
Melupakan siang, waktu dan ruang
Ketika uang menjadi harapan hidup masa depan

Sesering kekinian yang terus menghampirimu
Keseharian wajahmu di tengah kesemrautan
Yang tak punyak nilai untuk aku berikan pada malam

Siang aku mengeluh. Malam aku tidur
Walau tanpa makan untuk menjadi aku
Yang terbiasa harus makan, minum, dan mengabdi

Sungguh kemeranaan malam
Aku bagi pada hari-hari
Sekejap tiba kau merenungkan do’a semesta
Mengapa aku harus menemukan malam tanpa gelap

Niji selalu bertanya pada teman-teman dan dirinya sendiri; kapan kita bisa hidup makmur dan kebutuhan selalu ada sama seperti orang-orang di luar sana. Orang kaya harta. Kaya jiwa. Kaya hati. Kaya ilmu. Kaya spiritual. Kaya keseimbangan dan kaya semesta.
Kekayaan adalah kehidupan yang sempurna. Itulah yang menjadi tujuan dan puncak kehidupan Niji bahkan semua orang ingin seperti itu. Kekerasan terjadi karena mereka hanya belum kaya. Belum sempurna hidupnya. Korupsi terjadi itu karena mereka belum kaya dan belum sempurna hidupnya.
Lalu, Niji ke pergi Magowo dimana banyak menemukan sepi dan pengalaman panjang. Di sana Niji di kenalkan kepada orang yang dulunya sangat kaya, Ben nama bapak itu. Niji banyak bertanya tentang dirinya di waktu Ben kaya raya. Begini ceritanya kata Ben:
Di waktu aku kaya raya, aku beli mobil lima, anak-anakku dibelikan motor satu-satu. Aku dirikan usaha catering, anak-anak dan istriku membantu dalam proses usaha ini, tapi di tengah jalan anak yang satu tak cocok dengan anak yang lebih tua, istriku juga hobinya jalan-jalan naik mobil katana, dan pak Ben kerja proyek design, akhirnya cetering tidak jalan karena konflik internal, jadi buburlah usaha pak Ben sampai peralatan catering terjual tanpa niat.
Kini anak-anak pak Ben sudah kerja, isterinya tak mau tahu dengan kehancuran usaha itu. Pak Ben sendiri, pagi ke kantor jam empat pulang, di rumah istirahat dan baca.
Mungkin isteri pak Ben tak siap menjadi orang miskin, yang dulunya kaya rara, sekarang harta itu di ambil lagi pemiliknya. Pak Ben orang yang sabar dan memiliki pemikiran jernih dia tak mudah menyerah terhadap keadaan, ia terus kerja walau pun umurnya di atas tujuh puluh. Dia masih sehat.
Senja Maret waktu itu pak Ben datang sendiri ke Magowo, naik motor sendiri, tapi sangat pelan, karena orang tua jadi matanya sudah sedikit suram kalau jalan. Di sana, dia sampai malam bahkan ingin bermalam bersama, Karena di rumahnya ia tak punya siapa-siapa, maka malam Minggu Niji, Hasta dan pak Ben, kami tidur bersama. Jam lima kami sudah lelap, tapi Niji tidak, karena masih menunggu waktu Magrib tiba.
Azan sudah terdengar, Niji wudu’ dan shalat magrib, selesai lalu Niji ikut menikmati tidur mereka berdua. Niji pun ikut tertidur. Jam sepuluh kami bertiga bangun, shalat Isya’, ngobrol.
Ngobrol tentang design rumah dan pariwisata yang akan menjadi focus proyek kita ke depan dan sebentar lagi pak Ben akan pergi ke Aceh untuk mendesign, di tawarin tanah seluar 9 ribu km untuk dijadikan roku dan pasar, jadi pak Ben sekarang menjadi investor untuk proyek ini, katanya malam itu.
Selama sebelas tahun saya kerja sama bos, tapi kali ini aku harus mandiri, katanya, hari Minggu kami berempat jalan-jalan menyusuri selokan mataram sampai prambanan, lalu pulang, waktu sudah senja. Niji dan perempuanku pulang, karena besok perempuanku harus kuliah.
Jadi hanya sehari Niji menimba pengalaman ilmu dari pak Ben, belajar sama orang dulunnya kaya raya dan kini menjadi orang biasa seperti kebanyakan orang.
Niji hanya berfikir, bagaimana mengelola harta yang sebenarnya bukan milik kita? Biasanya banyak orang kaya, tapi tak menyadari bahwa harta itu ada yang punya, tak menyadari kalau dirinya akan kehilangan. Dan manusia baru menyadari kalau harta itu di ambil kembali. Entahlah ada apa dengan diri kita?
Kita yang berlomba-lomba dalam mencari harta, tapi tak pernah bersyukur atas rahmat harta yang diberikan oleh pemiliknya.
Senja panjang bulan Maret menjadi sepi dan penuh pengalaman panjang yang harus Niji pelajari lebih lanjut tentang kehidupan ini. Kehidupan yang tiba-tiba menjadi nyata, tapi untuk siapa, bagaimana dan mengapa harus Niji sambungkan dengan pemikiran agar pengalaman ini tak sia-sia.
Keberangkatan Niji ziarah ke tempat gurunya di makamkan, penuh pemikiran panjang dalam benak yang selalu datang bertamu di ruang pemikiran. Kalau setahun yang lalu ziarah di beri reziki sarung, kali ini resiki lebih pada perut yaitu nasi. Niji perpikir, apakah resikiku hanya nasi yang semuanya berpusat di perut?
Pemikiran terus berlanjut sampai tiba di Yogyakarta, apakah permintaanku salah pada Tuhan sehingga rejekiku berkutat hanya di perut, tapi apakah rejeki hanya bersifat materi? Apakah tidak ada rejeki yang di luar materi? Apakah tidak ada realitas lain di luar itu semua?
“Berikan reski yang melimpah ruah padaku Tuhan”           
Doa yang mungkin selintas sangat meterialis, riski padahal tidak selalu seperti itu. Ada riski yang berbentuk materi ada yang berbentuk immateri. Tergantung kita mau yang mana.
“Dua-duanya”
Manusia tentunya akan beragam memilihnya, ada yang hanya materi saja, tak peduli, ada yang dua-duanya, karena peduli dan mungkin tahu bahwa ada realitas lain di dalam materi.
Sambil mendengar musik dangdut, nyeri semangat memcari keberlanjutan menulis dan melihat realitas dalam sesuatu tumbuh. Di zaman ini mayoritas kita lebih memilih riski materi, karena ada realitas yang terbunuh dalam diri kita. Entahlah apa yang akan terjadi ketika ada suatu realitas yang terbunuh? Apakah dunia akan terisi materi? Tanpa immateri.
“Immateri itu apa?”
Dalam filsafat disebut sesuatu yang ada di luar materi, contohnya Tuhan, Malaikat, sifatnya transendel dalam islam disebut spiritual. Tapi tak banyak orang melihat hal itu. Kita lebih memilih sesuatu yang pragmatis materialis. Lalu dimanakah Tuhan?
Walau pun Tuhan menjadi pusat segala pencipta, tapi mengapa pencipta itu selalu terlupakan? Apa penyebab keterlupaan itu? Apakah kita terlalu memikirkan duit, rumah mewah, fasilitas serba ada? Itulah dunia manusia yang kebanyakan bermain dan ingin hidup di dunia materi. Walau ada satu dua orang yang hidup di ruang spiritual atau Sufism.
“Tapi hal itu masih jarang”      
“Tak banyak orang mau, menurut mereka itu tak rasional, tak nyata tak berbentuk”  
Jadi menurut mereka sesuatu yang ada jika berbentuk materi, ada objek yang bisa di lihat mata. Padalah masih ada sesuatu yang ada di dalam ada itu sendiri.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Tari India Yang Sarat Spiritualitas