Berjalan dalam Jiwa
Setelah Niji berkata bagaimana
proses menjadi keringat yang berbuah ranum. Dalam kesendiriannyalah Niji
merenung penuh, tak ada satu pun rasa untuk menjadi siapa dan apa, tapi yang
dalam renungan Niji adalah ketakutan terhadap dirinya sendiri, ketika Tuhan
memanggil semua orang yang ada di dunia ini kehadapanNya, Niji sendiri tidak
tahu siapa dan apa sehingga hanya Tuhan yang Niji takuti selama ini. Sebab Niji
hidup sejak dulu hanya bersama orang tua, tetangga, saudara, dan wanita, dalam
hidupnya Niji tak ada Tuhan yang datang silaturrahmi ke rumahku. Tidak ada.
Kalau seperti ini, siapa yang
akan melangkahkan kakiku untuk sampai pada puncak gunung keabadian, kata-kataku
yang selama ini menjadi jembatan dan makanan setiap hari. Sepertinya Niji harus
mencari dalam kesadarannya sendiri, tak boleh ada orang yang Niji lewatkan
dalam perjalanan ini. Sebab guru mengajari Niji untuk tetap dalam dirinya
sendiri. Entah apa dirinya sendiri bagi diriku sendiri? Niji sendiri tidak
mengerti?.
Waktu ini Niji sudah mengalami
kegilaan dalam mencari kata-kata dan rasa. Selama ini tak ada orang besar yang
sadar akan rasa yang di balik senyum orang miskin. Sekarang sudah saatnya Niji
melangkahkan diri bersama kata-kata untuk mengisi rasa itu agar kekosongan
terisi sebagai wadak yang menjadi waktu untuk masa depan mereka. Kita tidak
boleh mengaca pada seseorang dalam menjalan hidup, tapi meminta sudah menjadi
trNijisi ruang waktu kita selama ini. Tapi tidak bagi Niji. Meminta adalah
ketakutan.
Di sini, bisik Niji baik-baik
saja.
“Apa”
“Justru itu”
“Apa, aku tak mengerti”
“Aku ketakutan”
“Ketakutan kenapa”
“Aku ketakutan di hulu hatiku menjadi
lagi, entah mengapa”
“Aku ragu, mungkin ini karena
dosa asal”
“Dosa asal siapa”
“Dulu ada cerita tentang nabi
yang di usir dari surga, namanya Adam”
“Terus, bagaimana dengan Adam”
“Adam tidak apa-apa, Adam
malah senang bisa keluar dari surga”
“Niji tidak percaya kalau ada
manusia yang di usir dari surga itu senang”
“Kita hidup, dengan berbuat
baik, mencari ilmu, dan membantu orang lain, hanya untuk masuk surga, tapi
mengapa dengan Adam ko’ bisa senang di keluarkan dari surga”
“Pasti kamu ngaur”
“Tidak, buktinya kamu dan aku
senang bisa makan dan menjadi wanita-wanita cantik, dan mencuri uang rakyat,
apa kamu tidak senang hidup di dunia ini”
“Ya, senang”
“Makanya Adam juga ingin
menikmati kesenangan dunia seperti kamu, Adam juga ingin wanita, ingin mencuri
uang, dan menikmati alam ini”
“Dulu di Surga Adam dalam
keadaan tidak berdosa, keadaan damai sejahtera dan istirahat, tetapi juga ada
dalam keadaan takut”
“Mengapa dan apa ketakutan
Adam di Surga?”
“Tak satu pun, ketiadaan”
“Katanya Adam takut akan
kemungkinan”
“Adam takut apa yang tiada,
tapi itu terjadi pada dirinya sendiri, dia takut akan yang dapat dan mungkin
dilakukannya, dan apa yang bebas ia melakukannya”
“Buktinya apa” tanya lagi
“Katika Tuhan melarang Adam
memakan buah pohon pengetahuan, larangan ini menimbulkan keadaan takut dalam
diri Adam, sebab larangan itu akan membangkitkan dalam dirinya kemungkinan
kebebasan”
“Kamu ada-ada aja, mana
mungkin Adam sebagai seorang nabi bisa melakukan sesuatu yang dilarang
Tuhannya”
“Kata siapa Adam itu nabi, dia
manusia biasa yang juga bisa berbuat dosa”
“Kamu jangan sembarangan,
nanti kamu murtad”
“Murtad itu bukan urusan kamu,
tapi urusan kata-kata, bagaimana kata-kata mengatur diri dan seseorang, sebab
iman kita dulu juga menggunakan kata dalam menciptakan hukum-hukum dalam
kitabnya, mengapa tidak dengan aku” kata Niji.
Ketika kamu menaiki motor di
jalan yang sempit pada malam hari berhujan, dengan perasaan gelisah terhadap
lampu yang menyala besar terang dari mobil yang datang dari arah yang
berlawanan maka, terbesitlah pikiran kita aka menabraknya, kamu akan jadi ketakutan
jika itu terjadi pada diri kamu.
“Kamu selalu menceritakan
ketakutan, ketakutan apa?”
“Ketakutan yang Niji alami
adalah ketakutan akan diri Niji sendiri, sebab aku (kata Niji) takut akan
dahsyatnya kebebasan yang akan ada dalam diriku, sebab ketika kebebasan ada
dalam diriku tak ada orang yang menabraknya kecuali diriku sendiri”
“Kini, setelah Niji tahu, Niji
berbuat salah kepada orang lain, dan Niji takut terhadap keinginannya sendiri,
sebab sebagai manusia tidak ada suatu apa pun kecuali aku sendiri yang
mencegahnya berdosa seperti sekarang ini”
“Dosa apa yang kamu perbuat
sekarang?”
“Hidupku sekarang selalu penuh
dosa, bahkan tak ada detik, langkah dan waktuku yang tak pernah ada dosa, semua
itu berisi dosa”
Lalu Niji menulis sebuah puisi
Menyadari, tapi Terbelenggu
Ibu, anakmu kini
Duduk merenung sepanjang masa
Menyesali dosa harian yang belum terhapus waktu
Ibu, anakmu kini
Terbalut awan tebal berbalut hujan
Tak berdaya merangkai syair
Ibu, anakmu kini
Sudah tak sekuat kata-kata
Sekali berucap sungai-sungai mengalir di bibirmu
Tak ada bendungan menahanku
Tak ada jeda waktu untuk istirahat
Kecuali terhanyut oleh pesona awan hitam itu
Sampai sedalam-dalamnya
Apakah engkau ada ingin untuk mencari angin surga?
Tentunya begitulah inginku ketika waktu mengingatkan
Kini, hanya hati kecil yang mampu menembus rasa dalam kata
Sebagai bukti kalau aku benar-benar menyadari dalam diri
Tapi tidak dalam tindak,
Aku tak mengerti!
Mengapa mesti begitu?
“Mengapa seperti itu”
“Aku tak mengerti, ini mungkin
sudah suratan Tuhan karena sudah melanggar aturan itu tadi”
“Mungkinkah ini kata hatiku”
Aku hukum kamu untuk bebas
sampai selamanya
Mengapa aku?
“Karena kamu juga tidak
memilih tetap memilih”
“Niji di hukum untuk bebas”
“Dasar, masak di hukum untuk
bebas, mana ada di hukum malah tamba bebas, orang di hukum agar berhenti untuk
tidak berbuat jelek, malah bilang hukum untuk bebas, dari mana kamu dapat kata
seperti itu,
“Gila kamu”
“Ayo dapat dari mana ide
itu”
“Dari guru saya, Sartre”
Sebagai orang yang lahir dari
didikan guru, sudah sepantasnya kita selalu mengingat kata-kata guru.
Bagaimanapun kita tetap mengingat guru. Siapa guru kita? Siapa pun itu,
matahari, anjing, kuda, manusia, lalat, orang gila, bulan, buku, sepeda, dan
semua isi alam ini Niji menganggapnya semua guru, sebab Niji lahir dan bisa
berkata seperti ini berkah dari angin, waktu, dan semua. Semuanya adalah guru,
guru adalah semuanya.
Kalau orang belum mengakui isi
semesta ini adalah guru kita, maka carilah kehidupan lain selain di dunia ini,
atau engkau harus meninggalkan dunia ini, sebab kita adalah mahluk yang
diciptakan, dan semua makluk merupakan simbol dari awal keberangkatan kita
menuju klimaks kata yang ada dalam dirimu sendiri.
Komentar