Para Pembunuh



Matahari siang sudah menaiki kepala orang-orang di atas ujung rambutku, aku masih dalam keadaan bingung, duduk di tangga demokrasi, memikirkan sesuatu bagaimana agar tidak cumi akademik, karena besok adalah terakhir mempebayaran spp. Aku terpaksa pergi ke rektorat untuk meminta despensisasi waktu, dengan bermodal berani dan tenang aku masuk ruang kantor dan bilang, kalau saya minta despensasi waktu untuk pembayaran spp.
“Pak, ya apa”
“Besok terakhir pembayaran spp kan pak,”
“ya, memangnya ada apa”
“Dengan nada sedikit gugup, dan harus ngumong, saya minta despensasi waktu pak, boleh kan pak”
Suasana menjadi sepi sejenak, hanya bunyi kata di samping ruang lain, dan bunyi AC, sementara aku berdiri menunggu jawaban.
“Kamu dari Fakultas apa”
“Ushuluddin, Jurusan Aqidah dan Filsafat”
“Ya, ngak apa-apa, berapa hari kamu minta despensasi waktu”
“Sampai HR saya turun dari media”
“Kira-kira itu berapa hari”
“Ngak tahu ya pak”
“Ya, sudah kamu beri waktu empat hari untuk usaha mencari pinjaman atau siapa tahu HR kamu turun”
“Aku senang sekali, senang banget, sudah sedikit lega jiwa ini”
Tapi perasaan siapa yang bingung seperti saya, bisa seketika itu hilang? Ngak mungkin bisa, karena saking banyak yang saya pikirkan.
Setelah sampai batas despensasi waktu yang sepakati, ternyata aku belum punya uang juga. Di pagi sekali aku berangkat dari pondok ke kampus dengan perasaan galau, resah, takut, khawatir dan sakit, tapi apa yang terjadi aku ketemu Flora. Hai Flor.
“Nij kamu sudah registrasi?” tanya sambil senyum
“Belum”
“Sekarang kan terakhir”
“Ya, aku hari ini memang terakhir, tapi aku belum punyak uang, kamu ada uang lebih ngak, aku hutang dulu untuk bayar registrasi”
“Ada, tapi jangan lama-lama ya,”
“Ya, makasih, aku sudah merepotkan”
“Hari yang menyenangkan walau ada sedikit tidak menyenangkan, karena terbeban hutang, tapi akankah ketidakmenyenangan itu selalu hadir bagi yang mengalami kesusahan”
Sungguh Tuhan kalau ingin menemukan jalan memang tidak di sangka-sangka, apa karena dunia hanya sebatas permainan yang indah dan pelembut kehidupan, sehingga apa pun yang kita inginkan dan kita haturkan itu semua kepada di kejauhana sana akan selalu tercapai tanpa kita harus tahu terlebih dahulu.
Selesai registrasi dan langsung KRS saya pulang ke Pondok walau matahari sangat panas sekali.
“Aku harus pulang sekarang, karena aku punyak uang lima ratus rupiah untuk beli roti yang harganya lima ratus rupiah yang cukup satu hari, sebab mulai pagi belum makan, jadi hanya roti yang seharga lima ratus rupiah perut ini menjadi kenyang, kebetulan pada waktu itu roti yang ada kacang hijaunya harga lima ratus, sekarang seribu satu” pikirku sambil ngomong pada diri sendiri,
Sungguh indah kehidupan ini walau hanya makan satu roti sehari aku bisa kenyang, sehat dan bisa mengerjakan aktivitas sehari-hari yaitu menulis. Itu semua bukan karena aku menjadi penulis sehingga aku lapar, tidak! Tapi merupakan sebagian kecil dari proses untuk bisa seperti sekarang ini. Kuliah dari semester satu sampai selesai bisa membiyai sendiri, makan cari sendiri, dan kebutuhan hidup yang lain juga cari sendiri. Indah bukan?
Sebenarnya keindahan dan kebahagiaan bukanlah sesuatu yang jalan tanpa ada duri atau batu lalu kita tersandung, tapi duri dan batu itu merupakan keindahan dan kebahagiaan itu sendiri, buktinya saya ini sudah menjalani sendiri. Ternyata kebahagiaan tidak bisa di ukur dengan banyak harta dan kekayaan, tapi kebahagiaan itu ada ketika berbuat baik kepada orang lain dan kita peka terhadap teman kita sendiri.
Sungguh sangat mudah sebenarnya untuk mencapai kebahagiaan tentunya untuk mencapai surga Tuhan sangat mudah, sekarang bagaimana kita melakukannya. Itu semua tergantung kepada kita, misalnya kamu menganggap matahari adalah api mengapa alam ini terbakar, inilah sebenarnya bukti bahwa perjalanan tidak sama dengan yang kamu niatkan, buktinya kamu sekarang apa kamu berjalan ke sini, itu sudah diniatkan sebelumnya oleh kamu.
Tidak semua yang kamu jalankan ini adalah buah dari niatmu, tidak, tapi aktivitasmu yang engkau jalankan sekarang adalah karena kamu punya kemauan untuk berjalan seperti ini, seperti itu. Artinya hidupmu adalah bagaimana kamu menyikapi semua yang mempengaruhi. Kamu kuliah bagaimana kamu menyikapi semua ilmu yang ada di dunia akademik atau yang di luar akademik, mengapa, agar perjalanan tidak lagi menjadi semua spekulasi waktu.
Sebab kita tidak mungkin melihat sinar dua kali dalam sehari. Maka, semestinya dalam ruang semesta yang sempit ini kita di tuntut mencari kreativitas, melihat sesuatu yang paling terkecil di dunia ini, siapa sangka kobaran yang sederhana dapat membanjiri semesta. Kita sebenarnya membutuhkan proses yang kuat, tidak lantas hanya berkata kita harus berproses, tidak! Tapi bagaimana keringat dari proses tersebut menjadi bermakna bagi proses itu sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Tari India Yang Sarat Spiritualitas