Sebuah Ruang
Setelah
Niji sampai ke tempat tujuan Djogja, Niji merasa Djogja adalah kota besar.
Itulah yang terbayang di benak Niji, bingung, karena tidak ada orang yang dapat
kuajak untuk beribicara. Pagi itu, ada seorang perempuan di pinggir jalan,
kebetulan Niji sedang dalam keadaan asing di mata perempuan itu.
“Mbak”
panggilku agak gerogi
“Ya,
ada apa” jawab perempauan itu
“Menunggu
siapa?” Tanya Niji
“Enggak
nunggu siap-siapa”
“Terus
di sini ngapain”
“Mbak dari mana” tanyaku lagi
“Aku
dari Jawa Timur”
“Jawa
Timurnya mana”
“Ngawi”
“Namaku
Dewi”
“Sambil
sallim namaku Niji”
Matahari
mulai agak siang aku dan Dewi hanya berdiam diri di trotoar jalan, hanya untuk
menunggu jam belajar kebetulan aku dan Dewi sama-sama kuliah. Dewi, kosnya
dimana? Tanyaku pelan, aku di Sleman. Dekat UGM. Sudah ya, Dewi aku balik dulu.
Pagi
berikutnya aku ketemu teman lamaku sejak dirumah, namanya Niji, pagi memang
yang selalu kutunggu di balik malam, kurasa telah lewat dalam malam-malam yang
sangat jauh, aku tidur di ranjang kesunyian, adakah tidur yang nyenyak dari
merem di bantal malam, ada, kataku, tersentak! Mungkin mengigau, aku sering
membalik-balikkan tubuhku saat tidur, karena aku sangat rindu pada matahari
yang menuruni pagi, dengan sinar mentari seakan aku hidup dan mati dalam waktu
yang sementara aku tidak mengerti apa waktu itu? jangan kau maki waktu itu
karena akulah waktu itu, kata hatiku sambil menyeruh nafas panjang.
Malam
telah aku lewati dengan waktu yang lambat bagiku, karena semalaman aku tidak
tidur nyenyak, dengan ada rasa yang ingin bertemu dengan sinar yang wajahnya
sangat indah dan tidak menampakkan kesuraman, aku rindu sekali pada senyumnya,
lalu bagaimana dengan jembatan waktu yang akan aku lintasi bersama masa yang
akan membawaku ke ranjang gunung merapi, aku terseruh sesak karena aku sangat
capek mendengar perkataan itu, capek katamu, ya, capek. Lalu bagaimana bisa kau
dapat menghirup angin surga yang belum kau temui di dunia ini? kata Niji
padaku, tidak tahu aku, bagaimana caranya.
Matahari
masih menghias siang di balik kaca yang belum engkau lalui dengan bedak sapu di
tangannya, aku sedang duduk santai bersama waktu di setiap wajah hari-hari yang
aku jalani bersama Niji, Nij, pangilku, sini, ajakku, dengan hiasan senyum
manja, apa, jawab Niji, sambil jalan menuju pangilan dan duduk didekatku.
“Bagaimana
kalau kita cari makanan di ranjang para pegawai negeri, sekarang di sana di
hotel saphir ada seminar sehari pasti banyak makanan yang mereka buang?”
“Ayu”
jawab Niji,
Waktu
itu juga kita berangkat membawa sak tempat bekas-bekas sampah yang mereka ingin
dijual untuk makan tiap hari, kala itu langit mulai berawan dengan amat sangat
tebal juga hitam,
“Kayaknya
mau hujan Nij”
“Gimana
kalau kita ngaup[1]”
ajak Niji sambil melihat awan tebal di atas pucuk-pucuk rumah-rumah yang mereka
lewati berdua.
“Kalau
kita ngaup disini kapan kita makan” jawabku
“Ya
juga sih”
“Tidak
apa kita jalan” lagi-lagi Niji mengajakku
“Hujan
Nij”
“Ya,
deras sekali gimana ini”
“Tuhan
mengapa engkau turunkan hujan saat aku lapar” Niji berdo’a dalam hati, dengan
tangis yang tersimpan dan dengan air mata hati.
Dengan
tangisan yang mereka pendam dan hujan yang semakin deras membajuhi, iringan
petir, awan tebal gelap, angin kencang, mereka terus berjalan menuju tempat
para orang berseminar, baju basah, dingin mencekam seakan tak kuat menahan
kedinginan yang dirasakan, di bawah pohon asam mereka ngaup dengan
keadaan perut yang belum terisi mulai pagi, mereka gemetar dengan keadaan
kedinginan dan kelaparan yang mereka tunda sampai betul-betul seakan tidak kuat
lagi untuk melangkahkan kakinya. Tapi untuk mengisi kelaparan mereka paksakan
untuk tetap ke sana.
Tuhan
aku benar-benar lapar, kenapa engkau belum mengusaikan hujan ini, di pohon
mereka tetap bertahan diri menanti hujan redah, kira-kira 3 (tiga) jam mereka
menanti, akhirnya hujan reda dan matahari mulai menampakkan wajah barunya di
hari itu, angin segar dan sinar mentari mulai terDewit, mereka berdiri dengan
sangat berat karena tidak kuat menahan lapar yang mereka jalani.
“Nij,”
panggilku
“Ayo
kita jalan lagi sebelum seminar di sana selesai”
“Ayo”
sambil berdiri
Mereka
bergegas berjalan dengan cepat takut acara seminar di sana selesai, ayo cepat
jalanya Nij, aku sudah merasakan lapar sekali, karena yang ada dalam pikirannku
hanya makanan yang mereka buang nanti, ayo cepat! Aku gak kuat lagi, gimana?
Waktu kira-kira menunjukkan 11,30 siang mereka juga belum mendaptkan makanan,
karena Niji tidak kuat lagi berjalan dengan cepat akhirnya dengan santai mereka
juga sampai ke tempat yang mereka tuju, sesampainya di sana ternyata sudah sepi
dan sisa makanan yang harapakan sudah di sapu dinaikan kemobil khusus petugas
sampah.
Mereka
bedua diam, diam dan diam saja di trotoar dekat gedung yang di tempati seminar Niji.
“Nij,
jangan bersedih ya” bujuknya
“Kita
mesti sabar menjalani hidup yang seperti ini, mungkin dengan seperti ini kita
akan menemukan kebahagiaan di lain waktu”
“Aku
yakin Tuhan pasti memberikan kebahagiaan yang lebih dari mereka yang ikut
seminar dan makan enak Niji”
“Aku
meyakinkan Niji agar dia tetap tegar menghadapi jalan hidupnya”
“Biar
bagaimana pun kita mesti sabar, sabar dan sabar karena kita akan menemukan
makanan yang lebih enak daripada mereka yang sudah makan Niji” ya, tapi minimal
aku dapat air untuk minum, kata Niji.
Mereka
hanya membicarakan makanan, karena setaip hari yang mereka alami tiada lain
kecuali kelaparan.
“Lalu
bagaimana dengan kelaparan kita ini”? tanya Niji sambil memegang perutnya.
“Kita
jalan lagi” jawabnya
“Kemana?”
“Kemana
saja yang penting kita mendapatkan makanan”
Jam
sudah menunjukkan jam 02, 00 mereka terus berjalan menusuri sepanjang trotoar
Jogjakarta, sampai kira 3 kilo mereka berjalan belum juga mendapatkan makanan
sama sekali, akhirnya mereka ngaup lagi dan tidur walau dengan keadaan
lapar.
Ngantuk
menyerang mereka seharian tidak makan dan tidak minum, mereka tidur pulas
sampai dia tidak merasakan lagi apa kelaparan yang menimpa dirinya, terik
matahari yang mulai beranjak sore mereka belum juga bangun, dengan badan dan
baju kumuh mereka dengan PDnya bangun dan bergegas.
“Nij
bangun sudah sore” ajaknya sambil membuang kelelahan
“Jam
berapa sekarang”
“Gak
tahu” jawabnya
“Ayo
bangun” begitulah keadaan kehidupannku saat itu.
Mereka
tidak merasakan senja yang lewat, mereka tidak merasapakan apa itu panas, apa
itu malam, karena malam sudah membangunkan, setiap masjid sudah mengumandangkan
adzan maghrib, mereka masih tetap dalam keadaan lapar, waktu dan detik sudah
mereka lalui dengan haus dan kelaparan, bagi mereka malam bagaikan makanan yang
sudah dimasak dengan enak dan siap untuk dimakan, malam bagi mereka adalah
sebuah kebahagiaan yang akan membawa kehari esok, karena esok mungkin kita
mendapatkan makanan yang di janjikan Tuhan. Karena mereka yakin setiap kita
memiliki riskinya masing-masing.
Malam
itu, adalah malam dimana setiap orang berpesta karena malam itu adalah malam valentine
setiap orang bahagia dengan datangnya hari itu, aku dan Niji hanya bisa
merasakan kebahagiaan mereka dari jauh, jauh sekali di kedalaman jiwa.
“Niji
tersenyum kecil”,
“Kenapa
engkau tersenyum,” tanyaku,
“Aku
bahagia sekali,”
Kok
bisa kamu bahagia dengan kebahagiaan mereka padahal mereka tiada pernah memperdulikan
aku dan kamu, kebahagiaan itu bisa dirasakan setiap orang, walau orang itu
tidak punyak apa-apa miskin sekalipun pasti merasakan kebahagiaan, walau lapar
seperti ini? Ya!,
Betapa
sangat lembut hatimu, walau kelaparan-kelaparan selalu menjadi jalan hidupmu, menjadi
detik dalam perutmu, walau kamu tidak pernah merasakan seperti apa bahagia itu?
lembah derita memang sudah menjadi jalan utama kita, kita hanya bisa menunggu
waktu yang akan bercerita pada setiap langkah yang kita jalani, walau jalan itu
penuh sembilu dan batu-batu cadas yang menghadang, kita mesti berjalan pelan,
sebab pada akhirnya kita akan juga menembus batu itu dengan kesabaran, dengan
sadar, dengan menyadari dan dengan kesadaran yang di tanam sejak kita merasakan
kelaparan ini.
Lapar
adalah jalan utama kita untuk menemukan matahari dan mengarungi samudera dalam
cakrawala keemasan, sebab sesuatu yang tidak mungkin kalau kita merana dalam
kata-kata, sebab kata-kata adalah derita dan kelaparan itu sendiri, sekaligus
kebahagian itu sendiri, sementara kita harus mencarinya dimana pun
keberadaannya, agar kemeranaan tidak ada dalam diriku, selama ini aku masih
bergelantungan dalam mengisi perutku, tak ada tempat selain selalu lapar dalam
hidupku, selama tiga tahun hidupku seperti tak menentu arah dan tujuan, karena
mencari makan sangat sulit bagitu, karena itu semua aku simpan rapat-rapat agar
orang lain tidak mengirkuti jejaku. Yang selalu kelaparan.
Kelaparan
bukanlah takdir mereka. Kelaparan adalah satu dari sekian ribu proses jejak
yang belum terselesaikan. Kini, kelaparan hanya bermakna kosong bagi mereka
yang ber-uang, demi peluang lebih banyak untuk selalu mencari dan mencari
sementara kita masih benar-benar kelaparan, maka mereka membutuhkan cinta dan
rasa.
Walau
mereka sudah merasakan kehilangan kesedihan dalam darahnya. Jika lapar yang
membuat Niji tidak menulis lagi, maka maafkanlah aku, kata Niji.
“Sebenarnya
lapar apa yang terjadi?”
“Seminggu
tanpa makan”
“Seminggu
juga tanpa tanya”
“Lapar
sedang dimana engkau sekarang?”
“Mengapa
tak mengisi kekosongan ini”
“Mengapa
tidak engkau menemui mereka, sehingga adamu menjadi kekenyangan, walau nantinya
engkau juga akan pergi, mereka mengerti kalau mereka berdua bersalah, tapi
akankah mereka akan mati tanpa makan”
“Tidak!”
Karena
lapar sudah menjadi sejarah bahwa ketika seseorang dilanda lapar kamatian pun
tak ada. Sungguh aku tak mengerti dengan alam ini. Bisakah engkau Bantu aku
menjelaskan ketidakmengertian ini?
Komentar