Sebuah Pencarian




Anak yang berusia 20 tahun sudah lulus SMA, dia tidak tahu harus kemana? Kuliah atau cari kerja. Anak seorang petani, yang tidak mampu secara materi untuk kuliah, apalagi kuliah mahal belum lagi makan setiap harinya. Anak itu bingung, setiap hari hanya membantu kedua orang tua, mengambil kayu bakar, menimba air di sumur, tidak ada bayangan untuk melanjutkan kuliah, sebab tidak tahu mau kuliah kemana.
Setiap pagi dia hanya menikmati pagi dengan membantu orang tua, menyiramkan harapan pada matahari. Menghilangkan keringat pada angin dan embun pagi. Dia melihat anak sekolah pergi, anak kuliah gaya, sementara dirinya berkebun dengan pakaian sederhana. Laki-laki itu mulai berpikir aku harus kuliah dan pergi dari kampung ini mencari ilmu dan setelah mendapatkan aku harus kembali ke kampung, pikiranya, tapi aku mendapatkan biaya dari mana? Sementara ayahku petani gula aren, petani biasa, serunya sambil memukulkan daun kelapa ke tanah.    
Sang Pelihat
Kubayangkan tubuh seperti cakrawala
Pesawat, kalelawar, angin, tumbuhan, dan segala peristiwa
Berada di cela ruang berbeda

Kubentangkan dada
Menghiruf matahari senja

Kutanyakan pada mereka
Berikan aku tak melimpah ruah

Hujan kembali turun
Kuintip dari jendela

Sang pelihat pun datang
Berbisik pelan
Menyampaikan pesan
Ia tahu
Bahwa segala detik adalah peristiwa
Penuh makna di balik sang pelihat
Tanggal dua belas, bulan dua belas adalah bulan yang membuat aku mengenal matahari, angin berhembus, benih-benih cinta mulai terlihat, ada huruf-huruf yang pertama kali mengenal senyum wanita, mengenal kata-kata yang keluar dari seorang perempuan yang berpenampilan sederhana, memakai rok sekedarnya, baju dan kerudung yang cukup serasi, wanita itulah yang mengisi kekosongan waktu bahkan di luar waktu. Terik siang adalah waktu dimana haruf-huruf itu baru menampakkan wajah dan suara yang mengalun lembut dan sekaligus terasa berat untuk masuk di hati, kemudian di pikirkannya. Mengapa ada perasaan seperti ini di dadaku? tanya dalam hati.   
Matahari pun sangat terang, orang-orang pada pulang beristirahat. Kita berdua melukis kata cinta agar tak lagi menjadi kosong dalam perjalanan ruang dan waktu yang mungkin sangat jauh akan dijalani. Kala itu kita sepakat bahwa kita akan melihat sesuatu yang paling terkecil di dunia ini, karena kita tahu bahwa siapa sangka kobaran yang sederhana dapat membanjiri semesta, begitulah kata-kata pertama kali ketika aku kedatangan perempuan yang berdandan sederhana, seperti anak santri pondok yang tak aku duga sebelumnya. Mungkin itulah yang akan menjadikan kesejatian jiwa. Jiwa yang terus mengembara mencari anak spiritual yang namanya cinta. Karena cinta itu tak kulihat. Apakah sesuatu yang tak terlihat itu adalah kesejatian? Tanyakan pada filsuf, desahnya.     
Hari yang ke tiga belas, kita saling bergandengan tangan, sambil kita tersenyum,melambaikan tangan, alunan suara yang pelan diiringin senyum manis wanita, setiap kali bertemu tebaran senyum selalu menghias bibir tipisnya, pulang di antar, makan berdua, saling suapin. Itulah dampak dari cinta, pikirnya, sambil berpikir sejenak.
Perjalanan terus berlanjut, kita pun harus mengalami dan harus tahu haluan jalan yang selamanya tak lurus seperti yang kita kira, pagi itu dia merasa ada sesuatu yang aku simpan, dia mengira aku tidak menerima setulus hati, dia diajak ketempat kakakku, dia mau, tapi kemauan dia terasa ada keremangan yang menyelimuti perasaanya, di tengah jalan dia berhenti seakan ingin pulang, ada apa, tanyaku, dia tak menjawab, kutarik tangannya kencang, mata memerah seakan darah yang baru keluar dari kulit, sudah! pulang sana!, pulang, pulang, pulang sana! Dia hanya sedikit meneteskan air mata, karena tak tahan dengan kemarahan dan suara yang keras.   
Lalu, dia berbelok wajah menuju jalan raya, kulihat airmatanya membasahi pipi putihnya, betapa aku kasihan, hingga tetesan yang hanya bisa membasahi sekeliling keelokan pipi dan matanya. Dia duduk termenung di pinggir jalan, tak satupun kata keluar dari bibir tipisnya, hanya bunyi kendaraan yang berlalu lalang di jalanan.  
Matahari siang dan asap membuat keringat dan kemarahan semakin menggema di antara kita. Lipatan waktu kala itu, tak kuduga ternyata ada sedikit masalah yang dia merasa was-was pada kesukaanku, menjadi penyair, karena baginya penyair tidak membuat kita bisa bahagia dan waktu akan membuat kita sengsara. Makanya jangan kau kutuk waktu karena akulah waktu itu. Bila kuciptakan air mata kutemukan kelembutan, bila kuciptakan cinta, kutemukan kekosongan, karena kekosongan adalah ruang yang akan membebaskan kita dari luka dan derita yang sungguh amat dalam.
Kita pun sama-sama pulang. Kita merasa kosong. Kekosongan membuat kita kembali merasakan kerinduan yang meninggi. Setelah beberapa hari tak ada kabar. Tiba-tiba dia merasakan kesendirian yang menyakitkan, dia merasa menyesal dan melirik ke aku yang menunggu di balik pintu gapura. Kekosongan dan kerinduan dalam rengkuhan khayal, gugur di tangkap celurit cakrawala. Di waktu yang dingin ia sakit, membiarkan kata berbaur, dari jiwanya selalu bertanya, kapankah perjalanan ini berakhir?, tapi adalah perjalanan yang berakhir, pikirnya. Namun setelah pertengkaran ada nuansa baru yang membua kita harus sadar diri. 
Dalam jiwanya dia berkata: Tuhan aku selalu mengingat-Mu, selalu mencariMu, mengapa engkau tiada tahu bahwa aku sangat merindukanMu. Laksana pujangga cinta, air mukaku yang jernih terngalir karena merindukan buah kata yang tak kunjung kau berkahi.  
Walau hati ini risau dan gelisah, aku semakin dekat pada-Mu, karena engkau adalah jalan untuk mencari huruf dan dawai gitar para pengemis, menjalin puisi indah dan tadahan-tadahan akan pemberian para penguasa. Kebaikan-kebaikan-Mu yang tak terukur, hanya dapat disuguhkan pada suatu jiwa. Jiwa yang kosong dan sepi. Karena kekosongan dapat menciptakan sajak-sajak dahsyat yang membuat jiwa ini merasa puas karena dengan sajak aku mampu merelakan semua tubuh ini menjadi satu denganMu. Dan aku yakin kemenyatuan itu takkan ada makhluk di dunia ini yang mampu menyaingi.
Aku laksana orang yang sedang kehausan di tengah padang sahara yang tak ada satu tempat yang menyimpan air untuk aku minum, aku terus melangkah menelususri tepi-tepi waktu, cinta yang aku miliki tak akan dapat berguna dalam perjalan, kalau hanya kesia-siaan yang menjadi baju dalam mengarungi samudera yang aku jalani ini, walaupun permata dan kekayaan yang aku miliki itu hanya sebuah kebohongan belaka, namun itu semua mustahil bila tiada haruf dan kata yang dapat menjadi wakil dalam perjalanan cinta ini. Karena tujuan aku adalah menghilangkan kesedihan dalam darahku. Agar darah yang mengalir ini tenang.    
Huruf apa lagi yang oleh pencari cinta dan bodoh ini seperti diriku kecuali memperoleh kata-kata yang indah, yang membuat perjalanan menjadi bangga, kata-kata adalah mutiara yang terindah dalam lipatan kitab-kitab-Mu, yang mampu mengisi cakrawala gulita. Maka, jika yang membuat aku tak mampu menulis lagi, maafkanlah aku. Yang jelas menulis adalah darah dan jiwaku.  
Tanpa kata-kata tiada yang dapat aku banggakan kepada generasiku, tanpa kata, apa yang dapat aku warisi dari kahlil gibran selain kelaparan dan kebingungan. Para penyair akan melukaimu jika kesalahan besar hingga langit mengurungku dengan tiada memberi ilham. Sangkar itu membuat diriku seperti kehilangan akal yang bersembunyi di balik kecantikan. Wahai yang Maha Agung, mengapa Engkau mengajariku, walau hati ini retak dan pilu aku akan tetap mengharap kepedulian-Mu, aku tak akan jemu untuk selalu menggerakkan lidahku memohon dan mengharap kata-kata itu lahir. 
Aku hanya bisa berharap semoga matahari tiada kau selipkan dalam malam yang rada-rada kusam. Aku akan mencarinya sampai kaki dan lututku membengkak di atas kalimat-kalimat surga. Karena ketika kalimat itu terjalin rapi dalam hidup, sudah dipastikan penyair besar tidak akan mampu melampaui diriku. Kecuali dia mengaku sebagai Tuhan. Tapi siapakah yang pantas mengaku Tuhan selaian Tuhan sendiri?      
Kadang tak jemu jua untuk selalu berusaha, karena usaha adalah perjalanan, segala cara dia lakukan, nasehat dan petunjuk  kiyai mereka lakukan, setiap malam dia selalu bertahajjud memohon kata-kata itu mengilhami jiwa raganya dan menggetarkan semesta, setiap malam waktunya hanya di isi dengan do’a-do’a memohon agar kata-kata itu menjadi sebuah anak yang lahir dan menjadi buah hatinya, agar cita-citanya terkabul sampai mereka bernadzar kalau itu semua terkabul dia akan selalu bersodaqoh dan bersikap dermawan. Tapi aku yakin itu semua sangat dekat, dekat sekali. 
Ternyata Tuhan berkehendak lain dalam hal ini, mungkin Tuhan mentakdirkan aku sebagai seorang yang sengsara dalam lembah kedamaian, aku terima segalanya dengan hati luka, dan aku terus berusaha untuk selalu mencari cara bagimana buah hati menjadi penghibur lara untuk mengarungi samudera yang sangat amat luas dan indah ini, dengan usaha sekuat tenaga ternyata Tuhan telah mendengar permintaanku, aku dianugrahi sebuah kata, dan kata lahir dari sebuah pergolakan waktu yang aku jalani selama dalam perjalan dan pencarian, setelah kata itu menjadi buah hati dan menjadi milikku, aku beri kata sebuah nama, nama yang akan aku kasih sejak aku ingin mempunyai kata itu sendiri. Dewi adalah nama yang kuberikan pada kata-kata itu. Dia terlahir dalam waktu siang jam dua belas, yang ditemani oleh cinta dan terik menatari.
Perjalanan Dewi  inilah menjalin kisah asmara dalam satu ruang kehidupan, siapa, kapan, dan di mana itulah yang mengisi relung-relung dan memberi macam-macam lembah-lembah keterasingan, namun teman setianya tetap tidak berubah yaitu  Cinta.
Cinta yang kita harapkan dalam mengarungi kehidupan yang penuh curam dan yang pertama kali kita cari di dunia adalah buah hati atau cinta itu sendiri. Itulah hastrat dan tujuan kehidupan, menciptakan samudera yang tak terhingga, di mana jiwa berenang bersama kapal-kapal kecil dan pesan-pesan kecil. Seperti lautan, cinta akan tetap selalu mengasuh dan mendukung setiap perjalanan kami walau kadang cinta itu membuat kita sengsara dan menyakitkan, tapi ia sangat penuh kasih sayang, menawarkan suatu tempat di mana cinta akan membawa kehidupan yang sangat bahagia. 
Cinta kadang juga menciptakan lembah-lembah yang akan dijelajahi oleh aku dan Dewi. Siapa dan apa yang kita cintai pasti akan menyalurkan benang merah dan sebuah inovasi baru yang sangat kuat, karena perjalanan cinta kami sangat menggetarkan, mendekati orang ini atau tidak, mengambil jalan ini atau tidak merupakan awal dari jejak keberlanjutan cinta.
Dengan bimbingan cinta dan kesabaran kita yang sedang mencari, di mana kita menciptakan lemparan makna dan tujuan, di mana bersantai, bermain, serta bersenang-senang dengan buah hati yang baru lahir, Melalui hubungan cinta kita dapat mengenal orang lain dan diri sendiri dalam cermin cinta dan kesadaran kita tetap akan terbawa oleh cinta itu. Kemana pun dan dimana kita berbijak.   
Dengan segala usaha dan getirnya perjalanan yang mereka rasakan, cinta tidak bisa dipisahkan, dalam perjalanan mengarungi samudera dan cakrawala, sebab itulah yang menciptakan apa yang ada dalam benak,  jiwa, hati, dada, perut, atau di mana pun yang dapat membuat kita bahagia dan tenang saat bangun di pagi hari, dengan dampingan buah hati yang lucu. Dengan menyatu atau beriringan dalam singgasana, cinta menjadi daya serta  energi yang menyusupkan makna ke arah tujuan dalam kehidupan mereka, walau kahadiran cinta  tidak bisa di lihat dengan terang hingga hanya mampu mengingat gejolak yang telah terjadi.
Cinta tidak bisa dipisahkan dari ke-ada-an cinta dan manusia yang paling terdalam dalam diri, mungkin begitulah cara cinta mengalami dan menyapa kita, ketika sedang berlibur di hari-hari tenang. Melalui pesan-pesan kecil yang tidak semua orang mampu meresapi dan merasakannya. 
Di kala merasakan kebahagiaan hidup dengan bahagia bersama buah hati dan isteri cantik. Kita dikelilingi oleh apa dan siapa yang kita cintai, memberikan puisi kita tergerai, dan melakukan apa saja yang kita sukai, asalkan perjalanan itu mengarah pada sesuatu yang memberikan manfaat terhadap semua keluarga, dan orang lain, termasuk menjadi seorang yang mencari barang bekas. Sebab Suatu yang tidak mungkin, kalau kita merana dalam kata-kata. Kalau kita masih dan mampu melahirkan untuk mencipta dan berkreativitas dalam diri kata itu sendiri.  
Baginya kata-kata bukanlah hal yang selalu keluar dari lisan seseorang, tapi mencari bekas sampah merupakan kata-kata agung, hal itu tidak banyak orang bisa dan sanggup melahirkan kata-kata yang memiliki makna dan roh, baik pada diri sendiri, keluarga apalagi bagi bangsa dan negara. Maka kita membutuhkan kepekaan dalam kreativitas mencari kata untuk disuguhkan pada diri dan dunia. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura