Mandher Tak Padhe’e Ben Monyena Buja E Attas Cobik




Oleh: Matroni Muserang*


Judul di atas kalau diterjemahkan kira-kira begini “semoga tidak seperti bunyi garam di atas cuek (cobik: madura)”. Bagaimana bunyi garam di atas cuek, semakin lama semakin tidak ada bunyinya karena di aduk. Kalau bahasa Madura ini kita padankan terhadap para calon-calon pemimpin Indonesia ini pas sekali, mulai dari pemilihan kepada desa sampai presiden. Sebelum jadi pemimpin bagaimana para kandidat berkoar-koar untuk memakmurkan rakyat. Berkoar-koar obral janji, namun kenyataannya kosong. Hilang seketika itu juga, seperti bunyi garam, awal-awal keras sekali makin lama, makin hilang, karena sudah halus.
Setelah jadi pemimpin, mainnya pun halus, sehalus garam di atas cuek, siapa yang mau mengamankan proyek ini, ia akan jadi dan kaya sendiri. Rakyat dibiarkan tanpa daya. Dimanakah koar-koar waktu itu? Dimana janji-janji itu? Dimanakah keadilan yang kau janjikan itu?
Maka lahirlah komunitas-komunitas, kelompok-kelompok, dan instansi-instansi berkumpul bermusyawarah untuk menemukan satu visi dan misi kelompoknya sendiri, namun jauh dari apa yang diharapkan masyarakat, wajar jika kemudian kini tokoh masyarakat yang berlomba-lomba dalam mendapatkan kekayaan dengan jalan pintas, misalnya menghutangkan uang pada tetangga dengan bunga yang cukup besar. Ini akibat dari gersangnya jiwa dan pikiran manusia hari ini. Manusia yang pelan-pelan jauh dari dirinya, jauh dari lingkungannya, jauh dari agamanya dan jauh keilmuannya.
Padahal secara kodrat manusia di tuntut untuk selalu belajar. Belajar mengisi pikiran dan jiwa dengan ayat-ayat Qauliyah dan Kauniyah. Mengapa belajar justeru kini dibatasi di ruang-ruang sekolah, di ruang kampus, di ruang pesantren? Artinya apa, belajar sebenarnya dituntut harus ada “keselaluan” terus-menerus tanpa henti.
Ketika seseorang sudah sibuk belajar, maka tidak ada kesempatan bagi kita untuk menilai orang lain. Justeru yang terjadi hari ini banyak orang yang sibuk mengurus orang lain. Menilai orang lain.
Realitasnya hari ini banyak sarjana lulusan pesantren, dan perguruan tinggi, namun mengapa pengetahuannya justeru membuat dirinya mengejar kekayaan materi, jarang orang mengejar barokah (berkat). Padahal barokah ini tidak terlihat kasat mata, barokah adalah sesuatu yang berjalan dibalik fisik (metafisika), namun hasilnya nyata.
Makanya al-Qur’an menyebut riski. Dan riski ini sebenarnya sangat universal maknanya. Riski bisa berbentuk kekayaan materi, pengetahuan, ilmu, dan lain sebagainya. Anehnya ada di antara kita memaknai riski hanya sebatas uang. Untuk itulah tidak menjadi garam di atas cuek hal terpenting di masa-masa kini.
Mempelajari diri sendiri itu lebih penting daripada mempelajari orang lain tanpa amanat dan tanggungjawab. Semoga kita mampu menjadi manusia yang selalu tidak menilai orang lain, namun selalu menjadi penilai diri sendiri. Amin


Banjar Barat, 2 April 2015   


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura