Latar Matahari
Niji adalah sosok yang sensitif emosinya,
dia diam-diam, dan mudah berdebat. Perasaannya sangat peka, ia dikenal seorang
pendiam, catatan hariannya penuh dengan rujukan rasa positif dan khas orang
kampung, resah, gundah, penderitaan, serta kesedihan-kesedihan, hanya itu
ditulisnya dengan penuh gairah, karena ia secara mendalam menghidupi dan
menggeluti jadi diri sebagi manusia. Pun dalam pengalaman yang positif.
Hal ini
dapat dilepaskan dari latar belakang keluarga dan pengalaman hidupnya yang
merupakan faktor penting penentu perkembangan kepribadian dan pandangan
pengalamannya.
Niji lahir
pada 03 Maret 1984 di Sumenep, Madura, kota yang waktu itu banyak kerajaan
berpenduduk kurang lebih tuju ribu orang, sebagai anak bungsu dari tujuh
bersaudara. Tahun tersebut juga merupakan tahun penjajahan Belanda yang
terkenal. Niji tumbuh dalam keluarga kelas menengah ke bawah, ayanya el-Moezany
sudah berumur 54 tahun ketika Dewi baru lahir.
Dengan
sikapnya yang kasar, pendiam, dan serius dalam hal beragam, keras menghadapi
dalam hidup keluarganya. Atmani nama ibu Niji adalah ibu rumah tangga yang
lembut dan setia pada suami. Yang juga di kenal. Beberapa tahun setelah
kejadian itu, anak itu sudah berumur 18 tahun dan di beri nama Niji, pada usia
itu Niji mulai berfikir mempunyai keinginan untuk melakukan perjalanan, saat
itu pula Niji minta idzin kepada orang tuanya.
Bu, aku
ingin berangkat, ya, jawab ibu dengan perasaan sedih, gelisah, resah sambil
mengulurkan tangannya, karena melihat anak kesayangannya ingin pergi dari
rumah, hati-hati di jalan, ayah, aku berangkat, ayah, ya, hati-hati, dengan
nada sendu Kadam ayah dari Niji, selalu berkata pada anak yang di beri nama
Niji: “kamu harus lurus dalam mencari segala sesuatu yang kamu inginkan dan
tidak boleh melanggar hukum agama, aku tidak ridha kalau kamu sampai melanggar
hukum agama” baik ayah, Niji beranjak pertama kali melangkahkan kaki dari
rumahnya. Keadaan rumah pun seketika
sepi, perasaan orang masih sedih.
Di saat
kesedihan itu terjadi, ibu bilang sama Niji, “nak ibu tidak mempunyai bekal
untuk kamu” gak apa-apa Bu, Niji hanya minta do’a sama ibu, agar setelah aku
sampai ke tempat tujuan aku di beri jalan dan kemudahan dalam menghadapi segala
cobaan nanti, karena bagiku do’a adalah kata-kata yang tak akan pernah putus
dan usang dalam mengarungi semesta, selama aku di tempat kewajiban Ibu dan
Bapak bukanlah mengasihani hal-hal yang tak membahagiakan anaknya, melainkan
Ibu dan Bapak haruslah membuat hal-hal itu berguna untuk kita dan untuk orang
lain.
Andaikan aku
adalah orang yang banyak pengalaman dalam hidup ini, apa yang dapat aku peroleh
dari pengalamanku, jawabanku itu tentu berbeda dengan anggapan orang lain,
misalnya ia bisa menjawab di Madura ada banyak petani, bisa saja orang lain
yang pergi ke Madura akan menemukan jawaban yang lain, karena mereka telah
memperluas pengalamannya dalam mengarungi semesta, tentang kehidupan, tentang
manusia, bahkan orang itu akan menjawab dengan pengalaman yang lain.
Mungkin,
aku nanti mempunyai pengalaman lain, aku pasti mempunyai alunan-alunan kata
yang lain pula, ma’afkanlah aku Ibu, dan aku, lalu terhempas pada nuansa ganda,
antara ketakjuban dan ketakmengertian, andaikan lewat jembatan pengalaman aku
tahu tentang matahari, dunia, manusia, tumbuhan, dan lain-lain.
Apakah lalu
aku menjadi bahagia daripada sebelum aku pergi mencari pengalaman atau mungkin
juga tidak ada hubungan langsung antara tahu dan bahagia, bisa saja
pengalamanku malah membuatnya merasa tidak tahu daripada orang lain, hingga
tiada lagi orang lain mempunyai kata-kata yang mengesankan selain pengalaman.
Jika seperti itu mamfa’at pengalaman perlu dipertanyakan, namun, jika aku dapat
memahami keadaan dan pengalamanku secara lebih baik daripada sebelumnya, aku
benar-benar mengambil mamfa’at dari pengalaman itu.
Tentang
pengalamanku, aku hanya dapat berkata: setiap orang atau aku selalu berkata;
pelajarilah makna hidupmu dari cermin pengalamanmu dan perjalanan hidupmu;
pengalaman tiada memastikan kebahagian hidup, tetapi sedikit banyak membantu
memahami mengapa kebahagiaan merupakan salah satu cara untuk memastikan gerhana
matahari, pengalamanku bagaikan cermin yang menampung pergumulan hidup, hidup
yang dipantulkan dari pengalaman akan nampak mencerahkan.
Itulah yang
aku rasakan di tengah jalan, sebelum aku sampai pada tujuan, pertukaran sering
terjadi antara nafsu dan hati nurani. Apakah kamu berangkat mencari dunia baru
hanya untuk sombong, atau tidak?
Pertanyaan
inilah yang sering kali datang menghantui perasaanku, selama aku belum memulai
seperti apa dunia baru itu atau nuansa baru yang aku tuju nanti? Mungkin orang
mengirah bahwa aku pergi untuk mencari pengalaman baru yang pada suatu kala
akan itu sia-sia, atau aku ingin dipandang orang “sok Pintar”. Itu sama
sekali bagiku tidak terbersit dalam benakku, tapi yang ada dalam pkiranku
adalah bagaimana aku tahu dunia luar dan keluasan dunia itu, semata-mata hanya
ingin tahu seberapa luaskah cakrawala
Tuhan di semesta ini.
Sesamapainya
di tengah jalan, aku menemukan keindahan-keindahan yang itu belum aku temui di
kampungku, keindahan jalan-jalan, keindahan pohon-pohon, keindahan
gunung-gunung, dan banyak keindahan yang belum sempat aku catat, tapi ia hanya
sebagai sebuah memori bagi sebuah perjalanan hidup.
Aku melihat
semua yang ada di samping perjalananku, aku hanya berpikir, berpikir dan
berpikir, bahwa inilah sebuah isi dunia ini, yang belum aku ketahui selama aku
ada di kampung halamanku. Paling tidak itulah yang aku rasakan semenjak dalam
perjalanan, di dalam diri berjejolak berbagai perasaan dan pertanyaan yang
tidak dirasakan sebelumnya, mulai sejak aku ingin tahu untuk mencari pengalaman
yang sampai sekarang baru tercapai.
Dari segala
yang aku rasakan adalah sebuah memoar yang akan terjadi lagi pada anak-anak
saya, akan merekam pengalaman yang penuh dengan dinamika di dunia ini,
pergulatan di tengah-tengah pengaruh tradisi yang sering mendominasi jiwa,
kadang akan menyebar ke seluruh sel-sel tubuh ini, di kala aku berpikir
seakan-akan ada yang mencengkeram diri dalam mengarungi makna hidup. Apakah
memang seperti itu ketika seseorang melihat dunia berkembang dengan cepat?.
Bagiku
pengalaman adalah semacam pengantar awal dengan cara yang lain, yang lebih sepi
dan sunyi serta akrab bila disandarkan pada pengalaman-pengalaman yang lain,
yang kadang kala menjadi gersang dan kaku.
Dalam
perjalananku, pengalaman adalah olah-pikir canggih yang sering kali nempel
dalam kehidupan, bagiku pengalaman adalah pintu masuk untuk keluar dari
kungkungan ke-jumudan mencari udara segar dalam memaknai kehidupan.
Perjalanan
ini seakan menjanjikan puisi-puisi yang lebih jernih dan bening untuk mengajak
perjalanan batinku dan untuk merasakan serta mempelajari gairah yang membuat
aku atau engkau berangkat berpetualangan di dunia ini, dan aku atau engkau
berharap perjalananku membuat kehidupan menjadi bahagia untuk terjun dalam
petualangan diriku sendiri, dan orang lain.
Itulah
harapan-harapan dari semua orang khususnya diri sendiri. Bagaimana hidupnya
penuh dengan fasilitas, dari segi materi, sebab untuk saat ini jarang kita
menemukan yang benar-benar tahu dirinya sendiri, kadang mereka tidak sadar akan
dirinya bahwa dirinya atau tubuhnya bukan milik kita, tapi tubuh dan seluruh
anggota badan kita adalah hanya titipan dari Tuhan yang harus dipelihara.
Semua
ini hanya titipan Tuhan kepada kita, untuk dipergunakan dengan sebaik-baiknya.
Sebenarnya dalam hidup ini kita hanya di tuntut untuk sadar, menyari dan
barulah kita akan menciptakan tradisi kesadaran dalam setiap kita dan
masyarakat. Kita memiliki uang banyak, mobil banyak, rumah besar, dan semuanya
penuh dengan fasilitas tapi itu bukan milik kita, walau itu dapat dari keringat
kita sendiri.
Itulah
yang terlihat oleh Niji saat ini, mereka cuek terhadap orang lain, karena
mereka menganggap keringat yang keluar itu adalah dari usaha sendiri tanpa
bantuan orang lain. Dengan kebiasaan seperti itu, maka sudah dipastikan mereka
menghambur-menghamburkan uang, tanpa melihat bahwa masih banyak orang yang
kelaparan, masih banyak orang yang tidak memiliki tempat tinggal, dan masih banyak
orang yang tidak memiliki penghasilan.
Sungguh
zaman mati, mati dari rasa, mati dari kepekaan dan mati semuanya. Niji tambah
sedih melihat zaman semakin berkembang cepat, tapi diri orang lain belum siap
dengan segala dampaknya. Orang semakin terkungkung oleh sesuatu di luar
dirinya.
“Lalu
apa yang harus aku lakukan” kata Niji dalam hatinya.
Aku
sudah tak sanggup lagi untuk memikirkan zaman dan orang-orang, ketika mereka di
kuasai oleh syaitan modernitas, sehingga mereka lupa diri dan lupa orang lain.
Padahal sebaik-baiknya orang adalah orang yang bermanfaat kepada orang lain,
tapi ketika kenyataannya seperti itu, harus bagaimana lagi. Apakah ini sudah
kehendak Tuhan? Atau memang dunia ingin seperti itu? Atau mereka enggan untuk
melihat dirinya sendiri sehingga mengakibatkan kehidupan ini kosong tanpa makna
apa-apa? Atau kita tidak usah bertanya apa-apa tentang mereka ini? Biarkan
mereka berjalan sendiri tanpa sadar kalau dirinya memeliki tubuh dan jiwa?
Komentar