Ketika Anak Menjadi Raja



Oleh: Matroni Muserang*

Kemaren waktu saya menjemur padi (mengeringkan padi) di halaman rumah, tiba-tiba pikiran saya dikagetkan dengan bahasa menantu bapak saya “satea anak daddi rato, area tandana para’ keamat” kalau diartikan dengan bahasa Indonesia bebas bahwa sekarang anak menjadi raja, dan ini pertanda “kiamat” sudah dekat. Bahasa itu lahir ketika melihat ada anak tetangga saya membeli motor baru, sementara kedua orang tuanya kerja ke luar kota dan anaknya dirumah tidak kerja apa-apa, karena anak ini mahasiswa semester akhir.
Berbicara zaman sekarang, tidak bisa dipisahkan dengan perubahan dan gaya hidup yang luar biasa. Perubahan dari miskin menjadi kaya dengan cara apa pun. Di kampung saya misalnya banyak yang keluar kota untuk kerja, padahal di daerahnya banyak yang harus di garap, mulai dari sawah, tegal dan kebun. Anehnya mereka “tidak mau” menjadi petani, padahal petani kata K.H Hasyim Asy’ari sebagaimana dikutip Ahmad Baso dalam bukunya Agama NU untuk NKRI bahwa:

Pendek kata, bapak tani adalah goedang kekajaan, dan dari padanja itoelah Negeri mengeloerkan belandja bagi sekalian keperloean. Pa’ tani itoela penolong negeri apabila keperloean menghendakinja dan diwaktoe orang pentjari-tjari pertolongan. Pa’ tani itoe ialah pembanoe negeri jang boleh dipertjaja oentoek mengerdjakan sekalian keperloean negeri, jaitoe di waktunja orang berbalik poenggoeng (ta’ soedi menolong) pada negeri; dan pa’ tani itoe djoega menjadi sendi tempat negeri didasarkan.

Ketika anak muda menjadi raja, anak minta apa pun jika orang tua tidak menuruti, anak akan memarahi bahkan ada yang dimusuhi. Wajar jika anak muda banyak yang keluar kota, meninggalkan kampung halamannya. Kampung dibiarkan tanpa dirawat, akhirnya karena sudah di kena virus malas untuk ke sawah, tegal dan kebun, maka pelan-pelan kita akan menjualnya. Kalau di kampung harga sawah, tegal dan kebun mahal, tapi tak semahal di kota, jadi wajar jika orang kampung sawah, tegal dan kebunnya di tawar dengan harga yang cukup mahal, maka orang kampung akan sangat senang.
Padahal kalau dipikir, masa depan, kita menjual sawah, tegal dan kebun satu miliar misalnya, tapi uang satu miliar itu kalau dimakan akan habis juga, maka ketika sudah habis uang satu miliar, kita mau kemana? Bertani sawah, tegal dan kebuh sudah dijual, mau ke kota, di kota sudah banyak para pencari kerja. Andaikan kita mau berpikir kampung sawah, tegal dan kebun betapa senangnya kita. Tanpa ada ikatan apa pun.
Itulah kalau kita berbicara perubahan, tanpa berpikir, kita harus berubah. Berubah dalam hal apa? Mengapa kita harus berubah? Pertanyaan ini seringkali tidak muncul dalam diri kita. Padahal berbicara perubahan tentu didalamnya harus mengikutsertakan pikiran, jiwa dan indera. Dalam perspektif keilmuan perubahan tentu mengarah ke paradigma atau carapandang kita, bukan serta merta kita berubah dan ngegaya. Di kampung kita harus berpandangan bahwa sawah, tegal dan kebun merupakan asset yang harus dipelihara dan diperdayakan untuk kepentingan kampung.
Malu untuk ke sawah, ke tegal, ke kebun, kata anak mudah sekarang. Lagi-lagi kurang benar memaknai malu (haya’). Membiarkan kampung, sawah, tegal dan kebun dikuasai orang lain, kita tidak malu, memperkerjkan orang tua kita tidak malu. Aneh sungguh aneh kita hari ini. Sungguh kewalik memaknai perubahan. Memangnya kita belajar untuk apa? Pengetahuan kita untuk apa? Mengapa diwajibkan belajar? Sehingga membuat kita kurang benar memaknai sesuatu.
Alasannya gayaa hidup. Berbicara gaya hidup yang sangat ngeri. Saya sendiri melihat bagaimana seorang tokoh masyarakat ketika tahlilan, istigasah, salawatan, shalat dimasjid yang tidak pernah lupa dengan HP-nya, anehnya diwartu acara dimulai dengan santai mereka menerima panggilan HP-nya, mana lebih penting tahlilan, istigasah, salawatan, shalat dimasjid? Ko seolah-olah lebih penting HP-nya daripada berzikir. Belum lagi bahasa yang so’ tinggi di dengar.
Mereka tidak sadar bahwa gaya hidup yang material itu ada dampaknya terhadap keagamaan kita. Kecuali memang kita tidak mau peduli terhadap keagamaan kita, itu tidak apa-apa. Yang membuat saya berpikir, mengapa yang ngakuna Islam tapi kesehariannya jauh dari nilai-nilai universal keislaman. Dua makhluk yang bernama perubahan dan gaya hidup membuat kita lupa, tidak sadar diri akan makna keagamaan kita. Banyak perselingkuhan, perceraian, dan pertengkaran akibat dari teknologi, ini dengan alasan perubahan dan gaya hidup.
Lagi-lagi anak mudah, karena merasa menjadi santri, mahasiswa, siswa dan guru seolah-olah orang tua berhak diperintah. Di suruh nyuci, di suruh nyari uang, di suruh masak, di suruh nyapuh, di suruh kerja, lalu dimana pikiran dan jiwa  kita dimanfaatkan. Alasannya sibuk sekolah, warnet, game, fb, twitter, tugas, dan lain sebagainya.
Apakah zaman seperti itu merupakan pertanda “Allah sudah mati”? mengapa dikatakan demikian, karena pikiran dan jiwa sudah tidak gunakan untuk menghamba, mengabdi kepada orang tua, justeru orang hanya dijadikan pembantu, dan kita adalah raja yang memerintah. Padahal ridha orang tua, sama persis dengan ridha Allah, kemarahan orang tua, sama halnya dengan kemarahan Allah. Rhoma Irama berkata dalam lagunya jika kau patuh pada rajamu, lebih patuhlah pada ibumu, bukan gunung tempat engkau meminta, bukan lautan tempat kau memuja.
Artinya kita mengabdi terhadap orang tua, sama halnya kita mengabdi pada Allah. Tapi hal ini sudah tidak ada lagi. Saya sendiri tidak mengerti, apa yang membuat mereka berbuat dan berpikir seperti itu? Perubahan dan gaya hidup di dalamnya tidak dipelajari kita menjadi raja bagi orang tua.

Banjar Barat, 18 April 2015  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura