Krisis Paradigma Keilmuan Islam
Oleh: Matroni Muserang*
Begitu cepat dan menggeliat perkembangan
pengetahuan dewasa ini, namun perkembangan ini bukan tanpa problem terhadap
kemanusiaan, baik lembaga sosial, kelompok agama, dan perguruan tinggi di
dunia, khususnya di Indonesia. Berbagai cara dan metodologi dilakukan untuk
mengikuti perkembangan pengetahuan agar tidak dikatakan “ketinggalan” dalam
menyerap pengetahuan yang sedang aktual.
Cara-cara yang dilakukan misalnya
diadakan penelitian, seminar dan menerbitkan buku untuk mendialogkan berbagai
metodologi yang ada, dengan beragam perkembangan dan metodologi, maka sebagai
insan berilmu sudah seharusnya memiliki sikap inklusif dalam menghadapi
perkembangan dan perubahan.
Kasus-kasus kekerasan atas nama agama, paradigma
eksklusif adalah dampak dari ketidakmampuan dalam mendialogkan keilmuan.
Ketidakmampuan mendialogkan inilah sebenarnya krisis paradigma keilmuan Islam
yang kini sudah terlihat jelas di depan mata kita, ada kelompok-kelompok yang salah
kaprah menggunakan Islam sebagai kendaraan untuk mencapai tujuan. Kasus lain,
korupsi, sogok-menyogok adalah salah satu contoh bahwa umat Islam mengalami
krisis keilmuan Islam yang akut, belum lagi ketika berhadapan dengan manusia
yang gila hormat, ingin dipuji (riya’),
gaya hidup, anak pencandu narkoba, kekerasan seksual, manusia yang tidak
mengenal etika, sehingga etika harus di Islamkan, adalah dampak dari orang yang
memiliki ilmu, tapi tidak memiliki pengertian, dengan kata lain, mereka hanya
mampu membaca teks, tapi belum mampu memahami isi teks, dan sekarang adalah
zaman dimana manusia-manusia seperti ini bertumpukan, baik Kiai, mahasiswa,
aktivis, santri, tokoh masyarakat dan masyarakat sendiri.
Belum lagi sifat-sifat yang dengan mudah
menilai orang lain (lho salah, gue benar), tanpa ada upaya untuk mengetahui
lebih lanjut, mudah membenci orang lain yang berbeda, karena pelacur, karena
bodoh, karena bajingan, karena maling lalu kita dengan mudah membenci mereka. Padahal
kalau kita membaca Islam lebih luas dan mendalam, kita tidak boleh membenci
kepada siapa pun termasuk kepada mereka. Ulama dulu justeru menangis mendoakan
mereka yang tercela di mata masyarakat, agar derajatnya di angkat oleh Tuhan,
tapi sekarang kiai, tokoh masyarakat, justeru membenci, mengolok-olok mereka,
seolah-olah mereka musuh yang harus disingkirkan, di buang. Dengan demikian,
apakah Islam yang salah, pasti tidak, tapi manusialah yang salah dalam memahami
Islam.
Mengapa kita dituntut untuk belajar
tafsir, belajar berbagai pengetahuan yang sedang berkembang, agar pengetahuan
kita tidak kadaluarsa, pengetahuan yang kadaluarsa (expired knowleg), bukan hanya status FB, Twitter, BBM, dan lain
sebagainya yang harus di update, akan tetapi pengetahuan kita juga harus di
update. Mengapa keilmuan Islam kita masih tertinggal jauh, salah satu dari
sekian banyak jawaban adalah krisis paradigma keilmuan yang sebenarnya sudah
tertera dalam al-Qur’an dan Hadist, hanya saja umat Islam males membaca dan mendalami keilmuan-keilmuan yang lain, misalnya
tafsir (tafsir bayan karangan Ashobuni dua jilid, tafsir ibnu katsir empat
jilid, tafsir an-nawawi, tafsir bir-ra’yi, dan tafsir-tafsir yang lain),
mantiq, ilmu arut, antropologi, filsafat (hikmah), sosiologi, hermeneutik,
kalam, dan sebagainya. Sudah saatna kita “meninggalkan” kalam klasik, menuju
kalam modern, agar paradigma keilmuan Islam yang kita pahami tidak sempit, sebab
kalau masih sempit akhirnya mereka merasa benar sendiri, merasa dirinya yang
paham Islam, yang lain tidak. Memang sejak kapan Tuhan memberikan mandat kepada
manusia untuk mengkafirkan, memurtadkan, diperangi orang lain? Bukankah Islam
itu hadir sebagai pendamai, Islam hadir sebagai kabar gembira?
Sebagai pendamai, maka semua manusia
baik laki-laki, perempuan, Katolik, Budha, Hindu, Kristen memiliki
tanggungjawab untuk menyebarkan perdamaian, sebagai nilai universal dari agama
langit. Sebagai kabar gembira, ia (Islam) hadir dengan membawa seperangkat
pengetahuan yang kosmopolit-holistik-universal untuk semua makhluk di langit
dan di bumi. Sang pembawa (Rasulullah) tidak pernah membenci siapapun, karena
di perintah oleh Tuhan hanya untuk menyampaikan pesan Islam. Tugasmu hanya
menyampaikan Muhammad, Hidayah itu urusannku, kata Tuhan.
Jadi kalau sekarang masih ada manusia
yang memaksa untuk masuk agama yang berbeda, itulah manusia yang kering untuk
tidak mengatakan mati paradigma. Bukan saatnya kita menyalahkan, membenci,
mengkafirkan orang lain, tapi kini sudah saatnya kita meraup banyak
paradigma-paradigma keilmuan Islam yang lebih modern, aktual, dan transformatif
untuk menjaga nilai-nilai universal Islam yang rahmatan lil-alamin terus hidup
bersama kita, bersama tingkah laku kita, bersama tutur sapa kita, bersama pemikiran
dan jiwa kita dan bersama keseharian kita.
Memperkaya paradigma keilmuan Islam saat
ini penting sekali, agar anak didik, mahasiswa, guru, kiai tidak hidup di dalam
tempurung. Memperkaya paradigma keilmuan Islam juga untuk menjaga roh dan
spirit keislaman agar tidak mati di tengah jalan, agar tidak mati ditengah
peperangan menghadapi perubahan dan perkembangan masyarakat dan teknologi.
Islam juga harus muncul ke permukaan
untuk menjawab perubahan demi perubahan dan perkembangan demi perkembangan,
Islam tidak boleh absen dari percaturan keilmuan dunia yang sedang aktual. Islam
harus ambil peran dalam memperkaya paradigma keilmuan dunia. Caranya adalah
dengan memperkaya cakrawala paradigma keilmuan yang tersimpan di ruang teks
Qur’an, Hadist, Ijma’ dan Qiyas. Cara untuk memperkaya tentu kita harus keluar
dari tempurung yang bau untuk memperkaya semerbak keharuman pengetahuan yang tersebar
dimana-mana, maka dari itulah dialog, musyawarah, dialektika, sharing yang
inklusif, dinamis hal yang sangat urgen bagi insan berilmu hari ini. Mari kita
bersama-sama menjalankan, semoga mendapat ridha Tuhan.
*Penyair-pemikir Sosial-Budaya-Agama, dan mengajar
di Universitas Wiraraja Sumenep.
Komentar