Rasa: Sebuah Rasa Bahasa dan Bahasa Rasa

Oleh: Matroni Muserang*

Esai ini lahir dari pertemuan Penyair Dari Negeri Poci 5 (DNP) di Tegal pada tanggal 20-22 Juni 2014. Di sana saya bertemu dengan penyair Abah Yoyok yang sharing tentang sastra dan puisi dan penyair-penyair dari berbagai daerah. Sebagai penyair kata Abah menulislah dengan hati, dan hati-hati. Rasa dalam hal ini adalah hati/intuisi merupakan perkampungan dimana masyarakat data di olah (diinternalisasi) kemudian dilahirkan ke dunia dengan bahasa rasa. Dan puisi adalah bahasa rasa, sekaligus memiliki rasa bahasa, maka puisi akan berbicara pada hati, pada jiwa, pada kesadaran kemunusiaan, kesadaran moral, wajar jika Abah Yoyok berkata bahwa puisi merupakan gerakan moral, gerakan kesadaran. Gerakan yang berjalan untuk menyadarkan manusian dan kemanusiaan.  
Bedakan rasa, bahasa rasa dan rasa bahasa. Rasa adalah instrument untuk me-rasa, sementara bahasa rasa adalah hasil dari me-rasa atau refleksi dari sebuah rasa, itu bisa saja berbentuk kata-kata, ide-ide segar, pemikiran dan aksi, sedangkan rasa bahasa adalah bentuk dari ide, kata-kata, pemikiran dan aksi di dalamnya berisi kelembutan, kesejukan, kesegaran dan kedamaian. Pertemuan penyair DNP 5 merupakan silaturrahmi kebudayaan yang didalamnya dihadiri dari Manado, Riau, Jakarta, Tanggerang, Bandung, Madura, Padang, Jogjakarta, Brebes, Bumi Ayu. Ini salah satu bukti nyata bahwa pertemuan merupakan cita-cita setiap manusia. Karena dalam pertemuan keilmuan sastra dan penyair merupakan sebuah perkampungan dialektika dari berbagai kebudayaan.  
Dari pertemuan itulah kita akan banyak menemukan ide-ide segar dalam mempertahankan kesusastraan Indonesia, saya yakin masa depan sastra berada di perkampungan pemikiran dari kampung. Sebagai gerakan moral, maka tugas penyair adalah memperhalus pikiran, dan tingkah laku, walau pun hal ini cukup sulit akan tetapi, akankah puisi hanya untuk puisi tanpa ada representasi dan refleksivitas dari puisi yang kita tulis? Puisi yang lahir dari rasa merupakan representasi kehalusan penyair. Lalu dimana posisi penyair sebagai makhluk sosial?
Kita dilahirkan secara otomatis menjadi makhluk sosial, hanya saja bagaimana kita memfungsikan kemanusiaan kita untuk semesta? Penyair memfungsikan dirinya sebagai orang yang peduli pada hal-hal yang tidak banyak orang tahu, hal-hal sederhana. Hal-hal yang sederhana inilah sebagai fondasi epistemologi keilmuan sastra yang harus dipertanggungjawabkan sebagai makhluk sosial. Gerakan moral adalah bagian dari cita-cita sosial yang diemban oleh penyair.
Rasa yang menuntun bahasa rasa dan rasa bahasa juga harus dieksplorasi lebih jauh dan mendalam, sebab tiga ikon (rasa, bahasa rasa dan rasa bahasa) merupakan instrument yang tidak boleh diabaikan oleh penyair manapun, akan tetapi rasa, bahasa rasa dan rasa bahasa akan kurang lengkap jika tidak barengi oleh gerakan intelektual/keilmuan. Gerakan intelektual/keilmuan merupakan instrument untuk menjelaskan dan menganalisis rasa, bahasa rasa dan rasa bahasa dalam dunia keilmuan.
Gerakan intelektual/keilmuan inilah yang akan mengantarkan ke publik bahwa rasa, bahasa rasa dan rasa bahasa memiliki sumbangsih pemikiran dan pengetahuan. Namun kita membutuhkan strategi dan cara untuk meromantiskan dua gerakan ini (rasa, bahasa rasa, rasa bahasa dan intelektual, keilmuan), agar kemesraan diantara keduanya saling berdialektika, ketika keduanya berjalan bermesraan, maka sempurnalah kita hidup sebagai reader respon. Namun kita membutuhkan cara atau metodologi untuk mendialogkan dua konsep ini menurut Abah Yoyok kita harus menjadi reader respons.  
Reader respons merupakan sosok yang memiliki rasa dan bahasa rasa, memiliki jiwa kepemimpinan yang kuat dalam segala bidang keilmuan. Konsep Reader respons akan melahirkan dua gerakan yaitu rasa, bahasa rasa dan intelektual, keilmuan. Setelah kita menjadi reader respons, disanalah posisi gerakan moral seorang penyair. Penting kemudian kita kembangkan konsep ini sebagai bentuk pertanggungjawaban kita sebagai sastrawan. Reader respon merupakan konsep yang universal yang didalamnya ada nilai, media, dialog dan hismet (altruis dan social servis) yang semua saling berdialektika.
Dengan demikian, sastrawan hari ini sudah saatnya memiliki shifting paradigm (pergeseran paradigma) ke arah yang lebih ber-adab. Kalau Pramoedya Ananto Toer mendeklarasikan ke arah sastra revolusioner, wajar karena konteksnya waktu itu penjajahan fisik dan untuk mengimbangi dunia politik. Seperti yang digembor-gemborkan Soekarno “revolusi belum selesai” yang akhirnya kata-kata itu hanya menjadi frase atau pepatah yang menyenangkan hati belaka dan tujuannya adalah menciptakan keadaan sesuatu dengan nilai yang lebih baik lebih berguna. Oleh sebab itu, saatnya kita mengambil nilai universal dari sastra revolusioner itu, yaitu pengetahuan sebagai dasar epistemologi revolusioner, bukan kemudian sastra revolusioner tidak penting. Penting tapi sifatnya lebih pada substansial daripada material.
Tujuan penyair (penyair yang sebenarnya) menulis puisi adalah menjaga nilai universalitas puisi guna membantu mengurangi derajat kesalahan puitik dengan mempertimbangkan nilai etis puisi dalam kehidupan manusia dan kemanusiaan. Akhirnya penyair dalam hidupnya tidak hanya mencatat filsafat puisi, akan tetapi juga harus mampu mendalami dan mencatat filsafat yang lebih puitis. Tentu sastrawan harus memasuki perkampungan reader respons sebagai syarat melahirkan bahasa rasa dan mempertegas gerakan moral yang selama ini dimiskinkan oleh kapitalistik-pragmatis.
Gerakan moral merupakan cara sastrawan untuk menjaga harmoni, menjaga keseimbangan alam, keseimbangan sosial, keseimbangan rasa, bahasa rasa, dan keseimbangan intelektual/keilmuan, makan prinsip ini harus kita perjuangkan sebagai bentuk fresh ijtihad kesusastraan dan sastrawan ke depan. Karena progresifitas sastrawan ke depan akan dipertimbangkan, jadi marilah kita bersama-sama memasuki perkampungan reader respons.


*Penyair.    

    

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura