Puasa, Puisi dan Penyair Sakit Hati
Oleh: Matroni Musèrang*
Sebentar
lagi “umat muslim” mau melakukan ritual puasa, namun secara historis puasa
tidak hanya dilakukan umat Islam, tetapi agama-agama dunia pun melakukan, lalu
untuk apa kemudian puasa itu? Apa hubungannya dengan puisi dan penyair?
Puasa
tak dapat diukur oleh manusia. Dalam puasa “Kita Kembali suci”. Kata-kata
ini menegaskan bahwa ada tirai yang menutupi diri dan jiwa. Akhirnya membuat
kita tak lagi bisa menatap cahaya dengan kejernihan hati nurani seperti karat
yang mentabiri besi tua. Maka penyair yang paham makna puisi, dia akan
merasakan kerinduan budaya yang secara metaforis, merupakan sebuah perkampungan
yang berarti ekspresi kerinduan setiap manusia untuk kembali kepada “aku” yang
sejati. Puasa sebenarnya adalah upaya membersihkan diri (tazkiyatunnafs)
dari kehampaan makna yang memalingkan kita dari suara hati. Sehingga segala
ucapan dan perbuatan seringkali bertentangan dengan rasa keadilan, nilai
kejujuran, dan prinsip kemanusiaan yang holistik-universal. Puasa berarti
kembali kepada rasa penyatuan eksistensial dan kembali mendengarkan suara hati
nurani.
Puisi
kata HB Jassin memiliki makna pengucapan dengan perasaan (intuisi/irfani). Sejuah
mana penyair-penyair mengukur yang perasaannya halus, maka dipastikan etika,
pikiran, dan hatinya akan halus. Puasa cara manusia untuk melatih memperhalus
rohani/intuisi/irfani. Hubungan kedua berada dalam satu wadah yaitu intuisi/irfani
dalam filsafat. Artinya puasa dan puisi memiliki cara untuk memperhalus etika,
akal, indera dan hati. Jadi kalau ada penyair yang sakit hati, berarti dia
tidak paham apa makna puisi yang sebenarnya. Wajar jika puisi-puisi akhir-akhir
ini lebih banyak mengedepankan bahasa, daripada isi.
Puasa
dan puisi sebenarnya ingin memberikan terapi bagi penyair-penyair yang masih
menuhankan kata-kata dan bahasa. Puasa dan puisi, memihak pada kualitas,
karakter dan moralitas, bukan memihak pada kuantitas, tren atau mode, hura-hura
atau pesona popularitas. Makna puasa dan puisi ingin memberikan angin segar, bagi
para penyair salon kata Rendra, untuk mempertimbangkan bahwa menulis cara kita
untuk memberikan pengetahuan kepada orang lain dan membentuk peradaban manusia
yang beradab, maka dibutuhkan cara atau metodologi agar pembaca juga tersentuh
hati dan jiwanya. Kembali pada makna puasa dan puisi yang sebenarnya yaitu
memperhalus hati, jiwa dan pikiran. Puasa dan puisi merupakan tempat dimana
manusia mengolah segala sesuatunya, termasuk kata-kata (puisi) dan pengetahuan.
Mengapa
akhir-akhir ini banyak penyair yang seolah-olah “sakit hati” lalu menulis puisi
dan menerbitkannnya?, penyair salon itu akhirnya harus sakit hari dulu baru
menulis puisi. Wajar jika puisi-puisi yang dihasilkan pun membuat pembaca sakit
hati. Tidak ada pencarian serius dan tidak kreator yang kreatif, wajar jika
Mahwi Air Tawar berkata puisi seperti pohon rapuh, seperti layang-layang,
seperti makanan siap saji, seperti hotline berita harian, akhirnya menuju
gerbang kehancuran, menuju gerbang kematian. Itu realitas puisi kita hari ini. Puisi
yang lahir dari jiwa-jiwa yang sakit. Apakah puisi yang lahir dari penyair yang
sakit masih dikatakan puisi?
Puasa
sebagai ritual yang memang diperintah Tuhan tentu memiliki efek terhadap kerja
kita, kerja pikiran, kerja jiwa/hati, kerja kepenyairan, kerja-kerja yang lain.
Puisi yang isinya adalah alam semesta, seluruh kehidupan, maka perlulah kita yang
mau jadi penyair mengenal, lebih baik, mengalami kehidupan, sehingga tiada yang
luka baginya dalam sifat-sifat jiwa penyair dan lagi harus kata HB Jassin
memiliki pengetahuan yang luas supaya pertimbangan menulis dan jiwa puisi tidak
berat sebelah. Kalau berat sebelah berarti ada yang sakit, untuk itulah
penyakit itu harus kita obati dengan puasa dan puisi. Apa yang sudah menjadi
puisi sebagai dasar bagi penyair, juga harus dijadikan bahan refleksi kualitas
puisi.
Posisi
penyair sebenarnya sangat agung dimata Tuhan, tapi juga sangat buruk dimata
manusia dan Tuhan, jika jiwa penyair tidak jernih bahkan mengotori jiwanya, dan
orang yang mengotori jiwanya, dialah penyair yang dikutuk oleh Tuhan, itulah
penyair sakit. Momentum puasa ini sebenarnya memiliki makna untuk menyucikan
jiwa dan pikiran untuk menjaga tatanan kehidupan manusia dan alam semesta. Ketika
puisi-puisi kita benar-benar jernih, maka kita tidak akan pergi dalam kelam.
Apa yang
dimaksud dengan puisi adalah sesuatu yang lahir lewat rahim imajinasi dan
intuisi atau dengan bahasa lain lewat ketukan-ketukan imajinasi dan intuisi.
Mengapa penulis berkata demikian, karena kalau kita mengatakan akal yang
melahirkan puisi tidak mungkin, karena akal terbatas kata filsuf Prancis Henri
Bergson. Mengapa puasa penting dalam mencarian puisi, karena puasa memiliki
spirit untuk menjernihkan pencarian, memahami puisi dan melahirkan puisi. Sastra
yang baik kata Arief Budiman adalah sastra yang berarti bagi seseorang.
Kita rasa,
setelah cukup lama terperangkap dalam konsep “penyair harus sakit/risau/galau”,
sudah waktunya kita mengembangkan konsep sastra yang lebih kontekstual-progresif-transformatif,
yang bukan hanya menyembuhkan penyakit sombong, tapi kita lebih halus, lebih
kreatif karena di sana kita dapat menemukan ide-ide segar. Hanya dengan sikap
seperti ini saya rasa, kita dapat mengembangkan sastra ke depan kembali lagi ke
bumi yang riil, tidak gelap dan mengawang-ngawan dalam ketororan imajinasi.
*Penyair
Komentar