Puasa: Sebuah Mi’raj Sosial dan Mi’raj Religiusitas
Oleh: Matroni Musèrang*
Kebudayaan selalu ada dalam kehidupan manusia, ia
seperti angin yang keluar masuk dalam tubuh manusia. Dimana pun ada kehidupan,
disitulah kebudayaan ada. Begitupun dengan puasa. Puasa merupakan bagian dari
kebudayaan umat manusia. Ketika kita melakukan puasa, jangan menganggap agama
kita paling benar. Sebab puasa bukan milik pribadi, akan tetapi puasa milik
umat manusia, untuk itulah puasa menjadi sarana untuk lebih memanusiakan
manusia, inilah yang saya sebut sebagai mi’raj sosial. Mi’raj sosial artinya seseorang
mampu melakukan perintah agama lalu mengaplikasikannya ke ruang publik, contoh,
kita tidak lagi membeda-bedakan agama, ras, suku dan budaya, oleh karena itulah
dalam mi’raj sosial, sesama manusia kita sama di hadapan kemanusiaan.
Puasa saya maknai sebagai
perjalanan rohani untuk mi’raj yaitu mi’raj sosial dan mi’raj religiusitas (spiritual),
dari hati yang keras menuju perkampungan hijau yang bernama kesejukan dan
kedamaian. Dua kampung ini kini telah di bakar oleh egoisme pragmatis-kapitalis,
untuk itu saya ingin menjadi tuhan untuk “menghidupkan kembali” kampung
kesejukan dan kedamaian. Dengan puasa sebagai ibu yang melahirkan kesejukan dan
kedamaian. Mengapa puasa? Puasa dilakukan seseorang ketika ingin mendamaikan
hati dan pikirannya dan puasa dilakukan oleh semua agama di dunia.
Oleh sebab itu, Mi’raj sosial penting kita lakukan
untuk mencapai derajat yang tinggi di hadapan manusia dan Tuhan. Sebab Tuhan
menciptakan makhluk dengan tujuan untuk saling mengenal. Saling mengenal
artinya kita diperintah Tuhan untuk selalu membaca, agar kita mengenal. Bagaimana
mungkin kita akan kenal jika kita tidak melihat dan membaca?
Mi’raj sosial ini benar-benar penting di tengah
maraknya masyarakat yang tidak lagi menghargai kemanusiaan. Maraknya masyarakat
yang suka tawuran, suka membunuh, egois, suka saling sikat-sikut, suka mencela
sesama manusia. Maka berlomba-lomba dalam ber-mi’raj sosial sangat penting
untuk menjaga dan menghormati kemanusiaan. Apalagi lagi gencar-gencarnya tuduh-menuduh
di antara para relawan kandidat presiden Indonesia, ada yang memfitnah, ada yang
akan menghancurkan agama, PKI, Yahudi, Kristen, dan lain sebagainya.
Maka betapa sangat pentingnya kita menyadari bahwa
mi’raj sosial sangat mendesak untuk kita lakukan sebagai terapi bagi manusia
yang kurang menghargai manusia dan agama. Apakah dalam sebuah kompetisi kita
harus memfitnah dan meracuni pikiran-hati kemanusiaan dan agama dengan
tuduhan-tuduhan yang tidak benar? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus
bersih-bersih di taman mi’raj (mi’raj sosial dan religiusitas), agar apa yang
menjadi tanggungjawab kita benar-benar berjalan sesuai dengan hati nurani
kemanusiaan.
Kemanusiaan lebih dulu diwahyukan oleh Tuhan
sebelum wahyu-wahyu lain diturunkan, ini artinya betapa sangat dan amat
pentingnya sisi kemanusiaan daripada agama. Agama lahir karena adanya manusia,
maka untuk mengetahui makna agama, harus terlebih dahulu mengetahui makna
kemanusiaan. Agama seluruh dunia menegaskan sebagaimana dikatakan Karen
Armstrong bahwa spiritualitas yang sejati harus diespresikan secara konsisten
dalam tindakan berbagai kasih, kemampuan untuk merasakan bersama orang
lain.
Iqra’ yang pertama kali turun sebelum syarat rukun
agama merupakan bukti nyata bahwa Tuhan lebih mementingkan kemanusiaan
(makhluk) daripada agama. Agama diturunkan jaman jahiliyyah untuk mengatur sisi
kemanusiaan yang tidak menghargai manusia yang lain, maka jika hari ini ada
manusia/tokoh/ulama/pemimpin yang tidak menghargai manusia, berarti sosok itu adalah
manusia jahiliyyah. Sosok manusia yang memiliki akal yang tidak digunakan untuk
berpikir, memiliki hati yang tidak digunakan untuk refleksi, memiliki indera
yang tidak digunakan untuk melihat umat manusia.
Mi’raj religiusitas menjadi penting untuk dijadikan
tempat bagi manusia untuk memanusiaan manusia, moment puasa merupakan cara
untuk masuk ke perkampungan religiusitas. Religiusitas dalam ini adalah bersadarnya
manusia dalam memperjuangkan masyarakat untuk lebih cerdas dan memiliki
cakrawala yang luas dalam menjalani tugas sosial dan tugas agama.
Tugas agama memang berat dan keras. Perkampungan
agama tidak tumbuh dengan sendirinya kata Karen, akan tetapi agama harus di
bina dalam cara yang sama seperti halnya apresiasi seni, musik, dan puisi yang harus
ditumbuhkan. Tugas agama kata Karen lagi sangat mirip dengan seni, yakni
membantu kita hidup secara kreatif, damai, dan bahkan gembira dengan
kenyataan-kenyataan yang tidak mudah dijelaskan dan masalah-masalah yang tidak
bisa kita pecahkan.
Perjalanan sosial dan agama harus saling
bergandeng tangan dalam menciptakan mi’raj sosial dan mi’raj religiusitas. Cita-cita
inilah yang sebenarnya yang ingin kita capai dengan melakukan puasa. Cita-cita
kemanusiaan yang damai, inklusif dan memberi rahmat alam semesta. Hanya di
tangan manusia yang mi’raj kedamaian alam semesta ada. Puasa sebagai jembatan
untuk sampai pada perkampungan mi’raj sosial dan mi’raj religiusitas.
Masyarakat
Reflektif
Dengan
demikian, untuk menjaga mi’raj sosial dan
mi’raj religiusitas dibutuhkan
refleksi yang baik dari kita sendiri. Refleksi ini lahir pembacaan dan nalar
yang baik. Refleksi ini lahir juga dari masyarakat yang sadar, menyadari bahwa
hidup ini tidak hanya sebatas saling fitnah,
saling sikat-sikut, tapi
ada hal yang lebih penting untuk dipikirkan yaitu bagaimana menciptakan
masyarakat yang cerdas untuk mencapai masyarakat yang damai,
makmur dan masyarakat tanpa kelas.
Masyarakat reflektif adalah masyarakat yang memiliki
cita-cita untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas (mi’raj sosial), masyarakat
yang selalu ingin belajar, membaca dan berpikir tentang semesta dan masyarakat
yang memiliki mental komitmen yang baik (mi’raj religiusitas). Masyarakat
reflektif inilah yang diidealkan hari ini. Masyarakat yang akan menghargai
usaha orang lain, menghargai karya orang lain, menghargai pemikiran orang lain,
menghargai keberagaman dan menghargai keberagamaan.
Ketika
masyarakat reflektif terealisasikan, kita akan melihat
masyarakat yang saling hidup damai, berdampingan, saling tolong-menolong, dan
secara otomatis bangsa dan negara
akan makmur.
*Alumnus pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
dan peneliti sosial, agama dan kebudayaan Indonesia.
Komentar