Melawan Manusia Lupa



Oleh: Matroni Muserang

Zaman modern telah mampu membabad habis jiwa-jiwa kearifan lokal. Zaman modern yang ditandai oleh menangnya rasioanalitas dan materialitas, sungguh membuat manusia lupa akan dirinya. Mahwi Air Tawar dalam buku kumpulan cerpen terbarunya Karapan Laut (komodo, 2014) ingin memberikan penyadaran bahwa diri itu hal paling penting. Diri dalam hal ini dalam arti luas yang tidak hanya diri manusia, akan tetapi diri dalam lingkup kebudayaan yang akhir-akhir ini dilupakan atau bahkan sengaja dilupakan.
“Sesuatu yang dilupkan” inilah yang hendak direfleksikan sebagai basis keilmuan yang selama ini menjadi hal yang dianggap jadul oleh manusia modern. Dalam dunia pengetahun, Kearifal lokal selalu menjadi hal terpenting, mengingat pemikiran dunia selalu berangkat dari hal-hal yang sifatnya lokal walau pun dengan pemikiran rasional yang memang sudah menjadi basis metode saintifik. Kearifan lokal kadang dicampuradukan dengan jadul, dan ketinggalan zaman, apa benar demikian?. Sebenarnya banyak para pemikir dunia seperti Eintein, Pauli, Schrodinger, Heisenberg, Eddington, dan Jeans yang basis pemikirannya berangkat dari kearifan lokal. Sebab esensi pengalaman lokal merupakan sejenis pengetahuan untuk memberikan kebenaran, kontak langsung dan mediasi dengan suatu realitas.
Pengakuan tokoh ini sebenarnya ingin membuktikan bahwa pengalaman dari diri sendiri (kearifan) juga memiliki peranan penting dalam memberikan sumbangsih pemikiran dan pengetahuan, namun pengakuan ini terjadi setelah mengalami pergulatan yang luar biasa membabat habis jiwa-jiwa dunia Barat dari kepungan akal atau rasio. 
Zaman modern dan pemikiran modern telah kehilangan satu pusat, satu orientasi, satu tujuan, satu sasaran untuk mencapai satu kebahagiaan dan satu kedamaian spiritual yang bernama “diri” atau kearifan. Artinya tidak ada satu “Tuhan” namun banyak Tuhan yang diciptakan oleh manusia yaitu berhala-berhala modernitas seperti materialisme, hedonisme, dan kapitalisme. Akibat dari menyebarnya zaman modern yang berorientasi pada rasio dan materi inilah manusia mengalami krisis spiritual, krisis pembacaan (iqra’) yang berkepanjangan dan krisis kedirian yang luar biasa membabat habis sendi-sendi kesadarannya.
Proses pergulatan manusia yang serba instan, dan menjalani proses tafsir yang terus-menerus, maka tuhan-tuhan tersebut berlipat ganda, sehingga melampaui hitungan, maka wajar ketika manusia memuja tuhan-tuhan mana saja yang menurut mereka menarik hati, nyaman dan indah, wajar kemudian jika Tuhan merupakan sebuah produk imajinasi kreatif, produk keegoisan, seperti halnya seni dan musik yang sangat inspiratif.
Oleh karena itu, sastrawan dan penyair, budayawan menghadapi krisis “pembacaan” yang mendalam dewasa ini. Umat sastra telah dilanda berbagai persoalah ilmiah filosofis, yang datang dari pandangan ilmiah-filosofis Barat yang bersifat sekuler. Karapan Luat hadir untuk memberikan formula baru atau angin segar dalam percaturan kesusastraan Indonesia. Madura sebagai basis kearifan lokal tampak sekali dari Karapan laut, sebab dari Madura inilah Mahwi Air Tawar memberikan pemahaman yang universal, sebab kalau Madura hilang dari kemaduraannya, Jawa hilang kejawaannya, Sulawesi hilang kesulawisiannya, lalu apa yang bisa kita berikan pada dunia?
Sebab kearifann lokal adalah kekayaan yang mampu memberikan pemahaman baru dan pemikiran baru. Pembacaan yang mendalam dan kritis-lah yang akan mengantarkan kita pada pemahaman. Akan tetapi konsep “baca” akhir-akhir ini sudah mulai di “sepi”kan oleh adanya teknologi yang “meracuni” dan “mencandui” manusia masa kini. Oleh karena itu, karapan laut hadir sebagai teguran terhadap kita bahwa Indonesia masih memiliki kekayaan yang harus dibaca dan direfleksikan sebagai bentuk eksistensi keilmuan. Kita tahu tesis, antis tesis dan sistesis, tapi mengapa kita tidak berani melahirkan teori baru dan pengetahuan baru kata Kuntowijoyo? Salah sebab adalah karena tidak adanya pembacaan dan daya kritis dari manusia Indonesia hari ini. Maka wajar jika hari ini manusia sudah kecanduan dengan produk-produk intans dan hal-hal yang menyenangkan, misalnya Ngegame, Mall, wisata, liburan, tanpa ada daya refleksi yang dalam terhadap apa yang kita lakukan.
Upaya karapan Laut ini untuk mengetuk hati kita bahwa dari kearifan-lah kita bisa menjadi kuat. Dari pembacaan-lah kita bisa menjadi arif. Dari kesadaranlah kita mampu menciptakan inklusivitas. Tapi dari ketidaksadaran-lah “diri” menjadi terlena. Dari ketidakmaun membaca-lah kita akan dibodohi. Dari itu semua pelan-pelan kita akan mati. Bahkan Tuhan akan mati. Karena sudah tampak hari ini Tuhan sudah tidak dipandang penting lagi bagi orang-orang yang mengejar materi.  
Dengan semangat keilmuan dan semangat membaca inilah sastra akan terus berkembang, dan Karapan laut salah satu dari sekian banyak tema, sebab Karapan Laut hanya pancingan pemikiran agar pikiran dan jiwa kita tidak “mati” dan “lupa” terhadap kekayaan ilmu yang berada di hadapan mata kita.
Karapan Laut hadir untuk menyadarkan kita dari ditidurkannya oleh budaya Barat. Karapan Laut ingin memberikan makna dan filosofi hidup bahwa sebelum kita selesai dengan diri sendiri, jangan dulu kita belajar di luar diri kita sendiri. Bagaimana mungkin kita yang belum selesai berdamai dengan diri sendiri mau berdamai dengan orang lain? Maka jawaban Karapan Laut adalah belajarlah pada lingkungan diri sendiri, selesaikan membaca tradisi sendiri, agar kita tidak terjebak oleh budaya orang lain yang justeru membunuhnya. Belajarlah pada teks Karapan Laut. Mengapa harus teks cerpen ini, sebab dari cerpen ini kita belajar lalu mengkritisinya, bukan cerpenisnya yang kita kritik akan tetapi teks cerpen inilah yang dijadikan bahan diskusi lebih lanjut, agar makna yang masih terkandung dalam Rahim kearifan lokal lahir dan kita tahu seperti apa wajarnya.  
Akhirnya mari kita tutup dengan puisi saya: Pohon-pohon perjalanan/bergelar di atas mataku yang kagum/lantaran satu huruf saja/harus kupersiapkan ribuan buku dan refleksi
untuk sampai di batas pengertian yang paling dalam.

Komentar

Unknown mengatakan…
wah mantap tanpa saya membaca karapan laut, saya sudah mengetahui apa isi dari karapan laut. namun rasanya saya rugi jika saya tidak membacanya sendiri.
terimakasih...
Unknown mengatakan…
kenapa judulnya melawan manusia lupa ?? lupa yang seperti apa yang dimmaksudkan kakak

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura