Partai
Oleh: Matroni Muserang
Di
pinggir jalan, di rumah-rumah, sudah penuh dengan bendera, stiker, kalender
bergambar caleg, dengan berbagai macam partai, lengkap dengan visi dan misinya
untuk membangun bangsa Indonesia. Mereka rela mengeluarkan uang triliunan,
miliaran rupiah untuk meraup dan mengemis suara pada rakyat, sehingga mereka
menang di pentas perpolitikan. ada caleg yang blusukan datang ke rumah warga
mendatangi rakyat miskin, rakyat yang teraniaya. Ada juga rumah sakit yang
sudah menyiapkan ruang-ruang khusus bagi caleg yang tidak menang, karena sudah
menjadi kebiasaan ketika caleg kalah mereka stress, bahkan ada yang mengadu tak
rela jika dirinya kalah. Rela menyuap hakim untuk menang. Begitulah pesta,
begitulah politik, begitulah yang terjadi di bangsa yang punya banyak agama
ini.
Secara
definitif partai adalah kelompok, golongan politik, pesta, atau barang. Kalau
artinya demikian, apa hubungannya partai dengan uang. Apakah memang benar bahwa
partai membutuhkan duit untuk mengemis suara pada rakyat? Kalau benar, maka
bisa dikatakan bahwa rakyat ternyata juga membutuhkan uang. Lalu apa
hubungannya rakyat dengan uang? Kalau rakyat butuh uang masuk akal, karena
rakyat punya penghasilan yang kadang tidak cukup makan setiap harinya.
Sementara partai sudah penuh dengan uang.
Artinya
ketika partai penuh dengan uang, karena yang namanya pesta pasti membutuhkan
uang. Apalagi ini pesta sebuah politik yang kata mereka sebuah jalan untuk
memakmurkan bangsa. Artinya secara mutlak untuk mensejahterakan rakyat dan
Negara harus dengan partai. Apakah benar seperti itu? Kalau benar apa dasar
epistemologinya?
Partai
adalah sebuah jalan untuk menjadi pejabat Negara, pemimpin Negara, wakil
rakyat. Tapi tidak semua para caleg paham apa makna partai dan politik? Mereka
hanya sekedar menyalonkan diri tanpa ada gagasan apa yang mau diberikan kepada
rakyat. Ketika para pejabat Negara sudah tidak punya gagasan, sudah dapat
dipastikan bangsa yang dipimpinnya akan berjalan di ruang hampa, di ruang
gelap, di ruang bayang-bayang.
Akhirnya
ketika sudah lolos dan menang, maka posisi tersebut dijadikan alat atau usaha
untuk meraup uang sebanyak-banyaknya, baik dengan yang baik maupun dengan cara
curang. Namun kebanyakan dari elit politik bermain curang yaitu dengan korupsi
dan bermain anggaran. Korupsi terjadi salah satu penyebabnya adalah tiadanya
nalar, tiada nurani, tiadanya gagasan yang cemerlang dari mereka. Kalau pun ada
gagasan, kadang gagasan dijadikan alat untuk meraup suara dari rakyat dengan
janji gagasan yang memang selama ini terjadi di kalangan kandidat partai.
Ketika
ketiadaan terjadi pada para elit politik yang katanya politikus adalah
sosok negarawan yang merasa bisa mengurus Negara, namun pada akhirnya mereka
benar-benar harus meraup uang sebanyak-banyaknya sebagai pengganti waktu menjadi
kandidat sudah mengeluarkan triliunan rupiah untuk membeli suara. Akhirnya pada
tahun 2014 ini, banyak rakyat yang tidak percaya pada para caleg-caleg yang
penuh janji kosong. Yang lebih aneh lagi ada caleg-caleg yang tidak mau turun,
pada sudah jelas-jelas tidak mampu mengurus bangsa bahkan mereka tidak punya
malu, dirinya sudah punya cacat masih saja menyalonkan diri untuk menjadi
pemimpin bangsa ini. Lalu manusia apa yang seperti itu? Itu jelas manusia yang
nalar tidak berjalan, terutama nalar kemanusiaan dan ketuhanan yang maha esa
(sila pertama).
Memang
kemana nalar tersebut? Sudah mati di makan spirit untuk meraup uang
sebanyak-banyaknya dari kekayaan bangsa ini. Lalu partai benar-benar sebuah
rumah yang penuh dengan emas, permata, bunga, makanan yang lezat karena itu
merupakan sebuah pesta besar dari elit politik bangsa ini. Itulah gambaran
perjalanan partai di negeri ini.
Komentar