Berjalan di Atas Tanah Sosial yang Gersang



Oleh: Matroni Muserang*

Kehidupan terus berjalan, sesuai dengan perubahan sosial (social change) dan dinamika kehidupan pun selalu mengarah pada perubahan, begitulah kehidupan selalu berubah. Ketika kehidupan berubah, masyarakat pun pasti berubah, pemikiran pun pasti juga berubah, maka lahirlah kitab-kitab, teks, dan cara pandang yang beragam, pemikiran yang beragam, masyarakat yang beragam, itulah yang disebut dengan dinamika kehidupan.
Ketika keberagaman sebuah keniscayaan dan kita sebagai manusia tentu harus menjadi manusia yang “beragam” dalam melihat dinamikan tersebut. Kita harus memiliki inklusivitas dalam melihat fenomena sosial, keberagaman sosial, dan keberagamaan sosial. Dari perubahan-perubahan tersebut pasti memiliki zaman. Karena manusia merupakan anak semua zaman. Zaman Klasik yang di tandai dengan lahirnya pengetahuan dari mitos. Zaman pertengahan yang ditandai dengan pengetahuan berpusat di tangan agama. Zaman modern yang ditandai dengan pengetahuan berpusat pada akal dan indera. Zaman postmodern yang ditandai dengan pengetahuan lahir dari akal, indera dan hati, namun zaman postmodern ini masih menjadi tanda Tanya besar (lilhat;postmodern).
Dalam tulisan ini saya ingin merespon zaman yang mengagung-agungkan akal dan indera yaitu zaman modern. Semua pengetahuan jika tidak masuk akal dan tidak bisa di indera, itu bukanlah pengetahuan, akan tetapi halusinasi, khayalan, ilusi. Wajar jika akal (rasio) dan indera benar-benar dijadikan alat paling ampuh dan alat utama dalam mendapatkan pengetahuan.
Masyarakat modern biasanya selalu berjuang untuk mengejar materi sebagai alat kebahagiaan, alat kesenangan, alat untuk mencapai segala sesuatu. Materi adalah satu-satunya alat untuk mencapai apa yang diinginkan manusia. Uang sebagai alat untuk membeli ilmu, membeli kekuasaan, membeli hokum, membeli wanita, membeli harga diri, membeli kebohongan bahkan alat untuk membeli pembunuhan. Di sanalah akal berperan aktif sebagai segala bentuk ukuran. Dan indera merupakan pencipta materi dan bentuk-bentuk kebahagiaan, dengan cara liburan, pergi ke mall, dan melakukan hal-hal yang sifatnya indera dan materi.
Dunia digital yang di usung juga oleh modernitas sudah mampu membuat pola pikir dan nalar kita semakin sempit, akal bisa di setir dengan digital dengan berbagai cara digital akan terus menjajah akal dan hati. Biasanya masyarakat yang seperti ini tidak memiliki prinsip hidup dan prinsip pengetahuan. Prinsip hidupnya hanya ikut-ikutan, baik dari pakaian, HP, cara hidup, cara makan, cara tidur, semuanya ikut pada kebanyakan orang. Akhirnya terciptalah masyarakat candu, masyarakat tukang, masyarakat pengemis dan masyarakat reflektif, di bawah ini akan saya refleksikan satu persatu dengan cara saya dan menurut saya.

Masyarakat Candu
Masyarakat candu adalah masyarakat yang dalam hidupnya hanya ikut-ikutan. Atau masyarakat yang hanya sukanya pada warung-warung yang buka 24 jam. Masyarakat ini diciptakan oleh modernitas. Masyarakat candu biasa kalau tidak ngopi, tidak PS-an (ngegam), tidak nonton, biasanya gatel, artinya hal itu sudah menjadi keinginan masyarakat candu. Kita lihat bagaimana sosok manusia ketika kecanduan apa pun, dia pasti tak ingin melakukan apa pun saja untuk mencapai apa yang diinginkan itu.
Bagi masyarakat candu hal yang terpenting dalam hidupnya adalah hal-hal yang sifatnya sementara, berwaktu. Misalnya PS-an 24 jam, bahkan lebih, ngopi tiap hari dan malam, yang diobrolkan hanya persoalan-persoalan sepele. Dan biasanya masyarakar candu ini kalau ditegur tidak pernah menghiraukan, karena sudah nyaman. Nah kenyamanan ini sebenarnya dicipta oleh digital yang merambah pada akal kita, artinya digitallah (game dan TV) yang mendekti kehidupan kita.
PS-an dari jam 7 pagi sampai jam 3 dini hari, setelah itu tidur sampai jam 10 pagi, bangun langsung megang stik PS dan bermain sampai jam 3 dini hari lagi, itu potret anak muda yang kecanduan. Bagaimana masyarakat candu yang secara umum, sebenarnya sama yaitu dengan wisata, liburan, ke pantai, artinya masyarakat candu akan gelisah ketika tidak melakukan hal itu semua. Jadi waktu hanya di isi dengan hal-hal yang sifatnya sementara, kesenangan sesaat.

Masyarakat Tukang
Dengan banyaknya sekola-sekolah SMK ini merupakan tanda bahwa siswa/I akan dididik dengan hal-hal yang sifatnya matematik. SMK tidak akan mengajari pengetahuan yang sifatnya nalar, SMK hanya berbatas 1 + 1= 2. Maka wajar jika lulusannya hanya kerja, kerja dan kerja. Bukan lantas saya tidak sepakat dengan kerja, akan tetapi kerja yang tidak menghargai nalar, waktu dan proses itulah kerja masyarakat tukang. SMK merupakan produk sekolah modern yang memiliki orientasi materi an sich.  
Adalah SMK diperbanyak menjadi 60% dan SMA dibatasi 40% realitas ini menunjukkan bahwa lulusan SMK secara substansial akan mencetak manusia-manusia tukang, pemuda tukang, bangsa tukang dan masyarakat tukang. Mengapa? Di SMK akan dipelajari pelajaran yang sifatnya teknis, praktis matematis, penuh dengan rumus-rumus, instan, siswa harus patuh terhadap rumus yang ada. Tidak dipelajari ilmu pengetahuan yang sifatnya holistik-universal dan inilah bedanya dengan SMA, maka tidak heran kalau di perguruan tinggi juga banyak mahasiswa yang berorientasi pragmatis, hanya ingin mendapatkan ijazah an sich. Tidak menutup kemungkinan jika bangsa ini menjadi “masyarakaat tukang” dan para pemimpin tukang.
Wajar jika para pemimpin kita hanya sibuk dengan kepentingan dirinya sendiri, partainya sendiri dan sakunya sendiri, sehingga yang ada dalam otak pemimpin kita adalah gaji bahkan gaji pun tidak cukup, maka mencuri dengan cara membuat proposal, program dan anggaran. Ini ada hubugannya dengan masyarakat pengemis yang akan saya tulis di bawa ini.
Kalau saya melihat mengapa mereka korupsi? Karena mereka PA (pendek akal) karena nalar yang mereka pakai adalah nalar yang sempit. Iya SMK akan melahirkan para pemimpin yang memiliki nalar matematis, nalar pencuri, dan melahirkan mental-mental yang kropos, padahal hidup tidak bisa di ukur dari 1+1= 2. Akhirnya terciptalah masyarakat tukang, tukang tipu, tukang curi, tukang ngeseks, tukang ngapusi, tukang janji, tukang membuat proposal palsu, tukang membuat ijasah palsu, tukan membunuh.

Masyarakat Pengemis
Masyarakat pengemis lahir dari masyarkat tukang. Proposal itu adalah bentuk yang sangat halus untuk meminta suatu bentuk benda berupa uang dan lainnya. Masyarakat dituntut untuk membuat proposal untuk meminta uang dan meminta bantuan. Maka wajar jika ada bencana alam, masyarkat hanya menunggu bantuan, tanpa ada upaya sendiri, di sana kemandirian hilang.
Ketika kemandirian masyarkat hilang, akan berdampak pada hilangnya kemandirian para pemimpin. Pemimpin tidak akan pernah berpikir serius mengenai rakyatnya jika memiliki mental candu, mental tukang dan mental pengemis. Anehnya ketiga mental ini diamini oleh penguasa dan masyarakat kita hari ini yaitu dengan banyaknya masyarakat yang selalu mengedepankan uang.
Masyarakat akan memilih jika dirinya di kasih uang, rumahnya di renovasi, hidupnya ditanggung, tanpa berpikir dan membaca sosok yang dia pilih. Di sini iqra’ dalam al-qur’an sudah terlihat minim, bahkan iqra’ pun sudah mulai dihilangkan dari masyarakat pengemis.
Akankah kita akan menghapus konsep iqra’ dalam al-qur’an? Matinya iqra’ di ini akan terjadi ketika masyarakat tidak memiliki nalar yang baik, tidak memiliki cara pandang yang progresif, tidak memiliki nalar reflektif. Mungkinkah konsep-konsep yang ada dalam al-qur’an dan kitab-kitab agama-agama dunia akan mati? Misalnya konsep kamanusiaan, keadilan, HAM, pemimpin, moral, filsafat, dan lainya?

Masyarakat Reflektif
Dengan demikian, untuk menjaga dari “kematian” tersebut dibutuhkan refleksi yang baik dari kita sendiri. Refleksi ini lahir pembacaan dan nalar yang baik. Refleksi ini lahir juga dari masyarakat yang sadar, menyadari bahwa hidup ini tidak hanya sebatas wisata, liburan, ngopi, mall, dan Game saja, tapi ada hal yang lebih penting untuk dipikirkan yaitu bagaimana menciptakan masyarakat reflektif untuk mencapai masyarakat yang damai, makmur dan masyarakat tanpa kelas.
Masyarakat reflektif adalah masyarakat yang memiliki cita-cita untuk menciptakan masyarakat tanpa kelas, masyarakat yang selalu ingin belajar, membaca dan berpikir tentang semesta dan masyarakat yang memiliki mental komitmen yang baik. Masyarakat reflektif inilah yang diidealkan hari ini. Masyarakat yang akan menghargai usaha orang lain, menghargai karya orang lain, menghargai pemikiran orang lain, menghargai keberagaman dan menghargai keberagamaan.
Ketika masyarakat refleksi terealisasikan, kita akan melihat masyarakat yang saling hidup damai, berdampingan, saling tolong-menolong, dan secara otomatis bangsa dan Negara akan makmur.

*Filsuf

Komentar

Unknown mengatakan…
mantap sekali
membantu aku dalam mengerjalakn tugas.....
semangat kakak ok...

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Tari India Yang Sarat Spiritualitas