Menata Ulang Penggalan Sastra


Oleh: Matroni Muserang*
Judul ini saya sengaja ambil untuk merespon buku 33 tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia yang saat ini hangat bahkan memanas. Saya membaca berbagai komentar atau respon dari para pembaca sastra cukup panas bahkan tidak mengarah pada sastra sebagai ilmu, tapi mereka (komentator) lebih pada person. Atau dengan bahasa lain berkutat di ranah wilayah-wilayah yang kemudian membuat kita terperangkap oleh ritualitas parsial. Padahal kalau kita berbicara tokoh, latar belakang intelektual menjadi penting untuk dilihat.
Lahirnya kontropersial yang dipicu oleh buku 33 tokoh sastra mereka masih berdebat dalam ruang katak dalam tempurung, atau bakecot, artinya masih membawa identitas intitusi yang ranahnya sempit. Tapi hal ini sudah menjadi keniscayaan dalam dunia keilmuan. Perdebatan di ranah keilmuan memang penting, tapi kalau perdebatan ini terperangkap dengan saling menuduh, saling menyecam, saling bodoh-membodohkan dan saling-saling yang lain, maka itu bukanlah sosok yang cerdas dalam membaca wacana dan keilmuan.
Walau pun buku ini tidak mencatat semua tokoh sastra Indonesia, apakah itu salah? Salahnya dimana? Karena ada tokoh yang lebih tua tidak di catat, Umbu Misalnya? Saya kira bukan di sana letak permasalahannya. Buku ini lahir hanya untuk memberikan serpihan pemikiran atau serpihan biografi yang memang tidak akan sempurna. Bagaimana mungkin satu buku mencatat semua tokoh sastra Indonesia. Padahal buku ini jelas mencatat 33 bukan 100, bukan 200, lantas dimana letak permasalahannya?
Tapi dunia keilmuan memang seharusnya demikian, ada yang menulis, ada yang mengkritik, mungkin buku ini hanya pancingan bagi kita bahwa sastra yang selama ini dianggap mengalami kelesuan? Sehingga dengan lahirnya buku ini para pembaca sastra akan bangun dari tidur panjangnya. Danny J.A yang digembor-gemborkan sebagai sosok yang tidak pantas atau sosok yang kurang berpengaruh. Saya harus melihat berpengaruh dalam hal apa dan dimana? Pertanyaan ini penting kita sadari sebagai bagian tak terpisahkan dari perjalana keilmuan sastra.
Alangkah baiknya kalau kita berpikir lebih universal lagi tentang sastra daripada ribut-ribut tentang satu tokoh tersebut. Karena buat apa kita berpikir satu tokoh sementara sastra-nya dihilangkan bahkan di bungkan dengan kepentingan-kepentingan. Maka saya kira penting untuk berpikir bagaimana mengintensifkan gerakan-gerakan modernisme ke puncak baru, pemahaman baru atau cara pandang baru yang lebih menyengarkan seperti yang diperjuangkan oleh Federico de Onis (1998) untuk menciptakan puisi komtemporer.
Saya melihat lahirnya buku 33 tokoh sastra ini sebagai bagian dialektika keilmuan sastra untuk menciptakan paradigma yang lebih progresif. Se-ditokoh-tokohkan seseorang kalau dia masih berpikiran sempit, dia akan muntah dengan hadirnya wacana baru apalagi kalam baru atau sastra modern.
Bukan saatnya kita berdebat persoalan-persoalan tokoh, tapi mari kita berpikir bagaimana menciptakan sastra yang lebih kontekstual, agar kita sebagai penjaga perjalanan sastra tidak terperangkap oleh rayuan-rayuan parsial dalam berpikir kesusastraan. Apa kita tidak ingin berpikir sastra kosmopolitan? Bagaimana sastra menjawab persoalan sosial? Karena sejauh ini sastra tidak hanya berbicara persoalan sastra sebagai tokoh yang diperdebatkana akan tetapi bagaimana sastra sebagai pemikiran yang mampu melihat secara universal.
Maka ketika ada dua kubuh pertama 33 tokoh berpengaruh dan kedua kubuh yang mengecam, maka dimana posisi sastra? Dimana pemikiran sastra? Maka marilah kita menjadi modern bersama sastra. Penting kemudian kita melihat dan membaca dengan kritis “generalitas sastra” bukan parsialitas sastra. Karena universalitas nilai dalam sastra lebih penting dari sebuah buku dan perdebatan. Di sinilah dibutuhkan sastrawan (sastrawan yang sebenarnya) yang memiliki tugas dan berpikir untuk menermukan cakrawala baru (new horizon) yang sesuai dengan zaman yang terus berkembang ini.
Salah satu penyair yang memiliki pemikiran luas adalah Odysseus meninggalkan kantornya dan berjalan, mencari pengetahuannya dari Gilgamesh sampai di Amerika dan menulis puisi yang diberi judul Telegram karena baginya urusan manusia menjadi perhatian utama, lalu kembali ke Washington Olson menulis Melville dan membela Pound (Fredruc Jameson) ini mandakan bahwa perdebatan saling menyikat memang tidak penting. Lalu bagaimana dengan perdebatan kosong yang terjadi terhadap buku 33 tokoh sastra paling berpengaruh di Indonesia? Mungkin para komentator itu masih belum keluar dan belum berpikir universal dalam menciptakan sastra yang lebih menyegarkan.
Maka tidak heran kalau sastra Indonesia belum kalau boleh meminjam istilah postmodernisme belum berpikir fiksi-fiksi komtemporer yang sebenarnya lebih penting. Atau sastra kita terjerumus pada budaya yang mistik tantangan (nonchallance) sehingga terputus dari perjalanan dan perkembangan pemikiran sastra dunia. Maka penting kita belajar dari para penyair Black Mountain yang memiliki spirit dari Charles Olson yang telah menemukan kembali semangatnya (1998) dan semangat Pynchon di bidang sastra?
Saya kira sastra Indonesia harus belajar dari dunia Internasional dengan upaya untuk menempatkan sastra kembali ke tampuk keluasan dunia, artinya bukan saatnya sastra kita berjalan di ruang-ruang sempit. Ini salah satu cita-cita sastrawan yang cerdas dan memiliki imajinasi ke depan. Saya tidak tahu apa yang ada dalam imajinasi komentator itu misalnya Saut Sitomorang atau Katren dan koment-koment pedas lainnya yang tidak setuju dan tidak suka dengan terbitnya 33 tokoh sastra Indonesia paling berpengaruh.
Kalau lahirnya buku 33 tokoh sastra paling berpengaruh terjebak pada keganasan ideologi (ideological truculence) dan kesia-siaan, terperangkap dalam kegenitannya sendiri, maka tidak heran kalau buku 33 tokoh sastra paling berpengaruh telah menjadi cemoohan, penuh nafsu akan kesenangan dan ketidakpercayaan yang remah (trivial disbeliefs). Dengan demikian, biarkan apa saja buku ini lahir karena bukan otoritas manusia untuk menghakimi, akan tetapi biarkan sejarah yang menjadi ruang dialektika yang terus-menerus. Selamat berpikir.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura