Maulid dan Kebudayaan
Oleh: Matroni Muserang*
Maulid dan Rasulullah tidak akan lepas dari perubahan sosial (social
change). Maulid dan Rasulullah tidak akan pernah lepas dari kebudayaan. Maulid
dan Rasulullah tidak akan pernah lepas dari kemanusiaan, ketika seperti itu, Maulid
dan Rasulullah sangat membutuhkan ruang atau konteks dimana Maulid dan
Rasulullah berbicara tentu makna pun pasti berbeda. Ketika demikian, mengapa
harus ada saling menuding, saling kafir-mengkafirkan, saling sikat di antara
sesama manusia dan sesama muslim? Apakah seperti itu makna Islam?
Pertanyaan ini mengajak kita untuk menyadari bahwa pikiran dan pemikiran
saling berpaut untuk menciptakan kedamaian. Menciptakan dialog yang cerdas dan
mencerdaskan kemanusiaan.
Sudah dapat dipastikan semua umat Islam setiap bulan Maulid merayakannya, karena
bulan ini merupakan bulan dimana manusia yang bernama Nabi Muhammad Saw ada
untuk umat manusia. Tidak heran jika umat Islam menyambutnya dengan bershalawat
ria untuk mengagungkan Nabi Muhammad Saw. Nabi terakhir nabi sebagai penutup
nabi-nabi dan nabi yang mampu menyebarkan ajarannya sampai separuh dunia. Ada
apa dibalik keberhasilan Nabi Muhammad Saw? Apakah benar semata-mata karena
Allah, tanpa ada campur tangan nabi sendiri atau para sahabatnya?
Kalau hanya semata-mata Allah, maka Nabi tidak menghargai kemanusiaan. Tapi
Nabi tidak memiliki sifat seperti itu, justeru Nabi Muhammad sangat menghargai
manusia, bahkan orang non-Islam pun Nabi sangat menghargai dan menghormati. Artinya
Islam yang dibawa Nabi Muhammad bukan untuk membuat kerusakan dan kekerasan,
akan tetapi Islam datang di tangan Nabi adalah untuk mengajak pada keselataman
(aslama), keselamatan artinya menjaga tatanan makhluk hidup di
dunia agar selamat dari kerusakan.
Jadi kalau ada kelompok atau instansi yang mengajak pada kerusakan dan
kekerasan atas nama agama, itulah kelompok yang kurang paham akan makna maulid,
islam dan Nabi Muhammad. Saya sepakat apa yang dikatakan Ulama Madura, Jawa
Timur bahwa anta syamsun, anta badrun, anta nurun fauqa nur.. pringatan maulid
nabi tidak berhenti pada hiruk-pikuk kegiatan seremonial formal belaka, namun
harus ada upaya untuk menggali sisi spiritual peristiwa tersebut untuk
selanjutnya dimaknai secara kontekstual yaitu meng-update kembali pemahaman
kita tentang Rasulullah dan bagaiamana kita meneladani sifat-sifatnya serta
mengaktualitasasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
Membaca pesan ulama di atas betapa ada tuntutan dan pemaknaan yang lebih
mendalam, siapa Rasulullah? Mengapa kita harus bershalawat? Mengapa Allah juga
bershalawat? Makna mencari makna di balik konsep maulid ini penting untuk
menjadi fondasi epistemologi keislaman yang selama ini runtuh dan mengalami
kelesuan berpikir.
Berpikir, membaca dan memaknai konsep maulid betapa sangat penting di
tengah hiruk-pikuk ritualitas yang sifatnya formal. Kadang formalitas akan
membawa kita pada sebentuk “kekosongan” makna, karena yang dibaca bukanlah apa
yang ada di balik formalitas, akan tetapi yang dirasakan adalah formalitas itu
sendiri. Maka Hiedegger (2003) bilang bahwa bukan hanya kesadaran material yang
harus kita baca, akan yang lebih penting adalah kesadaran akan sesuatu yang ada
di balik Ada. Apa dibalik Ada tersebut yaitu kesadaran makna yang tersimpan
dibalik Ada.
Maulid kalau hanya dirayakan, tapi kita tidak menyadari kehadiran orang
yang kita rayakan (Rasulullah), lalu apa makna maulid itu? Apakah hanya sebatas
ritualitas saja kita membaca shalawat? Maka ajakan ulama Madura tersebut
benar-benar kritik yang tajam kepada umat Islam hari ini sudah tercerabut dari
akar ke-tauhid-annya. Maka dari itulah kita tidak akan mampu memaknai konsep
tauhid, maulid dan Rasulullah kalau hanya sibuk dengan ritualitas formal. Untuk
itulah ritualtias kontekstual itu penting kita dijadikan bahan pertimbangan dan
renungan jangkan panjang agar bulan maulid ini pada akhirnya hilang.
Sebab tidak menutup kemungkinan maulid ini akan hilang jikan kita
merayakannya hanya sebatas kulitnya saja, karena sesuatu yang bernama kulit
akan membuat kita bosan, maka ketika kita mengalami kebosanan di saat itulah
kematian maulid akan ada dan terjadi. Untuk menjaga kematian maulid, kita harus
paham roh maulid itu sebagai roh yang terus dihidupkan, dijaga dan dihormati
oleh manusia. Dari sinilah kita akan paham bahwa nilai dari sebuah ritualitas
maulid nabi penting.
Buat apa kita ber-maulid jika sifat, tutur sapa, dan keseharian tidak
bermaulid? Buat apa kita ber-maulid jika hati kita tidak bermaulid? Buat apa ber-maulid
jika pikiran kita tidak bermualid? Maka tawaran ulama Madura dan Heidegger
penting untuk kita baca lebih dalam dan serius. Kata Heidegger ketika hidup ini
carut-marut dengan globalisasi dan hiruk-pikuk metropolis sering menyeret kita
menjadi nomad pemuja tubuh (materialitas, kapitalitas) petarung kapital, atau
penjilat kekuasaan. Kita tidak lagi mencandra yang mistis. Jati diri terlupa,
dan hidup menjadi banal, tanpa makna.
Menghidupkan kembali tatanan spiritualitas, transendentalitas dalam ruang
dialog (khiwar) kemanusiaan, dialog pemikiran dan dialog pemahaman agar
maulid ini mampu menciptakan formula yang menyegarkan dan mendamaikan. Sebab
maulid kalau tidak memiliki makna untuk pikiran, hati kita maka di saat itulah
maulid mengalami kematian. Penting kemudian maulid ini dimasukkan dalam rongga
terhadam diri kita, pikiran dan hati kita agar pikiran dan sifat kita tidak
hanya merasa benar sendiri dalam memahami maulid dan Rasulullah.
Dengan adanya konsep maulid ini tidak kemudian hanya di bulan maulid saja
pikiran, hati dan keseharian kita yang ber-maulid, akan tetapi bagaimana setiap
hari, setiap bulan dan tahun maulid menjadi penegur kehidupan agar lebih baik.
Komentar