Matinya Budaya Kontemporer di Indonesia
Oleh: Matroni Muserang*
Berangkat dari
sensitifitas kegelisahan bersama, para budayawan dan sastrawan Indonesia ketika
melihat para kandidat pemimpin bangsa Indonesia yang tidak sadar akan budaya
kreatifitas bangsanya sendiri, seperti per-film-an, seni rupa, tari, musik, sastra,
dan teater yang bisa menjadi nilai tambah dalam perjalanan ekonomi.
Boediono dan
teman-temannya misalnya mengatakan reformasi perjakan adalah perlu. Tapi mereka
ketika berbicara jati diri bangsa sama sekali tidak menyentuh masalah yang
sangat substansial bangsa kita bagaimana pentingnya reformasi perpajakan untuk
mengembangkan kebudayaan dan kesenian kontemporer di Indonesia.
Padahal
setahun yang lalu sudah di beri peringatan oleh sejumlah budayawan yang
mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Direktorat Pajak. Mereka
mengusulkan Undang-Undang Pajak lebih memberikan keringangan pajak bagi
perusahaan atau organisasi nirlaba yang mensponsori acara kebudayaan. Realitas
ini selalu terjadi di Indonesia ketika ada acara pentas budaya dan pentas seni.
Artinya pemerintah memang kurang mendukung dalam pengembangan kebudayaan
Indonesia. Apakah ini karena dari kandidat pemimpin bangsa kita rata-rata
memang belum ada keinginan atau strategi khusus untuk mengembangkan kesenian
modern?
Tentunya
dengan melihat itu semua siapa nanti yang terpilih menjadi pemimpin bangsa agar
mendorong sektor swastanya giat mendanai kesenian Indonesia sendiri. Pejabat
kita masih berbicara kebudayaan tari-tarian daerah. Mereka tidak sadar kalau
ada seni kontemporer. Bahkan Ignas Kleden menganggap visi kebudayaan para
kandidat calon presiden masih kuno. Mereka masih melihat kebudayaan sebagai
warisan yang harus dipelihara.
Kalau kita
lihat ketiga kandidat memang jauh dari kesenian. Budayawan Radhar Panca Dahana
melihat Jusuf Kalla, yang latar belakangnya pegadang, dari sononya jauh dari
seni. Ada pun SBY, meski bisa membuat lagu, pemahamannya tentang kesenian
sangat normatif. Apa lagi Megawati, lebih jauh ketimbang keduanya (Tempo/3/7/09).
Mereka memahami kebudayaan hanya berdasarkan memori personal antara dia dan
ayahnya, Soekarno, yang memang mencintai kesenian.
Kematian
mereka terlihat jelas kata Radhar ketika para pemimpin tidak mengetahui
perkembangan kebudayaan saat ini sudah sampai mana? Sampai tahap apa, dan a apa
kesulitannya? Sangat mengherankan ketika mereka berbicara visi ekonomi, tidak
menyinggung industri kreatif. Mereka tidak buta bahwa Singapura kini menjadi
memacu dirinya untuk menjdi parameter kesenian kontemporer Asea. Pemerintah
Singapura mendirikan National Art Council (NAC). Setiap tahun Nac bekerja sama
dengan Singapure Tourism Board menggelar Singapore Art Festival yang
mendatangkan kelompok tari, musik, dan teater avant garde seluruh dunia (Tempo/3/7/09).
Mereka
bermabisi untuk menjadi pusat seni rupa Asia. Pemerintah memberi izin untuk
merehab gedung klasik mahkamah konstitusinya menjadi Galeri Nasional, setara
dengan Museum of Modern Art (MoMA) New York. Dalam bidang warisan budaya,
mereka mendirikan Museum of Asian Civilization, yang secara regular menggelar
pameran-pameran artefak dari seluruh Asia. Indonesia dimana?
Sebagai contoh
Korea Selatan yang sangat mendorong industri kreatif film. Bahkan menteri Kebudayaan
dan Pariwisata kita, Jero Wacik tidak mengerti festival film untuk apa, ini
sangat lucu, masa’ menteri kita bloon. Bahkan di masa menteri Jero Wacik
kebudayaan bukan berkembang malah tamba termarginalkan, karena Departemen
Kebudayaan ditempatkan bersama Departemen Pariwisata. Padahal yang lebih baik
secara intelektual kebudayaan disatukan dengan Departemen Pendidikan.
Selama ini
pemerintah selalu membuat regulasi untuk mempersulit perkembangan kesenian di
Indonesia. Sebenarnya ada banyak komunitas yang memiliki semangat untuk mengembangkan
kesenian di tanah air, dan seperti birokrat antusias, tapi prosedurnya
pelaksanaannya sangat dipersulit. Sama sebenarnya dengan tidak mendukung
perkembangan kesenian. Indonesia sudah tidak peduli bahkan tidak menyediakan infrasruktur
untuk latihan dan pertunjukan seni kontemporer.
Ketikan di
dalam negeri saja pemerintah kita tidak memiliki visi kebudayaan, apalagi
diplomasi kebudayaan kontemporer kita di luar negeri. Ingris misalnya memiliki
British Council untuk mempromosikan kebudayaan kontemporer di dunia
internasional. Belanda memiliki Erasmus. Jerman memiliki Goethe. Jepang
memiliki Japan Foundation. Dan Indonesia seharusnya memiliki pusat kebudayaan
Indonesia di luar negeri yang fungsinya sama seperti Goethe, Erasmus, dan
Brtish Countil.
Tapi mimpi
masih jauh, jauh sekali. Kita pasti tidak memiliki uang. Kaau mau di korupsi
pasti punya uang. Pemerintah sama sekali tidak memiliki reaksi untuk diajak
dalam menyemarakkan dan berpesta kebudayaan kontemporer. Sampai saat ini yang
bermasalah adalah tetap atasan-atasan kita yang tidak memiliki selera tentang
kesenian kontemporer. Sampai detik ini, kita berharap, hanya bisa berharap,
presiden terpilih mau memilih duta besar dari kalangan cendekia yang mengerti
budaya dan seni kontemporer.
Kita masih
ingat dan mungkin kita harus sadar, Negara seperti Cile pernah menempatkan
penyairnya, Pablo Neruda, sebagai atasan kebudayaan. Juga Meksiko yang
menugaskan penyairnya, Octavio Paz, sebagai duta besar di India. Jadi intinya pilihlah
presiden yang minimal memiliki kepekaan terhadap kebudayan dan kesenian walau
pun presiden terpilih tidak dari latar belakang seni bahkan tidak suka seni,
yang penting memiliki rasa seni sedikitnya melihat seperti apa seni dan apa
fungsinya.
Sumber: Minggu Pagi
Minggu III Juli 2009
Komentar