Ketika “Kematian” Memangsa Kita
Ketika ilmu ada, dan manusia juga ada, maka yang tercipta adalah
keberagaman. Disinilah ada tuntutan bagi manusia untuk saling bersama, saling
memahami dan saling berdialog untuk menghidupkan kemanusiaan dan keilmuan. Salah
satu tujuan menghidupkan kemanusiaan dan keilmuan adalah pemikiran atau ilmu. Maka
yang hidup hari ini dan selanjutnya adalah ilmu dan manusia. Ilmu merupakan
cara Tuhan untuk memberikan wahyu kepada manusia. Jadi kalau ada manusia yang
tidak menghargai ilmu dan manusia, maka dia tidak sudah mati dalam keadaan
hidup.
Untuk tidak mati dalam keadaan hidup, maka ilmulah yang menghidupkan, maka
carilah ilmu kata Nabi. Ilmu dalam hal ini menjadi roh kehidupan yang mampu
membuat manusia seharusnya saling mengenal, bukan saling menuding satu sama
lain, agar tidak terjadi benturan beradaban kata Hantington atau tasadumul
khudur.
Misalnya saling tuding antara penyair dengan penyair (Danny J.A dan Saut Sitomorang, Katrin dan lainnya),
antara politisi dengan politisi (baca; korupsi), antara sesama agama dengan
agama (baca: kekerasan atas nama agama). Lalu bagaimana cara untuk mendamaikan
tudingan hal itu? Mungkin itu bagian dari penyakit mental kita hari ini, yang
setiap detik disuguhi oleh hal-hal instan, pragmatis, materialistik, dan zaman
kapitalistik, apalagi dengan perkembangan teknologi yang sudah mampu membangun
mental anak muda. Sehingga tidak heran kalau mental, pemikiran dan cara membaca
manusia hari ini diukur oleh teknologi. Maka lahirlah intelektual teknologi,
intelektual yang terbatas pada dunia digital, tanpa menghargai sisi proses
dialog dan wacana pemikiran yang terus berkembang. Inilah yang disebut kematian
sudah memangsa kita. Lantas masihkah kita ingin berjalan di lorong kecil dan gang-gang
yang sempit? Sementara cakrawala keilmuan begitu tak terbatas diciptakan Allah.
Esai ini ingin mencoba memberi cara pandang yang lebih universal, untuk
memikirkan masa depan kemanusiaan dan keilmuan yang saat ini berada dalam ruang
krisis mental, krisis pemahaman dan krisis keilmuan, krisis-krisis inilah yang
membuat kematian memangsa kita. Maka kita harus paham dan mau membaca dengan
kritis. Karena senjata kita hanya ilmu, untuk mendapatkan ilmu kita harus
membaca, kalau ada manusia, apalagi mahasiswa yang tidak suka membaca, jangan
harap masa depan bangsa kita akan makmur dan menjadi bangsa yang baik. Karena
dengan membaca kita akan paham konsep kemanusiaan (insaniyah),
kebudayaan (khadara) peradaban (staqafah) dan kehidupan (hayat)
yang harus saling berdialog (khiwar) satu sama lain.
Untuk apa kita butuh dialog yaitu untuk saling mengenal (al-taruf),
saling mengerti (al-tafahum), saling menyayangi (al-tarohum),
solidaritas (al-tadhamon), dan saling hidup bersama (al-ta’ayusy).
Inilah cara untuk menghindari kematian dalam keadaan hidup. Apakah kita mau
mati sementara badan kita masih hidup? Seperti pohon yang tak berbuah. Puisinya
mati sementara penyairnya masih hidup. Sungguh delimatis menghadapi zaman uang
sekarang ini, menulis bukan untuk tujuan keilmuan, akan tetapi menulis hanya
untuk menerbitkan buku, dan setelah terbit tak memiliki ide besar yang ingin
ditawarkan. Buat apa?
Dibutuhkan sebuah cara atau metodelogi untuk masuk dalam dunia pemikiran.
Bagi saya pemikiran lebih penting daripada sekedar “debat kosong” saling
justifikasi, saling menghakimi tanpa ada dasar epistemologi yang jelas. Maka ilmu
(sastra, agama, budaya, politik, ekonomi dan lainnya) harus dibaca secara
kritis dan waspada, tidak kemudian di telan mentah-mentak teks tersebut. Allah
memberikan akal dan hati untuk ditugaskan dan difungsikan bukan untuk
menyalahkan orang lain, tapi untuk menyelamatkan manusia. Jadi kalau kita hidup
atas nama keilmuan dan kemanusiaan, saya yakin dunia ini akan damai.
Maka metode di atas penting untuk kita terapkan di ranah apa pun termasuk
budaya, agama dan sastra, apalagi hari ini yang sedang panas-panasnya, sebab
tanpa ada upaya yang lebih serius dalam belajar dan membaca, pendidikan
Indonesia tidak akan maju bahkan akan terus terbelakang dan jumud
sejumud-jumudnya, itu akibat dari kalam klasik yang masih dipakai sampai hari
ini. Sekarang bukan saatnya kita berdebat masalah keimanan, ketuhanan, akan
tetapi bagaimana masa depan kemanusiaan dan masa depan keilmuan (sains) yang
sebagian orang di anggap bit’ah dan tidak diperlukan.
Kita memiliki tanggungjawab kemanusiaan, bukan tanggunjawab keimanan,
karena keimanan bukan urusan manusia, maka berjuang atas nama kemanusiaan dan
keilmuan lebih penting daripada berjuang atas nama agama dan keimanan. Sebenarnya
inilah yang harus kita perhatikan, agar tidak terjadi kekerasan atas nama
agama, kekerasan atas nama pribadi dan kekerasan atas nama kebenaran pribadi.
Maka dibutuhkan pemahaman yang kosmopolitan, holistik-universal, agar
pikiran kita tidak bergerak dalam tumpurung. Dari sinilah dibutuhkan
keterlibatan sosial kata Tariq Ramadhan. Sosial servis, pengabdian, sains
modern kata Fathullah Gulen untuk keluar dari partikularitas dan melihat
fenomena sosial yang lebih universal. Dari itulah kita tutup esai ini dengan
puisi saya:
Misteri di Ujung Puisi
Di tengah kemaruk kekeringan// kau tulis segala yang tak berdampak// kita
mesti harus kembali dan pergi// mencari dentuman yang tak berkerut//lewat
tepian sejarah yang bergelorah dalam dada.
Kita harus berdiri di seberang waktu// menciptakan kerinduan yang maha
baru// dan penggalan-penggalan waktu yang tak selesai kita sapu.
Matahari selalu terbit di cakrawala yang tak henti-henti menyinari segala
jiwa// menuntun penggalan-penggalan// menuju ujung puisi// di puncak paling
dingin// aku gemetar menunggu cahaya// lantaran misteri tak jua ada.
Komentar