Ketika “Kematian” Memangsa Kita




Oleh: Matroni Muserang*
Ketika ilmu ada, dan manusia juga ada, maka yang tercipta adalah keberagaman. Disinilah ada tuntutan bagi manusia untuk saling bersama, saling memahami dan saling berdialog untuk menghidupkan kemanusiaan dan keilmuan. Salah satu tujuan menghidupkan kemanusiaan dan keilmuan adalah pemikiran atau ilmu. Maka yang hidup hari ini dan selanjutnya adalah ilmu dan manusia. Ilmu merupakan cara Tuhan untuk memberikan wahyu kepada manusia. Jadi kalau ada manusia yang tidak menghargai ilmu dan manusia, maka dia tidak sudah mati dalam keadaan hidup.
Untuk tidak mati dalam keadaan hidup, maka ilmulah yang menghidupkan, maka carilah ilmu kata Nabi. Ilmu dalam hal ini menjadi roh kehidupan yang mampu membuat manusia seharusnya saling mengenal, bukan saling menuding satu sama lain, agar tidak terjadi benturan beradaban kata Hantington atau tasadumul khudur.
Misalnya saling tuding antara penyair dengan penyair (Danny J.A dan Saut Sitomorang, Katrin dan lainnya), antara politisi dengan politisi (baca; korupsi), antara sesama agama dengan agama (baca: kekerasan atas nama agama). Lalu bagaimana cara untuk mendamaikan tudingan hal itu? Mungkin itu bagian dari penyakit mental kita hari ini, yang setiap detik disuguhi oleh hal-hal instan, pragmatis, materialistik, dan zaman kapitalistik, apalagi dengan perkembangan teknologi yang sudah mampu membangun mental anak muda. Sehingga tidak heran kalau mental, pemikiran dan cara membaca manusia hari ini diukur oleh teknologi. Maka lahirlah intelektual teknologi, intelektual yang terbatas pada dunia digital, tanpa menghargai sisi proses dialog dan wacana pemikiran yang terus berkembang. Inilah yang disebut kematian sudah memangsa kita. Lantas masihkah kita ingin berjalan di lorong kecil dan gang-gang yang sempit? Sementara cakrawala keilmuan begitu tak terbatas diciptakan Allah.    
Esai ini ingin mencoba memberi cara pandang yang lebih universal, untuk memikirkan masa depan kemanusiaan dan keilmuan yang saat ini berada dalam ruang krisis mental, krisis pemahaman dan krisis keilmuan, krisis-krisis inilah yang membuat kematian memangsa kita. Maka kita harus paham dan mau membaca dengan kritis. Karena senjata kita hanya ilmu, untuk mendapatkan ilmu kita harus membaca, kalau ada manusia, apalagi mahasiswa yang tidak suka membaca, jangan harap masa depan bangsa kita akan makmur dan menjadi bangsa yang baik. Karena dengan membaca kita akan paham konsep kemanusiaan (insaniyah), kebudayaan (khadara) peradaban (staqafah) dan kehidupan (hayat) yang harus saling berdialog (khiwar) satu sama lain.
Untuk apa kita butuh dialog yaitu untuk saling mengenal (al-taruf), saling mengerti (al-tafahum), saling menyayangi (al-tarohum), solidaritas (al-tadhamon), dan saling hidup bersama (al-ta’ayusy). Inilah cara untuk menghindari kematian dalam keadaan hidup. Apakah kita mau mati sementara badan kita masih hidup? Seperti pohon yang tak berbuah. Puisinya mati sementara penyairnya masih hidup. Sungguh delimatis menghadapi zaman uang sekarang ini, menulis bukan untuk tujuan keilmuan, akan tetapi menulis hanya untuk menerbitkan buku, dan setelah terbit tak memiliki ide besar yang ingin ditawarkan. Buat apa?
Dibutuhkan sebuah cara atau metodelogi untuk masuk dalam dunia pemikiran. Bagi saya pemikiran lebih penting daripada sekedar “debat kosong” saling justifikasi, saling menghakimi tanpa ada dasar epistemologi yang jelas. Maka ilmu (sastra, agama, budaya, politik, ekonomi dan lainnya) harus dibaca secara kritis dan waspada, tidak kemudian di telan mentah-mentak teks tersebut. Allah memberikan akal dan hati untuk ditugaskan dan difungsikan bukan untuk menyalahkan orang lain, tapi untuk menyelamatkan manusia. Jadi kalau kita hidup atas nama keilmuan dan kemanusiaan, saya yakin dunia ini akan damai.
Maka metode di atas penting untuk kita terapkan di ranah apa pun termasuk budaya, agama dan sastra, apalagi hari ini yang sedang panas-panasnya, sebab tanpa ada upaya yang lebih serius dalam belajar dan membaca, pendidikan Indonesia tidak akan maju bahkan akan terus terbelakang dan jumud sejumud-jumudnya, itu akibat dari kalam klasik yang masih dipakai sampai hari ini. Sekarang bukan saatnya kita berdebat masalah keimanan, ketuhanan, akan tetapi bagaimana masa depan kemanusiaan dan masa depan keilmuan (sains) yang sebagian orang di anggap bit’ah dan tidak diperlukan.
Kita memiliki tanggungjawab kemanusiaan, bukan tanggunjawab keimanan, karena keimanan bukan urusan manusia, maka berjuang atas nama kemanusiaan dan keilmuan lebih penting daripada berjuang atas nama agama dan keimanan. Sebenarnya inilah yang harus kita perhatikan, agar tidak terjadi kekerasan atas nama agama, kekerasan atas nama pribadi dan kekerasan atas nama kebenaran pribadi.
Maka dibutuhkan pemahaman yang kosmopolitan, holistik-universal, agar pikiran kita tidak bergerak dalam tumpurung. Dari sinilah dibutuhkan keterlibatan sosial kata Tariq Ramadhan. Sosial servis, pengabdian, sains modern kata Fathullah Gulen untuk keluar dari partikularitas dan melihat fenomena sosial yang lebih universal. Dari itulah kita tutup esai ini dengan puisi saya:
Misteri di Ujung Puisi
Di tengah kemaruk kekeringan// kau tulis segala yang tak berdampak// kita mesti harus kembali dan pergi// mencari dentuman yang tak berkerut//lewat tepian sejarah yang bergelorah dalam dada.
Kita harus berdiri di seberang waktu// menciptakan kerinduan yang maha baru// dan penggalan-penggalan waktu yang tak selesai kita sapu.
Matahari selalu terbit di cakrawala yang tak henti-henti menyinari segala jiwa// menuntun penggalan-penggalan// menuju ujung puisi// di puncak paling dingin// aku gemetar menunggu cahaya// lantaran misteri tak jua ada.  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura