Refleksi Sastra Akhir Tahun Bertanya pada Sastra

Oleh: Matroni Muserang*

Gagasan, ide atau pemikiran adalah sebuah harta kekayaan. Tidak hanya itu sastra juga memberikan daya cipta, yang membuat manusia bebas dan merdeka. Dalam arti inilah sastra sungguh merupakan suatu pembebasan yang melepaskan kita dari berbagai belenggu kesementaraan.
“Pemikiran” inilah yang akhir-akhir ini jarang kita temukan dalam antologi puisi Indonesia. Bukan tanpa alasan mengapa penyair (penyair yang sebenarnya) membukukan puisi, tapi alasan apa kemudian yang membuat penyair membukukan puisinya? Keberanian misalnya, memang kita tahu apa kebenaranian itu? Kalau mengutip tulisannya A. Setyo Wibowo (BASIS/2010) keberanian adalah keutamaan yang inspiratif, Setyo juga mengutip Ivan Gobry dalam bukunya (Le vocabulaire grec de la philosophie, 2010) bahwa keberanian dalam bahasa Yunaninya andreia (fortitude, Latin) merupakan bentuk kata benda feminim dari kata sifat andreios (di ambil dari aner-andros yang artinya lelaki).
Keutamaan keberanian pada awalnya memang merujuk pada sifat lelaki yang bertempur di medan laga. Dalam perkembangannya, keberanian dilepaskan dari konteks medan tempur dan dengan demikian dari sifat kelelakiannya dan diartikan lebih sebagai keteguhan jiwa memilih dan bertindak demi kebaikan. Tidak mudah memiliki keutamaan ini, karena siapa pun yang ingin disebut pemberani mesti menunjukkan dirinya mampu melawan kebatilan. Dalam hierarki keutamaan yang di buat Platon, keberanian akan ia letakkan di antara Sophia (kebijaksanaan, yang kepemilikannya disebut episteme) dan sophosune (ugari, dari kata akar kata sophron yang artinya berhikmat, mampu mengendalikan tingkah lakunya (Ivan Gobry: 2010).
Artinya alasan keberanian dalam menerbitkan puisi dalam bentuk buku, yang harus dipertimbangkan adalah ide. Ide apa atau pemikiran apa yang mau diberikan kepada pembaca. Saya kira penyair yang sudah berani membuat buku puisi tentu sudah ada pertimbangan yang holistik-universal, baik dari ide, maupun kemungkinan penafsiran orang, agar tidak terjadi apa yang dikatakan Kuswaidi Syafi’ie bahwa penulis sekarang puisinya sudah mati, tapi orangnya masih hidup. Inilah bedanya dengan penulis dulu. Penyair harus dulu berjuang di media, setelah harus di bahas oleh empu-empunya penyair, baru penyair tersebut menerbitkan antologi puisinya. Sekarang yang penting punya uang, selesai. Lalu dimana letak tanggungjawab penyair, jika targetnya hanya buku dan popularitas? Tapi bukan gagasan baru, formula baru yang kemudian membuat pembaca tertarik untuk merefleksikan dan menjadikan puisi sebagai inspirator hidup.
Maka sastra seharusnya menjadi inspirator bagi pembaca. Kita kenal bahkan sudah membaca Mohammad Iqbal, Rumi, al-Farabi, Ibn Arabi, Rabi’ah, Pram, Goenawan Muhammad, Ghandi, Inayat Khan, Chairil Anwar, Rendra, Kuntowijoyo, dan lain-lain, mengapa karya mereka masih segar dan selalu memberi inspirasi bagi pembaca? Itu karena gagasan besar yang tersimpan dalam karya-karyanya, sehingga mampu bertahan oleh serbuan waktu dan ruang. Makanya refleksi-filosofis ini penting dilakukan bagi para penyair, agar karya yang dihasilkan tidak hanya di bedah diberbagai tempat setelah itu habis untuk tidak mengatakan mati.
Keberanian saja tidak cukup, akan tetapi kebenaranian harus diiringi dengan gagasan yang besar, refleksi yang terus-menerus (kontinuitas). Itulah mengapa karya sastra mampu memberikan jawaban atas kerisauan sebuah bangsa? Saya kira inilah tanggungjawab kita untuk selalu terus membaca dan belajar. Sastra (sastra yang sebenarnya) tidak lahir dari kekosongan, akan tetapi sastra lahir dari kompleksitas pembacaan dan kompleksitas pergulatan kreator dalam berpikir dan berimajinasi. Dibutuhkan proses yang sungguh-sungguh dalam membaca dan berkarya.
Maka ketika mental dan pikiran di bentuk oleh teknologi, ketergantungan kita pada yang Maha dan pengetahuan (sains) akan semakin berkurang, contoh, ketika mental dan pikiran tidak lepas dari PS-an (Game), maka jangan harap kita akan memiliki tradisi membaca dan menulis yang baik.
Dan hari ini tradisi ngegame sudah mendarah daging, artinya apa, krisis membaca, belajar dan berpikir sudah di kuasai oleh teknologi. Jadi tidak heran kalau pemikiran, pembacaan generasi mudah hari ini bahkan ke depan hanya berjalan di ruang-ruang sempit, di pojok-pojok tubuh PS. Di ruang-ruang teknologi, main-main, dan wisata an sich. Kita tertegun-tegun bahkan kagum dengan ide modernitas, globalisasi, kapitalisasi, materialitas, tanpa mempertanyakan ada apa dibalik ide-ide besar itu dan mengapa ide ini lahir, dalam rangka untuk menjawab apa ide ini lahir. Tiba-tiba kita mengamini dan menjalani tanpa sadar bahwa kita di dekti oleh ideologi orang lain. Dimana identitas pemikiran kita?
Bukan saya tidak mau dengan ide tersebut, setidaknya kita belajar dari ide-ide besar itu. Mengapa mereka mampu melahirkan ide-ide besar, mengapa kita tidak? Seolah-olah kita berada di ruang ambivalensi. Seharusnya kita harus memiliki posisi yang berbeda untuk melahirkan ide besar yang kemudian kita tawarkan kepada publik, bukan malah kita memakan ide orang lain tanpa kritis dan refleksi.
Dengan demikian, saya ingin bersama-sama di akhir tahun ini saling tegur sapa, dialog dan sharing pengetahuan, karena saya sendiri harus belajar banyak dari para penulis dan penyair. Mari kita tutup dengan puisi saya “Dimana aku harus belajar”: aku tahu Indonesia ada, tapi ada apa di balik Indonesia? Disanalah aku harus belajar/aku tahu agama ada, tapi ada apa dibalik agama? Di sanalah aku harus belajar/aku tahu puisi ada, tapi ada apa dibalik puisi? Disanalah aku harus belajar/ aku tahu manusia ada, tapi ada apa dibalik manusia? Di sanalah aku harus belajar/aku tahu Barat dan Timur, tapi ada apa dibalik itu? Di sanalah aku harus belajar.
 
Sumber: Suara Merdeka, 29 Desember 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura