Refleksi Akhir Tahun Sastra, Anti Liberalisme VS Liberalisme
Oleh: Matroni Muserang*
Menyikapi
polemik yang terjadi tahun 2009, antara Taufik Ismail yang anti liberalisme vs
Hudan Hidayat yang liberalisme, itulah realitas sastra Indonesia selama satu
terakhir. Begitulah perjalanan para sastrawan tua yang masih berdebat masalah
etika sastra. Tapi ada yang lebih menarik yaitu perkembangan sastrawan muda
saat ini dalam melemparkan karya-karyanya untuk publik tanpa mempertimbangkan
kuliatas. Ini sangat naïf sekali. Kalau Taufik Ismail dan Hudan masih berkutat
untuk menentang masalah ideologi tapi mereka berdua masih mampu untuk
menyingkap kuliatas karya mereka sendiri, artinya mereka menulis sebuah karya
sastra bukanlah untuk menjelek-jelekkan sastra kita ke depan, tapi mereka
berdebat untuk memperkenalkan diri bahwa sastra tua masih eksis sampai saat
ini.
Kalau pun Taufik
menjustifikasi ada gerakan syahwat itu hal biasa, sudah tidak dapat dipungkiri
lagi bahwa syahwat Negara Indonesia memang demikian, Indonesia lebih
mementingkan syahwat daripada etika, walau Taufik Ismail untuk menentang bahkan
melenyapkan itu, saya yakin sangat tidak mungkin, sebab para penguasa Indonesia
sudah mementingkan syahwat daripada rakyat. Begitu realitas bangsa kita, bangsa
yang selalu mengedepankan syahwat, menurut saya gerakan syahwat perlu untuk dilannjutkan
untuk mendungkung bangsa, ini bagi yang mendukung, tapi yang tidak ayo kita
berantas syahwat para penguasa yang masih anak-anak, tidak tahu malu. Karena
inilah yang paling penting, daripada berdebat masalah liberalisme dan anti
liberalisme. Karena kalau kita berdebat masalah itu, tidak akan menemukan titik
temu. Lebih baik kita keluar dari sarang perdebatan menuju ranah praksis untuk melawan
korupsi dengan senjata syahwat.
Syahwat di sini
bukanlah seks, tapi lebih bagaimana lebih semangat dalam melanjutkan KPK dalam
membersihkan maling-maling Negara. Karena perdebatan itu selalu ada dalam ide,
belum menyentuh ranah praksis kehidupan empiris. Jadi saat ini adalah waktu
yang tepat untuk para sastrawan tua maupun muda untuk bersatu melawan maling-maling
yang ada di kursi kekuasaan. Kita boleh berkarya, tapi jangan sampai lupa kalau
kita masih di tindas oleh sistem kerasukan Negara.
Kalau ada
“sastra mazhab selangkang” itu bukan mereka berani, tapi mereka ingin
menunjukkan kepada publik khususnya para penguasa untuk di beri ladang untuk berseteru
dalam semua sektor kehidupan. Buat apa kita memperdebatkan itu jika DPR kita
main seks aja tidak tindakan keras dari penguasa, buat kita memperbincangkan
sastra seks sekalipun kalau hukum Indonesia masih lebih sayang terhadap dirinya
sendiri. Alangkah baiknya kita merayakan kebebasan itu dengan santun, yang
penting mendapatkan hasil dan penghidupan yang layak, tapi halal. Daripada
mencuri uang rakyat.
Kalau ada
sebagian orang mengatakan bahwa kalau sastra bersifat seks dan lain-lain,
sastra akan mati, itu sangat salah, karena perkembangan sejarah dalam sastra
suatu keniscayaan. Jadi siapa pun yang menjadi raja untuk mengalahkan sejarah,
mereka tidak akan mampu. Karena sejarah adalah kumpulan syahwat-syahwat etis
yang tertulis oleh waktu.
Kalau para
sastrawan menuliskan vagina atau penis (kelamin) itu bukan porno, tapi itu
lebih pada realitas diri seseorang yang masih tidak tahu malu, atau dengan kata
lain penguasa Indonesia masih belum tahu malu, kaya anak kecil. Dan saya tidak
harus membuktikan seperti apa penguasa yang tidak tahu malu itu.
Kini Indonesia
berganti tradisi, yaitu tradisi tidak mengenal malu, kalau Indonesia rakyat
Islam yang besar, tapi Islam mereka tidak dipakai dalam ranah praksis, Islam
masih di parkir dalam saku. Mungkin dengan demikian, para sastrawan akan
bersyahwat untuk melawan ketidakadilan, karena selama ini sastrawan masih sepi
dan terdiam rapi oleh keterpesonaan kata-kata yang mereka tulis sendiri. Dengan
adanya Hudan Hidayat yang demikian, kita diberi semangat kembali untuk berjuang
melawan maling-maling tingkat atas.
Sastrawan
Indonesia seperti merpati yang harus selalu di suruh untuk terbang ke angkasa
melawan angin, sepatutunya kita bersyukur ada Hudan yang masih memberi semangat
kekeluargaan. Karena tanpa semangat syahwat manusia Indonesia akan terus
melempem, jadi kita perlu api untuk membakar syahwat kita dalam melanjutkan kreativitas
dan perjuangan melawan algojo-algojo penguasa yang masih tidak malu itu. Bukankah
demikian?.
Yang pasti
setiap kata yang lahir dari siapa pun, termasuk hewan, pasti memiliki makna dan
nilai, kalau sekarang ada orang apalagi sastrawan mengatakan bahwa esai, novel,
dan puisi tidak memiliki makna apa alias kering, itu betapa sangat bodohnya
orang itu. Kalau kita masih bersish kukuh karena zaman modern, tapi hal yang
naïf, karena kita masih memiliki “Diri” yaitu “diri yang otonom” dan “diri yang
korelatif”, jadi mengapa kita harus menunggu kematian sastra. Justru sastra
baru mengalami kesuburan dalam melihat realitas negaranya sendiri.
Kalau Nietzche,
mengatakan Tuhan “mati”, tapi kalian paham apa maksud Nietzche, padahal tidak
semikian maksud Nietzche mengatakan itu, tapi dia mengatakan seperti itu lebih
pada kematian spirit kemanusiaan yang mau ditindas oleh para penguasa, tapi
Sastra Indonesia pun tinggal menunggu hari. Kita tunggu saja. Inilah kata-kata
orang yang tidak mengerti haluan kata yang masih tegak menunggu sastrawan untuk
berjuanga bersama, karena saya yakin kata-kata tidak mungkin mau dirinya di
jelekkan, dan di ejek-ejek.
*Penyair
Komentar