Mungkinkah “Guru Kreatif” Ada
Oleh: Matroni Muserang*
“Guru Kreatif” di
gembor-gemborkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh dalam
pidatonya di hari Peringatan Hari Guru dan HUT ke-68 Persatuan Guru Republik
Indonesia di Jakarta.
Pernyataan ini memang
baik bagi perkembangan guru dan pendidikan itu sendiri, akan tetapi pernyataan
ini masih menyimpan tanda tanya besar, karena belum jelas epistemologinya,
mengapa saya katakan demikian, lihat saja siswa dan mahasiswa sekarang. Apa
yang mereka lakukan? Apa yang mereka kerjakan di kelas maupun di kampus? Apa keinginan
siswa dan mahasiswa di kelas maupun di kampus? “Guru Kreatif” penting memang,
tapi apakah para generasi kita sudah siap dan mau? Ketika para guru hanya
berpangku pada LKS tanpa ada pembacaan buku lain (disiplin ilmu lain) yang sungguh-sungguh
dan kritis? Jadi untuk menumbuhkan “Guru Kreatif” harus dimulai hari ini dan
dipersiapkan sejak dini.
Persiapan dalam hal apa? Apa
yang harus dilakukan pemuda hari ini? pertanyaan inilah yang harus menteri
Pendidikan dan Kebudayaan jawab, agar tidak serta merta mengeluarkan penyataan
“Guru Kreatif” tanpa di barengi pemikiran yang kritis. “Guru Kreatif” seprti
apa? Bagaimana “Guru Kreatif” itu?
“Guru Kreatif” ini menggelisahkan
saya, karena belum jelas apa fondasi epistemologinya, sehingga “Guru Kreatif”
ini dibutuhkan. Secara sepintas memang itu konsep yang sangat ideal, tapi ketika
dihadapkan dengan siswa dan mahasiswa hari ini “Guru Kreatif” tidak mungkin ada,
apalagi guru yang hanya mengejar “gaji” bulanan. Siswa dan mahasiswa yang hanya
membutuhkan “ijasah” sebagai perangkat formalitas instansi untuk menjadi guru
dan dosen sementara pemikiran dan otaknya “kosong” dari pengetahuan.
Banyak tokoh dunia yang
gelisah dengan keadaan masyarakatnya misalnya Harun Nasution, Cak Nur, Cak Nun,
Ronggowarsito, Rendra, Mahatma Gandhi, Jabir Ibn Hayyan, A Manna Gappa,
Shakespeare, K.H Ahmad Dahlan, Sutan Takdir Alisjahbana, Thomas Alva Edison,
Soekarno, K.H Hasyim Asy’arie, Affandi, Marsina, Iqbal, Multatuli, Pattimura,
Cut Nyak Dhin, Gus Dur, dan lainnya.
Pertanyaan yang kemudian
lahir adalah apakah “Guru Kreatif” ini lahir dari kegelisahan ilmiah, sebab
kalau “Guru Kreatif” lahir kegelisahan sosial, akan jelas fondasi
epistemologinya. Kalau fondasi epistemologinya tidak jelas maka konsep “Guru
Kreatif” hanya berada dalam
bayang-bayang.
Kalau kita ingin
benar-benar ingin dan mau untuk menciptakan “Guru Kreatif” salah satu dari
sekian banyak metodologi adalah menciptakan cakrawala pemikiran yang luas, agar
ketakutan tidak tercipta dalam mencari ilmu pengetahuan, karena “Guru Kreatif”
adalah guru yang tidak pernah takut akan hal-hal baru dan mempelajari disiplin
ilmu yang lain, seperti apa yang dikatakan oleh Renato Constantino, dalam “Perbedaan
Pendapat dan Kontra-Kesadaran” (Quezon City, Filipina 1970) bahwa seiring
sejalan dengan sikap tak bergerak ini adalah menjalarnya ketakutan. Kita takut akan hal-hal baru dan
tidak diterima dan asing. Itulah sebabnya ketika ide-ide baru menawarkan
pendekatan baru untuk permasalahan kita menjadi terhalang, serta merta muncul
reaksi mendadak di pihak kita karena kita telah terlatih untuk berkecut hati
pada hal-hal yang menyimpang dari kebiasaan.
Inilah masyarakat kita
hari ini, takut dengan hal-hal baru di dunia pengetahuan, sehingga tidak heran
kalau terjadi saling memurtadkan di antara sesama, merasa paling benar dalam
memahami teks, padahal kalau kita ingin belajar terhadap pendapat Ibnu Rasyd
bahwa jika syariah adalah suatu kebenaran dan anjuran untuk menyelidiki
(segala yang ada) mengarah kepada pengetahuan tentang kebenaran tersebut, maka
umat Islam akan mengetahui dengan pasti bahwa penyelidikan demontratif (burhani)
tidak akan menciptakan kontradiksi apa pun dengan apa yang syariah
nyatakan, karena kebenaran tidak akan pernah bertentangan dengan kebenaran,
tetapi satu sama lainnya saling menjadi saksi.
Kalau inklusivitas atau
keterbukaan (al-basith) masih belum tercipta dalam diri kita baik dalam
ranah pemikiran dan spiritual, maka untuk menjadi “Guru Kreatif” akan menjadi
bayang-bayang semu. Saya membayangkan “Guru Kreatif” adalah guru yang mempelajari
disiplim ilmu yang lain, jadi tidak hanya mempelajari bidang ilmu tertentu dan
“Guru Kreatif” bukanlah hanya orang yang sekolah di jurusan pendidikan dan
lulusan fakultas pendidikan atau universitas pendidikan, sangat naif sekali
jika seseorang dijadikan guru karena alasan sarjana pendidikan. Guru merupakan
konsep yang universal, siapa pun boleh dan berhak menjadi guru, karena bisa
jadi sarjana di luar pendidikan lebih cerdas dan lebih kreatif dalam
menyampaikan mata pelajarannya.
Selama ini yang terjadi dokrin
dalam dunia pendidikan kita adalah seorang guru harus memiliki ijasah lulusan
pendidikan. Tidak masuk akal kemudian jika konsep guru hanya dibatasi oleh
ruang sarjan pendidikan. Padahal kalau berbicara pendidikan, anjing pun bisa
jadi guru. Hanya saja para elit penguasa masih normatif memahami pendidikan,
masih terbatas pada ijasah pendidikan. Apa ia itu yang akan menciptakan “Guru
Kreatif”? bayangan saya “Guru Kreatif” adalah sosok yang memberi “kebebasan”
dalam belajar dan berpikir, tidak ada lagi doktrinasi dan dogmatisme dalam
ruang belajar.
“Guru Kreatif” merupakan
sosok intelektual sejati, adalah seorang ideolog dengan kecerdasan kritis dan
visi yang tajam. “Guru Kreatif” harus selalu bergerak melawan penindasan,
keterbelakangan, dan ketakutan. Seorang “Guru Kreatif” adalah orang yang berbeda
dikarenakan kemampuan batin untuk merasakan dan menyelami hal-hal, dan bahkan
memprediksi sesuatu yang belum terjadi. Di atas semua itu, persepsi kritis
tergantung pada cinta, kasih sayang, dan identifikasi pada kejadian yang menyedihkan.
“Guru Kreatif” yang cerdik
juga menunjukkan kesabaran, bimbingan, dan arahan terhadap
siswa dan mahasiswa.
*Penyair dan mahasiswa
pascasarjana Filsafat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
Komentar