Ketika Budaya “Menghukum” Perempuan


 Oleh: Matroni Muserang

Saya menyambut baik dan senang hati dengan terbitnya antologi Pawestren 18 penyair perempuan Yogyakarta ini. Saya ucapkan selamat, semoga manfaat.
Menyebut perempuan tentu yang terbayang dalam otak kita adalah sosok yang lembut, halus, penyayang, pemberi, penyantun, sopan, dan sikap lembut lainnya. Di balik itu semua sebenarnya ada apa? Apakah Tuhan menciptakan perempuan tanpa ada pikiran atau ide? Langsung jadi perempuan yang kita sekarang ini? Atau ada faktor lain yang membuat perempuan harus dilahirkan dan diciptakan Tuhan?     
Perempuan selalu menjadi berbincangan yang menarik, sexy dan filosofis. Itulah kiranya kesan saya ketika menghadiri acara “Pawestren” judul buku antologi puisi perempuan Yogyakarta di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) baru-baru ini. Dikatakan menarik, karena ini merupakan trend baru kata Iman Budhi Sentosa. Dikatana sexy karena perempuan kadang menjadi objek kajian daripada sebagai teman sharing. Lihat saja bagaimana trend baru dalam dunia domistik dan kapitalistik membentuk tubuh perempuan. Perempuan yang dikungkung oleh budaya tanya apakah saya cantik? Apakah tubuh saya masih ideal?, tanya Sindhunata. Kecantikan bukan lagi di ukur secara substansial akan tetapi di ukur oleh pasar dan kapital.  
Dikatakan filosofis, karena dibalik tubuh perempuan menyimpan makna dan kekuatan luar biasa, di dalam tubuh perempuan ada insan karomah, ada rahman rahim, ada nilai sastra dan filosofis yang belum termaknai secara proporsional oleh kita. Dalam esai ini saya ingin mencoba melihat ini secara sastra filosofis, tentu tulisan ini terinspirasi dari spirit “Pawestren” malam itu.
Pawestren sebagai tema sentral dalam antologi ini, maka apa makna dan nilai Pawestren bagi 18 perempuan? Maka saya ingin mencoba mendekati dengan sentuhan tangan halus refleksi filosofis, agar kemandirian saya berpikir terlihat ada. Definisi seperti yang dikatakan Hamdi Salad Pawestren adalah harem (bahasa arab) atau tempat perempuan. Kalau dalam dunia sastra maka Pawestren merupakan ruang imajinasi, ruang keluarga, dan ruang kreativitas.
Di tengah kecamuk api perempuan yang jadi koruptor, wacana gender dan gerakan feminis, Pawestren lahir sebagai jawaban atas kegelisahan dan penyejuk bagi kegerahan tersebut. Bahwa apa yang dikatakan perempuan sebagai makhluk second class tidak lagi menjadi bahan perbincangan yang “monumental”. Perempuan ternyata mampu untuk memberikan lahan yang setara dengan laki-laki. Tentu perempuan itu adalah perempuan yang sebenarnya.
Perempuan sebenarnya yang saya maksud adalah perempuan yang sadar dan menyadari bahwa dirinya bukan objek kapital dan objek seks. Karena kekerasan terhadap perempuan sampai detik ini masih ada, dan paling halus dan lembut kekerasan kepada perempuan adalah kekerasan visual yang perempuan itu sendiri tidak menyadari. Ironi memang ketika perempuan sudah berada dan nyaman di dalam tubuh kapital. Tubuhnya sudah berada di otoritas kapital. Kecantikannya sudah ditentukan oleh kapital bahkan cara berpikir pun di bangun dari kapitalistik-materialistik.
Tapi saya percaya bahwa Pawestren bukan sekumpulan yang di bangun dari kapitalistik-materialistik, karena puisi-puisi yang ada dalam buku ini kebanyakan tidak feminim, justeru memberikan trend cara “pandang yang baru”. Pawestren sebagai ruang. Ruang yang tidak lepas dari waktu. Pawestren yang berada dalam ruang dan waktu sudah jelas membawa gagasan besar untuk ditawarkan pada pembaca.
Gagasan itu berupa pemikiran universal, kenapa, karena saya melihat keseluruhan puisi ini sebagai satu kepaduan utuh yang saling berdialog. Jelas saya tidak membahas satu persatu dalam puisi, karena saya tertarik pada ide besar yang dibawa oleh Pawestren. Karena ide merupakan hal terpenting dalam sebuah karya. Buat apa menulis jika tulisan itu kosong, kosong dari nilai, kosong dari makna, kosong dari imajinasi dan kosong dari kosong.
Istimewanya dalam Pawestren tidak kosong, alasannya Pawestren sendiri sudah konsep yang memang lama ada dan menjadi wacana keilmuan yang cukup panas. Pawestren hadir untuk meminimalisir otoritas, otoriter dan otoritarianisme yang selama ini berada di tangan laki-laki. Pawestren sebagai kritik yang bagus untuk untuk menyadarkan kita bahwa dalam hal keilmuan, akses, hak perempuan memiliki hak yang sama untuk saling berdialog dan sharing tentang ilmu dan gagasan serta Pawestren merupakan sarana untuk berdialog keilmuan bersama perempuan.
Artinya bukan saatnya lagi perempuan sebagai objek yang termarjinalkan, akan tetapi perempuan sebagai teman dialog untuk menemukan keilmuan yang lebih kontekstual dan formula yang menyejukkan.
Dengan adanya Pawestren harapan kita tidak ada lagi perempuan yang hidup dalam situasi, di mana perempuan dihukum secara sosial, ekonomi, dan budaya, jika perempuan tidak cantik, artinya kecantikan ukurannya bukan lagi pada tubuh, wajah, akan tetapi kecantikan itu dilihat dari kapabilitas dan kualitasnya. Saya kira dalam dunia sastra tidak ada otoritas untuk menentukan siapa yang paling cerdas dan siapa yang paling kritis, tapi bagaimana menciptakan kemesraan. Kemesraan inilah yang melahirkan proporsionalitas, kedamaian dan kesamaan dalam menciptakan keilmuan yang lebih baik.


Sumber: Koran Merapi tanggal 29 Desember 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura