9 Kubah: Sebuah Universalitas Nilai



Oleh: Matroni Muserang*

Langit adalah lubuk bagi doaku. Aku mengambil bintang-bintang dan menjadikannya bunga dihalaman rumah. Kalau engkau tak suka aku mengajaknya berdikir dan bernafas bersama, yakinlah bukan tempatmu berada di sampingku. (Kubah: 6)

Puisi di atas merupakan penggalan dari puisi “Tuhan Tahu, Aku Mencintaimu Di Dalam Doa dan Cahaya”, yang terkumpul dalam antologi puisi Evi Idawati (9 Kubah: Juni, 2013), akan tetapi saya tidak ingin membahas antologi puisi 9 Kubah ini satu persatu, saya akan fokus pada tema sentral dalam antologi puisi yaitu 9 kubah dalam perspektif yang berbeda. Karena dalam pengantarnya Yasraf A Piliang sudah mengulas begitu panjang lebar dengan perspektif filsafat eksistenalis-sufims. Dan saya juga ingin mencoba melihat antologi puisi ini dari perspektif filsafat, tentu juga dengan pisau analisis yang berbeda, agar tercipta keberagaman perpektif, bukankah itu indah?
Seperti judul esai ini “9 Kubah: Sebuah Universalitas Nilai” saya memberikan wacana yang akhir-akhir ini aktual tentang sains dan agama, sufi dan politik. Nah dalam antologi puisi 9 kubah merupakan bagian dari peran agama, mengapa? 9 kubah sebagai issu sentral sebenarnya ingin memberikan nilai-nilai universal dari sebuah agama, agar agama tidak lagi dipandang normatif dan kakuh. Maka buku antologi puisi 9 kubah ini memberikan cara yang lain dalam menawarkan perspektif tentang hal yang sifatnya ontologis dalam hal ini spiritualitas.
Ketika saya membaca semua puisi dalam antologi ini memang tidak semua bernuansa religius, akan tetapi mayoritas arahnya ke sana, ke ranah dimana penyair memiliki dunia yang bening, hening dan sunyi. Dunia yang sublim untuk menciptakan eksistensi diri si penyair. Maka ketika penyair sudah lelah dengan banalitas keseharian, dia (penyair sebenarnya) akan beristirahat di ranjang langit kata Evi Idawati, untuk apa? Untuk menemukan sebuah jawaban dari tanya banalitas keseharian itu sendiri.
Dengan cara bagaimana? Kalau menurut Evi Idawati dalam puisi ini dengan cara membangun “ranjang langit” dan “kubah-kubah diri”. Apa itu ranjang langit dan kubah-kubah? Adalah sebuah cinta yang dikelilingi kerinduan.
Apabila hujan jatuh, dahan basah dan bumi menjadi lautan, seperti itulah rinduku yang tak pernah berhenti, berputar menjadi hujan: menjadi lautan (kubah: 8)
Transendentalitas dan universalitas sebagai nilai yang ditawarkan benar-benar merayu saya untuk melihat lebih dalam dan jauh, sebenarnya ada apa dibalik nilai-nilai universalitas dalam puisi ini? Kalau dalam puisi nilai itu adalah makna. Maka puisi adalah sebuah proses kreatif merangkai makna. Bukan proses merangkai “kata-kata”. Makna adalah sesuatu yang harus ditemukan secara terus-menerus kata Yasraf dalam pengantar antologi ini. Sehingga ditemukan nilai-nilai baru dan makna baru dari sebuah proses panjang dalam dunia kubah. Makna dan nilai-nilai baru itulah yang mau diberikan oleh Evi Idawati.  
Jadi, sebenarnya puisi ini lahir untuk memberikan jawaban yang berbeda atas fenomena sosial yang akhir-akhir marak membajuhi keseharian kita, tentang krisis spiritualitas, krisis moral atau etika dan krisis pemikiran. Melihat realitas yang demikian, maka Evi Idawati berkeyakinan bahwa Tuhan akan selalu intervensi dalam segala urusan. Maka untuk menemukan jawaban itu, kalau Rumi dengan menari, tapi kalau Evi Idawati bermukim di dalam kubah sambil membawa sebuah tanya dan terus-menerus mencari jawaban atas banalitas dan kesakitan dirinya. Lewat media puisi inilah Evi Idawati memberikan kepada kita bahwa jawaban akan selalu ada, maka jangan takut untuk bertanya tentang apa pun termasuk tentang Allah.
Mengapa? Karena pertanyaan-pertanyaan itu atau dengan bahasa Evi Idawati kenyerian akan memberikan jawaban yang menyejukkan ketika ada tangan Tuhan di sana. Maka di butuhkan cara atau metodologi untuk mentransfer kata agar puisi lahir dalam keadaan bening tanpa cacat. Kalau menurut Evi Idawati ketika saya bertamu malam itu ada dua cara pertama ide itu memang ada, tapi dibutuhkan ritual untuk menuliskannya, kedua ide memang belum ada, maka dibutuhkan ritual untuk mengeluarkan. Tentu puisi ini memiliki iman, maka dibutukan metode yang rasional agar lahir nilai yang baru.  
Maka, akhirnya kebeningan puisi tidak lahir dari diri yang kosong, jiwa yang kosong, apalagi kotor. Ia lahir dari jejak-jejak ketuhanan yang tertiup lewat bibir Tuhan yang senantiasa bermukim dalam diri. Sebagaimana dikatakan Heidegger, yang dikutip Yasraf bahwa ketika jejak-jejak ketuhanan itu tak dapat lagi ditemukan di dalam banalitas dunia keseharian yang hampa, manusia memerlukan ‘kekuatan’ yang mampu mengikuti jejak-jejak kudus itu dan itulah kekuatan puisi.
Lagi-lagi kekuatan menjadi penting, kalau dalam puisi kekuatan itu adalah makna. Maka tujuan mencari makna yang terus-menerus membutuhkan perjalanan panjang dan kesakitan-kesakitan seperti yang dialami Evi Idawati, tapi kesakitan itu pasti akan sembuh dengan berbagai terapi, Evi Idawati menjawab dalam puisi ini kita akan sembuh dari kesakitan itu yaitu dengan bermukim dalam kubah. Karena kubah merupakan kekuatan yang luar biasa bagi Evi Idawati. Maka dentangkanlah tapak riauhmu untuk hatiku, agar senantiasa bisa kugali.kugali dan kugali, sumur kearifan.

Sumber: Minggu Pagi no 26 TH 66 Minggu IV September 2013  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura