28 Sajak Pintu
Pintu 01
Alif
Dia melihat aku
masuklah lewat diriku, bisiknya
Di antara kepingan pintu yang
sunyi
aku dibenturkan pada kelelahan
hari-hari
Di pintu aku ditinggalkan sendiri
kau berada di pintu lain yang
berbeda
atau kita ajak kepingan itu
menguras sendang
berdiri di pelupuk peradaban
Pintu-pintu tertutup dan terbuka
sendiri
ketika luka-luka mengepung
aku berkaki matahari
bertongkat rembulan
Pintu 02
Ba
Dari pintu
aku melewati lingkaran sejarah
yang kerap masuk
di lumuri kegersangan
Waktu yang berbaju pintu
aku masuki perlahan
dan tarikan kata
yang tak sempat aku bawa
berceceran di jalanan
memunguti baju agama
Pintu ke dua berjalan di atas
gelombang
seperti perahu aku tunggangi
mengayun pelan
sepelan kata berhembus di
kupingku
di atasnya aku bawa kebijaksanaan
dan kolam kehijauan
Pintu 03
Ta
Dua titik matamu menghisap segala
di tepi-tepi hijau dan
kertas-kertas cahaya
Setiap peristiwa mengandung waktu
yang akan meledak dan kita tak
sadar
iman adalah kekuatan terbesar
manusia
Pintu 04
Tsa
Lantaran tiga titik matamu
menghisap segala
lalu kubawa kata-kata
ke rumahku di atas perahu
Perahu menelaah dengan mengurai
butir demi butir
waktu demi waktu, hari demi hari,
kata demi kata
agar menemukan cara berbeda
Tak terbayangkan
mengolah adalah kerja yang berat
kadang ada yang mengkafirkan
padahal huruf-huruf waktu selalu
meminta untuk di buka
agar tergelar surau-surau
kesadaran
mengalir ke perut cahaya
menghijaukan ladang sunyi
yang terus tumbuh sebuah tanya
Pintu 05
Jim
Maka, bertebaranlah cahaya-cahaya
di pelupuk tanya yang kian mesra
ada yang ke samping
ada yang ke tengah terus ke bawa,
lalu ke atas
Gelombang terus menjadi sajadah
likuan bergelorah di balik cabang
waktu
memberikan ruang terdalam di
dalam sunyi
menelaah sisi terkecil dari cela
gelombang
Ia terus akan memburu, di
buru
kedalaman akar yang tertera di
peta semesta
memburu kaligrafi terdalam dari
sejarah
Pintu 06
Ha
Kita berada di titik kesunyian
dimana gelombang menghela nafas
ketulusan
samudera terus berdentum
memberikan sehelai percik lautan
di dada
Ketinggian arus
menemui langit
meminta tuhan berkelana di
lubang-lubang percakapan
Kupegang kata yang tajam
untuk membelah gelombang
dan keseharian yang garang
Pintu 07
Kha
Di atas gelombang
pikiran duduk melihat ke dalam
menyelami cahaya, menelaah
kehijauan
pohon-pohon tumbuh di tepian sana
memelihara dan menyuburkan tanah
Para petani memangkul cangkul
dengan tidak meninggalkan
huruf-huruf langit
tanah terus di garap ditanami
menumbuhkan keringat dan semangat
cita
Pikiran yang ditanamkan
keringat yang disuburkan
Pintu 08
Dal
Lalu kau berikan jalan menuju
rongga waktu
di antara lubang yang saling
berdekapan
lewat puisi alam yang tertera
dalam diri
Suara itu berkelana
bersama likuan angin
dan sajak luka yang tak pernah
selesai
Pohon-pohon perjalanan
bergelar di atas mataku yang
kagum
lantaran satu huruf saja
harus kupersiapkan ribuan buku
dan refleksi
untuk sampai di batas pengertian
yang paling dalam
Jogja, 2013
sumber: Minggu pagi, No 45 TH 66 Minggu 1 Februari
2014
Komentar