Di Muat Suara Merdeka 21 Juli 2013

Apa Tawaran Sastra Hari Ini
Oleh: Matroni Muserang*

Kita sudah tahu sumbangan para penyair dan sastrawan Indonesia, dari angkatan pertama sampai angkatan terakhir. Keberhasilan itu tidak serta merta ada dan lahir, akan tetapi ada perjalanan gejolak sejarah yang harus ditempuh dan sejarah pemikiran serta perjalanan kesusastraan di Indonesia. Dan tentu sejarah harus berhadapan dengan budaya, sosial, politik, agama, dan kearifan lokal. Dalam tulisan ini saya hendak bertanya “Apa tawaran sastra hari ini?” Ketika sastra dihadapkan dengan serbuan modernitas, dan postmodernitas yang mau tidak mau menjadi momok yang harus diselidiki dan direfleksikan, sehingga sastra tidak lagi menjadi barang “mainan”, maka sastra dalam hal ini harus mengambil peran penting untuk menyadarkan masyarakat. Agar sastra tidak lagi hanya berbicara tentang “cinta”, “airmata” “rembulan” dan “anggur” yang jauh dari kedalaman refleksi-filosofis-kemanusiaan.
Ada tesis yang lucu bahwa menulis puisi itu gampang. Mungkin orang yang berkata demikian, belum tahu menulis puisi, kalau pun menulis, paling-paling hanya puisi cinta sama wanita. Padahal kalau kita ingin benar-benar menulis puisi ada sejarah refleksi, imajinasi, dan internalisasi yang harus kita sebrangi, maka tidak heran kalau di dalam kitab suci orang islam ada surat penyair. Ini menandakan bahwa penyair adalah manusia yang dimuliakan oleh Tuhan. Jadi kalau Tuhan sudah memuliakan, maka dibutuhkan kesungguhan dalam menulis puisi atau menulis sastra.
Karena sastra suci, lalu bagaimana kalau ada “penyair” yang makan uang rakyat atau uang acara seni dan sastra, apakah sastra yang ditulis oleh penyair seperti ini masih memiliki kesucian dalam karya? Inilah pertanyaan yang sulit di jawab, karena ini menyangkut hal-hal yang sifatnya keinginan dan watak serta subjektivitas penyair, mengapa berbuat demikian?      
Nah, untuk menyelidiki tradisi kesusastraan dunia, khususnya Indonesia dan membandingkan dalam hal kontribusi yang beragam dan kemungkinan saling fertilisasi. Untuk merefleksikan tugas dan fungsi sastra dalam dunia kontemporerdengan mempertimbangkan kontribusiharapandan kesenjangan dalam kesadaran refleksi-filosofis terkait dengan disiplin ilmu lainnyadengan kegiatan politikagama, sosialekonomiteknologiseni dengan beragam budaya dan tradisi. Untuk menekankan pentingnya refleksi-filosofis wacana publik tentang isu-isu global yang mempengaruhi sastra kemanusiaan.
Sementara “penyair hari” ini cuek-cuek saja terhadap perkembangan sastra, mereka lebih memilih dirinya sendiri, menulis sendiri, tanpa mempertimbangkan bagaimana karya itu mampu mempengaruhi orang lain, memberi pencerahan kepada orang lain, maka inklusivitas dalam membaca dan menelaah serta menulis sastra harus benar-benar terbuka terhadap dialog kesusastraan dunia, khsusunya di Indonesia. Walau pun bangsa kita masih belum ada kesadaran untuk menghargai sastra. Tapi saya yakin pada waktunya sastra akan menjadi lahan yang banyak di cari. Jadi saya teringat apa yang pernah dikatakan oleh Presiden Amerika John F. Kennedy bahwa bila politik menyesaki kehidupan bangsa dan kotoran, maka sastra-lah yang mampu membersihkannya. Lalu sastra yang seperti apa yang mampu membersihkan kotoran tersebut, tentu bukan sastra yang kosong dari makna, kosong dari refleksi-filosofis, akan tetapi sastra yang lahir dari perenungan yang sungguh-sungguh.
Meminjam bahasanya Amin Abdullah (2009) bahwa dengan bantuan metodologi ilmu-ilmu sosial yang muncul pada abad 18 baik etnografi, antropologi, sosiologi, psikologi, filsafat, keprihatinan para penyair dan filsuf bergeser dari dulunya semata-mata mementingkan ‘kebenaran’ (truth) sendiri ke arah pemikiran yang menggarisbawahi ‘makna’ (meaning) atau esensi dari berbagai fenomena yang hanya terlihat lewat berbagai penampakan lahiriyyahnya.
Untuk mengembalikan keseimbangan antara kualitas sastra hari ini dan dulu yang lebih bermuatan moralitas-normatif dan tuntutan ilmu pengetahuan kontemporer yang bersifat empiris, maka diperlukan kritik epistemologi yang cukup mendasar dari sastra itu sendiri. Ini yang membuat perkembangan sastra Indonesia ke depan semakin berkembang, karena secara mendasar memang penyair dan sastrawan membutuhkan metodologi yang sistematis dalam menuliskan puisi.
Menurut saya sastra mengandung dua dimensi pemikiran (thought) dan dimensi sejarah (historis). Dua hal ini selalu berhubungan dan berkelindan yang tidak ada putus-putusnya. Artinya bahasa yang digunakan adalah simbol atau cermin cara menuliskan karya yang dilingkari oleh proses sejarah budaya kemanusiaan. Kita tidak dapat membayangkan adanya bahasa tanpa karya dan sejarah.
Seperti yang di tulis Amin Abdullah bahwa apa kriteria sastra yang baik dan unggul? Jika ada sastra yang disebut baik, apa kriterianya? Apakah sastra unggul adalah sastra yang disetir oleh kaum bangsawan, sastra kraton atau sastra rakyat biasa? Banyak sastrawan yang tidak sepakat bahwa sastra adalah sastra ‘gedongan’ atau sastra ‘kraton’. Di era postmodernisme dalam bidang sastra tidak setuju adanya cara pandang yang berstandar ‘tunggal’. Jika hanya sastra kraton yang dianggap sebagai paradigma tunggal kesusastraan yang baik dan representative, lalu dimana letak sastra rakyat biasa.
Ibarat orang melihat wanita, maka sepandai-pandainya seseorang melihat wanita, masih saja tetap ada hal-hal yang tidak dapat di serap dalam melihat wanita secara detil. Misalnya aspek perasaan, kebiasaan yang spesifik, cara merayu, sedih, gembira, kadang sulit diekspresikan lewat bahasa yang diucapkan secara lisan maupun tulisan. Maka tidak cukup seorang penyair mengolah bahasa, tapi ada mata batin yang harus di olah, karena kekuatan sastra kata Mahwi Air Tawar adalah imajinasi. Imajinasi harus harus diimbangi dengan teori dan metodologi bagaimana kita berpikir di luar konfensional?
Maka hanya lewat kerja sama antara penyair, bahasa dan imajinasi yang dirumuskan secara metodologis-sistematis, diharapkan sastra dapat menyumbangkan jasanya untuk kehidupan dunia modern yang semakin risau.  
           

*Penyair dan mahasiswa filsafat pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, aktif di komunitas Rudal

Komentar

Dedi Prayogi mengatakan…
lanjut gan,
minta saran gan bwt pemula, apa sja yg bisa menjadikan puisi/syair lbih bermakna & indah
tq :-)
Ladang Sunyi mengatakan…
dengan banyak membacan dan refleksi,,, dengan menggunakan imajinasi...

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura