Sastrawan Sebenarnya dan Sastrawan Bukan Sebenarnya
Oleh: Matroni
Muserang*
Dalam dunia
sastra, dua hal berlangsung yang nyaris bersamaan di Indonesia akhir-akhir ini:
datangnya kebebasan menulis sastra (puisi) dan berlangsungnya revolusi kesusastraan.
Pada saat yang bersamaan ada hal yang harus diteliti dan cukup menggelitik
pikiran saya, kehadiran puisi dan munculnya penulis baru lewat media sosial yang
ramai dilakukan dalam menulis sastra terutama puisi untuk menunjukkan bahwa “akulah
penyair”.
Mengapa? Karena sastra
memiliki informasi yang tidak pernah satu arah. Sastra senantiasa multiarah dan
selalu ingin berinteraksi. Dengan demikian, akan menjadi kuat roh atau makna sebagai
penyampai pesan apa pun termasuk pesan moral, etika, estetika, budaya, agama,
nilai dan filosofinya sehingga apa pun sistem kepenulisan sastra, esensialitas
sastra itu akan terus berlangsung dan diperjuangkan.
Akhirnya masyarakat
akan kaya dengan berbagai informasi dari berbagai fakta yang ada di tubuh
puisi, baik yang tradisional, maupun yang universal bahkan masyarakat kebanjiran
puisi. Puisi yang dituliskan sebagai karya sastra atau sebagai sumber ilmu
pengetahuan akan dikhawatirkan sebagai sumber kecemasan.
Hampir tidak ada
yang mampu memastikan berapa banyak puisi lahir yang di baca oleh kita. Lubernya
puisi bukan saja tidak sempat di olah, tapi sama sekali tidak dapat dipakai. Hilangnya
proses meditasi dan imajinasi dalam menggapai kedalaman kata-kata dalam puisi
merupakan kekhawatiran lain. Bukan tidak mau saya menyebut Pram, Chairil Anwar,
Rendra, Emha, Wiji Thukul, tokoh penyair besar ini, akan tetapi saya takut di
justifikasi sebagai penulis yang mensakralkan penyair besar ini. Walau pun
sakralitas banyak dalam ilmu pengetahuan.
Sebenarnya dalam
esai ini saya hendak mempertanyakan seberapa setia-kah seorang penyair dengan
karyanya? Karena ke-setia-an inilah yang menjamin sastrawan sebenarnya. Maka penting
untuk mempertanyakan kesetiaan para sastrawan dalam karir kepenulisannya. Mengapa?
Agar kekhawatiran saya di atas tidak mencemaskan dan dunia kesusastraan terus
berkembang. Berkembang seperti apa? ini tentu tanggungjawab kita sebagai
sastrawan. Apakah dalam ranah teoritis? Atau dalam ranah kepenulisan? Saya menjawab
ya, tentu kedua-keduanya harus berjalan bersama. Penyair tanpa kritik, seperti berjalan
tanpa arah, sebaliknya kritikus sastra tanpa penyair, seperti berjalan tanpa peta.
Begitulah perjalanan
kedua pejuang dalam mempertahankan kesetiaan. Setia kata sederhana, tapi ketika
kita masuk tidak banyak orang ber-setia di dalamnya. Banyak bukti nyata, akhir-akhir
ini saya disuguhkan ribuan puisi di media massa dan dunia maya, bahkan ada
penulis muda yang merasa sudah bisa menulis sudah ingin menerbitkan buku. Bukan
saya tidak suka, tapi buat apa kita menerbitkan buku jika isinya tidak memiliki
roh dan makna yang informatif? Apakah buku bisa dijadikan jaminan bahwa engkau
sastrawan yang sebenarnya?
Komentar