Di Muat Minggu Pagi, no 09 TH 66 Minggu V Mei 2013
Apakah Zaman
Tidak Butuh Puisi
Oleh: Matroni Muserang*
Saya tidak
menuliskan catatan ini sebagai tulisan serius, hanya saja ini sebentuk
perkenalan saya dalam dunia puisi, puisi sebagai sosok yang selalu saya tulis. Dalam
tulisan ini saya ingin mengimplementasikan Chairil Anwar sebagai pisau analisis
dalam tulisan ini. Karena bagi saya Chairil Anwar tidak hanya sebagai penyair,
akan tetapi Chairil Anwar mampu masuk di ranah apa pun, termasuk agama, budaya,
sosial, politik dan filsafat. Karena untuk mengambil teorinya Augus Comte,
Popper, Thomas Khun, Imre Lakatos, dan Paul Karl Feyebend terlalu jauh dan
mungkin saya belum mampu, tulisan ini hanya untuk memberikan lahan refleksi
kita sebagai penyair dan kritikus sastra.
Mengenang Chairil
Anwar tentu kita pasti mengkritiknya sebagai evaluasi dan kritik untuk
perkembangan sastra. Akan tetapi ketika di tarik ke ranah sekarang, antara
penulis puisi (bukan penyair sebenarnya) dan kritikus sastra tidak seimbang. Setiap
hari kita membaca ribuan puisi baik dalam bentuk buku, initernet dan lain-lain,
akan tetapi kritikus sastra tidak seperti lahirnya puisi tersebut. Kalau kita
melihat Chairil Anwar. Mengapa kemudian Chairil Anwar dikatakan sebagai monomen
sastra dalam jagat kepenyairan? Tidak ada orang yang tidak mengenal Chairil
Anwar. Kenapa? Dalam diskusi di Komunitas Rudal pada tanggal 4 Mei 2013
Yusriyanto elga sebagai pemantik memberikan empat alasan.
Pertama
Chairil Anwar melakukan pendobrakan bahasa ungkap puisi dari sebelumnya, yang
dipelopori Amin Hamzah dan teman-temannya sebagai penyair pujangga baru, yang
bentuk puisinya lebih konfensional, lebih mengedepankan bunyi dan rima. Di
anggap puisi identik dengan pantun, namun Chairil Anwar dengan semangat keilmuannya
yang belajar dari dari luar negeri, karena dalam catatan sejarahnya Chairil
Anwar bisa tiga bahasa, maka tidak heran kalau Chairil Anwar melakukan pendobrakan atau perubahan, bagi
Chairil Anwar puisi harus berubah dengan bentuk baru.
Chairil Anwar sebagai
angkatan 45 pantas melakukan pendobrakan ilmiah dalam dunia puisi, lugas, tegas,
pasti, sederhana, berbobot dan berguna, karena waktu itu masa penjajahan masih
membara dan puisi waktu di butuhkan. Chairil Anwar tidak hanya melulu berbicara
dengan bunyi juga berhasil mendobrak bahasa ungkap yang tidak dimiliki oleh
penyair sebelumnya. Memiliki bahasa yang berpengaruh dalam dunia perpuisian di
Indonesia.
Kedua
karena berkat kreativitas pena HB jassin sebagai kritikus sastra yang produktif
dan telaten, sebagai Paus sastra Indonesia yang “mungkin” tidak ada kritikus
sastra sekaleber dia hari ini, jadi bisa di kata hari ini bukan zaman tidak
membutuhkan puisi, akan tetapi karena ketidakseimbangan antara penyair dan
kritikus sastra. Dimanakah kritikus sastra hari ini?. Apakah kritikus harus
belajar pada titah HB Jassin? Atau memang hari ini kritikus sastra tidak mampu
atau memang kritikus sastra “malas” karena banyak memakan dan di kerangkeng oleh
teori-teori barat-sekuler. Atau tidak ada lahan kreativitas imajiner dalam dunia
sastra akademik?
Seolah hanya
tahu saja, tidak perlu diaktualkan dalam fenomena sastra masa kini? Seolah-olah
fakultas sastra hanya mempelajari teori sastra, tapi mampu untuk keluar dari
kerangkeng teoritis dan menelaah puisi yang lahir dari negerinya sendiri. Sekarang
banyak puisi lahir, tapi kritikusnya tidak ada. Dimanakah kritikus sastra hari
ini?
Ketiga karena
zaman membutuhkan Chairil waktu itu, zaman dimana di duduki Jepang. Dimana zaman
membutuhkan puisi. Para kritikus mereflesikan hal itu, kenapa Chairil begitu
tenar, walau usianya sebentar? Apakah benar zaman tidak membutuhkan puisi? Ada
yang menjawab “iya” ada juga yang menjawab karena beruntung karena Chairil
punya banyak teman dan relasi kuat.
Keempat karena
pergaulan luas dan lintas. Dengan Syahril, Bung Karno, dan Bung Hatta, yang ini
menjadikan Chairil tumbuh tenar. Di samping puisinya memang baik. Pendobrakan
yang berbeda, ada semangat yang menginspirasi banyak penyair sesudahnya bahkan
hari ini.
Chairil sebagai
penyair yang terlibat langsung dalam masalah pemudah, politik, dan masalah
kebangsaan. Sekarang penyair hanya menggambarkan wanita, kata peserta diskusi.
Penyair marketing kata-kata, atau memasyarakatkan kata-kata, hari ini penyair
berjarak dengan persoalan kebangsaan? Tidak ada komunikasi baik dengan politik.
Soalah-olah “apa kamu”? Sama-sama menolak, tidak ada pertemuan kata-kata dengan
politik. Padahal Chairil aktif di berbagai linih pemikiran keilmuan.
Mengembalikan
puisi yang ada di menara gading, yang hanya dinikmati masyarakat puisi, maka
hari ini puisi harus dikembalikan kepada masyarakat luas. Dengan menjelaskan puisi
apa? Barangkali puisi terlalu ekslusif bagi masyarakat umum, sehingga tidak
mampu merubah masyarakat. Bagaimana puisi menjadi merubah fenomena masyarakat? Memang
tidak mudah. Inilah pertanyaan dan tantangan masyarakat penyair hari ini.
Kita butuh
puisi yang mencoba menghadirkan puisi sebagai bentuk kritik dan berwatak
revolusioner dalam melihat keseharian. Selama watak puisi tidak dihadirkan,
maka puisi tidak bisa merubah apa-apa. Watak puisi bukan melankolia, tapi
menghadrikan revolusionalitas puisi.
Yang untuk
menciptakan realitas baru dan perubahan baru seperti apa yang dilakukan Octavia
Paz, WS Rendra, Wiji Thukul dalam mengkritisi modernitas, melawan segala macam
dokrin dan melawan manipulasi kesetiaan buta dan janji-janji manis permainan
rasionalitas spekulatif (Arif B. Prasetyo,2002).
Lantas siapa
yang akan menjadi pemberontak ketika melihat keadaan bangsa yang karut-memarut?
Siapa?
*Penyair, aktif di Komunitas Rudal Yogyakarta.
Komentar