Di muat di Minggu Pagi, no 50 TH 65 Minggu III Maret 2013



                                              Penyair Berharap ‘Gaji’ Besar dari Lomba
Oleh: Matroni Muserang*
Dari sekian banyak bentuk kelahiran seorang penyair kadang lahir dari ajang lomba sastra, lahir karena benar-benar ingin berproses menulis puisi, karena gejolak batin yang membuat dirinya “gila” sehingga menulis puisi, atau karena memang ada keinginan kuat untuk menulis puisi, dari sanalah lahir seseorang yang bernama penyair/sastrawan.
Tulisan ini hanya sebuah apresiasi saya, walau pun ada banyak bentuk apresiasi, namun dalam hal ini saya ingin mengapresiasi dalam bentuk tulisan sederhana. Pertama saya ucapkan selamat kepada seluruh pemenang lomba Penulisan Puisi Jigja II 2012/2013 yang melahirkan antologi puisi Sebab Cinta (berisi puisi pemenang dan monine lomba tersebut). Antologi yang masih segar atau aktual di karena di cetak beberapa waktu yang lalu. Antologi yang juga memberikan wacana baru dalam memberikan apresiasi bentuk tulisan lebih menyegarkan.  
Tulisan ini saya bukan hendak untuk menilai dan memaknai puisi yang ada dalam antologi tersebut, karena sudah ada Prof. Faruk HT, Iman Budhi Sentosa, dan Joko Pinorbo sebagai juri yang lebih mengerti menilai dan memaknai puisi tersebut, lewat tulisan ini saya ingin memcoba silaturrahmi ilmiah yang mungkin bagi sebagian penyair kurang “bermakna”, saya yakin dalam dunia kepenyairan atau kesusastraan tidak ada salah dan benar, yang ada adalah etika dan estetika. Berangkat dari itulah saya menulis catatan ini untuk antologi puisi “Sebab Cinta”.       
Ada stateman yang mengatakan bahwa Jogja setiap tahun selalu melahirkan penyair-penyair, salah satu bentuk kelahirannya adalah dengan diadakannya ajang lomba seperti apa yang digagas oleh Ernawati Literary Foundation yang dalam dua tahun terakhir ini. Saya tidak tahu, mengapa Ernawati Literary Foundation memiliki gagasan yang begitu kuat dalam memperjuangkan sastra, khususnya di Yogyakarta dan Jawa Tengah seperti ajang lomba cipta puisi jogja II ini?. Walau pun statemen itu bukan jaminan atau ukuran dalam lahirnya seorang penyair.   
Setidaknya para penyair memiliki ruang untuk mempublik puisinya dan mendapatkan hadiah yang cukup. Seperti kata Acep Zamzam Nor, penyair tidak dibayar oleh negara, maka ajang lomba dijadikan sebagian dari bentuk “gaji” penyair yang selama ini mencari gaji sendiri, entah dengan mengirimkan ke koran, majalah, dan lomba-lomba.
Disamping menjaga eksistensi dunia kepenyairan dan dunia kepenulisan, juga sebagai basis silaturrahmi sastra, hanya saja dengan jembatan ajang lomba, karena ajang sastra pasti memiliki spirit tersendiri bagi penyair yang ingin ikut. Entah dengan semangat silaturrahmi maupun semangat menulis.
Dalam antologi puisi ini ada 35 penyair kategori umum dan mahasiswa dan SLTA berjumlah 21 penyair dan penyair-penyair ini memang memiliki bakat luar biasa, kenapa saya berani berkata seperti itu, karena seorang penyair akan terlihat dari sejauh mana “penyair” menulis puisi dan memberikan suguhan diksi yang luar biasa mendalam dan imajinatif. Seperti apa yang dikatakan Prof. Iskandar Zurkarnaen dalam salah satu kuliahnya mengatakan bahwa orang kecerdasan seseorang kadang bisa di ukur dan dilihat dari karyanya.   
Membaca antologi puisi “Sebab Cinta” saya merasa bahwa dewan juri objektif dalam menilai puisi, walau pun kadang sebuah makna dari puisi sendiri tidak sesuai apa yang diharapkan penyairnya, penyair sendiri memiliki makna dari puisi yang ditulis. Karena bagaimana pun makna itu akan beragam ketika publik membaca sebuah karya dan saya kira keberagaman makna harus dihormati sebagai bentuk perkembangan dan perluasan cakrawala pemaknaan realitas puisi.  
Walau pun yang ditawarkan Ernawati Literary Foundation lomba tematik, akan tetapi lomba yang sifatnya tematik ini sebenarya tantangan bagi sebagian penyair untuk lebih detil dan utuh memahami tema tersebut serta utuh melihat data yang diangkat. Karena tema-tema yang ditawarkan kadang menjebak penyair, kenapa, pertama mungkin penyair belum paham apa maksud dari tema tersebut, kedua untuk memahami tema memang tidak mudah, kita harus banyak membaca dari berbagai sumber, juga dituntut untuk terjun langsung ke lapangan. Dengan “paham” inilah yang kemudian membuat penyair mampu menulis puisi tematik dengan baik. Bukan lantas saya mampu melakukan itu, karena saya sendiri masih belajar dalam menulis puisi yang baik, terutama harus belajar kepada para pemenang dan para juara harapan yang menurut saya mereka mampu menulis puisi dengan baik.
Dengan diadakannya ajang lomba seperti yang digagas oleh Ernawati Literary Foundation memiliki nuansa baru dan semangat baru yang memang ditunggu-tunggu oleh penyair Yogyakarta tiap tahun, artinya selama dua tahun ini ajang lomba seperti ini merupakan lomba yang serius dan profesional baik dalam manajemannya maupun dalam membubukan puisi-puisi sesuai dengan persyaratan dan tema yang di usung.
Harapan ke depan, bagaimana Ernawati Literary Foundation tetap konsisten dalam gagasan ini: terus menjaga eksistensi sastra dan kualitas sastra terutama puisi. Lewat lomba seperti inilah penyair memiliki harapan besar terhadap “gaji” yang lumayan besar. Penyair tidak digaji negara. Bahkan negara pun tak mengakui bahwa di negaranya ada seorang penyair. Padahal sastra merupakan dasar awal pembentukan karakter moral dan etika dalam hidup.  


*Penyair yang aktif di Komunitas Rudal.    




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Celurit, Simbol Filsafat Madura

Matinya Pertanian di Negara Petani