Keagungan “Tuhan Perempuan”


 
Judul Buku     Judul Buku       : Ashmora Paria
Penulis             : Herlinatiens
Penerbit           : DIVA Press
Cetakan           : Pertama, Nopember, 2012
Tebal               : 343 halaman
Peresensi         : Matroni Muserang*

Saya percaya kalau derajat wanita di atas laki-laki, jadi lesbian merupakan percintaan tingkat tinggi karena sama-sama wanita, maka panting untuk mempertanyakan. Jadi saya ingin memulai meresensi buku ini dengan sebuah tanya yaitu  pertama kebermaknaan seperti apa yang diinginkan tokoh “Aku” atau Ashmora Paria dalam novel ini? Yang kedua, cinta seperti apa yang ingin dipertahankan oleh tokoh “Aku” dalam novel ini sehingga percintaan itu benar-benar terjadi? Dan ketiga apakah ada hubungan antara cinta dan kesetiaan? Ke empat makna hidup seperti apa yang membuat seseorang wanita bahagia?
Berangkat dari pertanyaan inilah saya ingin mencoba menelaah buku novel ini yang tulis oleh wanita cantik kelahiran Ngawi dengan nama Herlinatiens. Walau pun cinta, setia dan makna tidak sesederhana apa yang digambarkan oleh kita, akan tetapi Novel ini banyak menuliskan gugatan-gugatan normativitas dan tradisi lokal yang ada di lingkungan si aku. Karena bagi tokoh “Aku” kedua item inilah yang menghalangi sang lesbian menjadi kalah. Kalah dalam artian bahwa “Aku” harus menyerah pada norma, doktrin dan tradisi seperti harus melakukan ritual pernikahan yang selama ini dibangga-banggakan oleh setiap manusia dan menjadi budak ranjang antara laki-laki dan wanita, padahal bagi sang lesbian itu adalah racun yang menjijikkan. Karena bagi sang lesbian hakikat dasar dari manusia bukan hanya sekedar penyatuan jiwa dan raga, tapi juga kemungkinan-kemungkinan (hlm 93), nah kemungkinan inilah yang dicari, dan kemungkinan baginya adalah menghindar dari ritual gila tersebut.
Berbagai cara dilakukan, berbagai etika budaya dibiarkan, berbagai gugatan diteriakkan, akan tetapi ketika si “aku” dihadapkan dengan kenyataan, sang lesbian terus kalah dan terjepit, walau pun jiwa idealisme lesbian bergelorah, berkecamuk dalam dada, akan tetapi sang lesbian menjadi kalah dan setelah kalah dia bangkit untuk membalas kekalahannya dengan kalimat-kalimat jancuk! fuck you!. Aktivis femenis mengatakan transgenderis ini hal biasa dan wajar, karena dalil lesbian adalah Sappo penyair wanita dari Yunani, dua orang lesbian di Jakarta yang menikah di depan umum kira-kira tahun 1981 (hlm, 20) dan kenyataan lain yang terjadi di daerah lain.  
Makna yang diagungkan oleh Paria, selalu di cari di balik gugatan-gugatan yang ada di atas norma, tradisi lokal dan etika budaya. Sang lesbian terus berjuang mengalahkan bahkan meniadakan kemapanan dalam agama dan negara. Sehingga negara pun dipertanyakan “ini negara apa? (hlm 54)” cita-cita untuk menciptakan “tuhan perempuan” menjadi dasar jiwanya untuk terus melawan arus. Melawan ketidakpuasan dan melawan normativitas. Sehingga yang terjadi liberalisme-ideal yang masih hidup di jiwa para aktivis femenim. wajar ketika idealisme yang digembor-gemborkan oleh jiwa aktivis feminim untuk mengalahkan doktrin agama, kenapa? Jiwa-jiwa muda seperti itu merupakan dunia yang berkecamuk, dunia tunggang-langgang yang membutuhkan gebrakan-gebrakan sederhana, walau pun “menyakitkan”.
Gejolak yang menyakitkan inilah yang di cari, di bela agar mendapat pengakuan dari sejarah. Sang lesbian ingin membuktikan bahwa wanita juga memiliki sejarah yang kuat dalam mempertahankan dunianya sendiri, mempertahankan stikma ideologi yang mereka bangun sesama lesbian.   
Novel ini memang lumayan “berat” jadi bagi pembaca yang belum siap berpikir dan merenungkan mungkin akan sangat sulit untuk memahami, menerka dan meraba maksud dari novel ini karena novel ini ada sedikit pemikiran absurd dan penuh makna yang tersimpan di balik kata-kata. Herlinatein menyisipkan pesan filsafat dalam memberikan penjelasan dan rasionalisasi.  
Cinta yang diselipkan sebenarnya hal biasa yang banyak orang bisa melakukan, hanya saja kelebihan cinta dalam novel ini terletak pada ke-setia-an dan perjuangannya. Si “aku” sampai rela menunggu, sehingga akhirnya harus menyusul ke Prancis untuk bertemu. Walau pun sesampainya di sana dan bagaimana di sana dalam novel ini tidak ditulis dan mungkin ini sisi menariknya novel ini, memberikan pemikiran kepada pembaca untuk terus berpikir dan merenung tentang hidup, tentang makna, tetang cinta dan tentang ada.
Kesetiaan yang dia agungkan dalam kemenungguan harus, melawan orang tua dan tradisi lokal bahkan doktrin agama, walau pun si aku masih percaya kepada Islam sebagai agamanya. Akan tetapi kepercayaan itu masih harus dipertanyakan, apakah kepercayaan itu benar-benar lahir dari hati nurani atau sekedar formalitas cinta sehingga ketika berdua selalu taat untuk shalat berjamaah. Tapi ketika Tuhan merubah kesetiaan itu menjadi jarak dan pemisah, maka sang aku begitu harus menggugat Tuhan dengan gugatan-gugatan kritis dan egois. Seakan benih filsafat yang dijadikan bumbu dalam novel ini hampir hilang, kadang si aku lebih memilih dirinya sendiri daripada norma yang digariskan agama.
Di sini sebenarnya novel ini menarik. Bagaimana gugatan terhadap agama, Tuhan, norma dan tradisi itu terjadi. Tuhan dan agama seolah-olah tidak mampu menjawab realitas yang terjadi di dunia lesbian. Dunia yang “gila”, sehingga sang lesbian harus bertarung dengan luka jiwa, luka rasa, luka pemikiran dan luka-luka yang lain, termasuk luka keperawanannya sendiri.



*Penikmat buku

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Refleksi Kegelisahan di Bulan Kemerdekaan

Matinya Pertanian di Negara Petani

Celurit, Simbol Filsafat Madura