Belajar Kearifan Budaya dari Orang Paham
Sabtu, 16/02/2013 16:39
Tanpa pemahaman sejarah, jiwa
generasi muda akan kosong. Mereka akan menjadi orang-orang pintar yang menjual
bangsa dan negaranya. Orang-orang yang korupsi itu, kan, orang pintar
(Kompas/9/12/12).
Pernyataan ini membuat saya
gelih, miris dan berpikiran aneh. Membuat saya ingat kata orang paham bahwa
“orang paham” dan “orang pintar” berbeda.
Kalau boleh mengartikan dengan
sederhana bahwa orang paham adalah orang yang mampu memahami antara dunia
material dan dunia non-material sehingga ketika bekerja lebih banyak ikhlasnya
(tampa pamrih) daripada kepentingannya, misalnya orang-orang yang paham sejarah
dan orang yang paham budaya lokal yang sampai saat ini masih dipertahankan di
daerah-daerah tertentu. Orang pintar adalah orang yang sudah banyak menghisap
ilmu pengetahuan, akan tetapi ilmu pengetahuan tersebut tidak memberikan
perubahan apa-apa dalam diri orang pintar, misalnya orang korupsi.
Menurut filolog dari Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarat, Oman Faturrahman bahwa tradisi
intelektual Islam Indonesia sudah mapan sebagai produsen Ilmu pengetahuan sejak
abad ke-17, bukan sekedar konsumen atas karya-karya intelektual Islam dari
Timur Tengah. Ini menandakan bahwa kita memiliki kesadaran sejarah atau dengan
kata lain kita memiliki kesadaran belajar dari orang paham, sejarah sudah
banyak menyimpan data-data pemahaman tentang kehidupan, misalnya manuskrip di
Aceh (baca: Aceh) yang menyimpan banyak ragam mulai dari bidang keilmuan yang
menggambarkan tradisi intelektual Islam, hingga gambaran kehidupan sehari-hari
masyarakat, seperti info gempa, gerhana matahari, dan obat-obatan.
Di Solo misalnya ada gerakan
untuk menyelamatkan budaya bangsa yaitu Yayasan Sastra Lestari yang dirintis
oleh Supardjo sejak 1996 (baca:Solo). Dengan menerjemahkan dan melakukan
digitalisasi naskah kuno. Anehnya gerakan murni kerja tanpa pamrih dan murni
kepentingan bersama dalam menyelamatkan budaya bangsa. Dimana negara kita?
Karena menurut para filolog manuskrip adalah kekayaan intelektual bangsa yang
harus diselamatkan.
Jadi jelas, bahwa Indonesia
mengandung banyak nilai-nilai filosofi kehidupan. Inilah kekayaan Indonesia,
mulai dari budaya, adat, sejarah, tradisi intelektual, manuskrip-manuskrip,
hanya saja kita sekarang tidak memiliki tradisi untuk belajar memahami tradisi
intelektual yang bercorak “Indonesia” itu. kita lebih suka merayakan budaya
Barat, daripada budaya kita sendiri. Yang menjadi pertanyaan kemudian dimanakah
nilai-nilai itu “terkubur”. Untuk menjawab hal itu, kita lihat Indonesia hari
ini dan pemuda hari ini. Indonesia yang jauh dari nilai-nilai kearifan lokal.
Lantas bagaimana menjadi Indonesia?
Salah satu dari sekian banyak
jalan untuk menjadi Indonesia adalah dengan kembali pada apa yang di sebut
“Diri” oleh Muhammad Iqbal. Diri di sini adalah Indonesia itu sendiri, yang
banyak menyimpan mental sejarah yang mampu menjadikan Indonesia yang mandiri
dalam segala bidang, terutama keilmuan, dan filsafatnya.
Akhirnya banyak mahasiswa yang
mendirikan Komunitas untuk berjuang sendiri, tanpa bantuan pemerintah, karena
perihatin terhadap terabaian sejarah. Sejarah menjadi menara gading yang hampa
di mata koruptor, tapi sejarah sebuah formula kehidupan bagi orang-orang yang
paham akan bangsa dan negara.
Orang paham, mereka mengerti apa
makna gotong royong, keramahan, kesopanan, dan musyawarah, yang kini
nilai-nilai itu tidak di kenal kembali. Orang-orang tidak mau lagi untuk
menoleh ke masa lalu, padahal masa lalu menjadi cermin kita untuk belajar, dan memahami.
Kita kehilangan basis epistemologi yang disebenarnya di dalam manuskrip itu
telah ada. Akhirnya benar apa yang ditulis oleh Putu Setia bahwa orang cerdas
(paham) dan jujur tersisih, orang dengki dan pembohong menjadi pemimpin.
Epistemologi Islam
Epistemologi Islam menjadi
penting untuk dikaji lebih jauh sebagai sebuah alternatif terhadap sistem
epistemologi Barat yang begitu mendominasi wacana epistemologi kontemporer, tak
terkecuali di Indonesia. Menurut Mulyadi Kartanegara epistemologi dan filsafat
ilmu, kalau memang mau dibedakan, ditulis oleh sarjana Indonesia bercorak
Barat, hanya satu atau dua karya epistemologi Islam yang dapat ditemukan di
Nusantara ini.
Ini akibat terputusnya generasi
muda, ada yang hilang dari sejarah kita. mengapa kita terlalu mengikuti Barat,
akhirnya nilai ke “diri”an kita sebagai Indonesia hilang. Walau pun Barat tidak
harus dikesampingkan, akan tetapi kata Mulyadi Kartanegara (2003) ketika
prestasi ilmiah yang begitu gemilang dari sains modern seharusnya tidak menghalangi
kita untuk melihat sisi negatifnya, misalnya dalam bentuk dampak dan implikasi
sekulernya terhadap sistem kepercayaan agama kita.
Oleh karena itu, sikap kita untuk
selalu kritis dan hati-hati terhadap sains modern yang kini banyak mempengaruhi
pemikiran kita, sehingga kita menjauh dari budaya bangsa sendiri. Namun, saya
yakin, kalau kita belajar dan bersikap kritis tidak akan lahir pandangan yang
sepihak (parsial) dalam melihat dan memahami manuskrip-manuskrip. Tanpa
perbandingan antara budaya Indonesia dengan budaya Barat, sikap kritis tersebut
sulit dicapai karena kita tidak bisa membedakan dengan yang lain, seperti tidak
mungkinnya kita mengenal dengan baik “wanita” tanpa dibandingkan dengan
laki-laki.
Oleh karena itu, sikap kritis dan
waspada harus tetap menyertai sikap apresiatif terhadap sains modern. Agar
bangunan filosofis dalam Islam tidak runtuh, sebab perkembangan pemikiran yang
berkembang di Dunia Islam, harus kritis terhadap pemikiran ilmiah dan filosofis
Barat, yang menurut Mulyadi Kartanegara telah terlalu berpihak pada sekularisme
dan materialisme.
Dengan kembali pada jati diri
bangsa dan negara, memahami kekayaan budaya Indonesia sebagai kekayaan
intelektual, kekayaan mental, budaya yang ada dalam tubuh bangsa dan negara
Indonesia akan menjadi basis yang memukau dalam mencapai cita-cita
Pancasila.
MATRONI MUSERANG, peneliti di
Lembaga Kajian Budaya, Agama dan Filsafat (LiSafa) Pasca-sarjana UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta.
Komentar